Pam Swakarsa Versi Baru Berpotensi Picu Konflik Horizontal
- dw
Calon Kapolri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo memasukkan peningkatan peran Pam Swakarsa dalam salah satu program prioritasnya, dalam rangka menindaklanjuti Peraturan Kapolri mengenai Pam Swakarsa yang dikeluarkan Kapolri Jenderal Idham Azis pada akhir tahun lalu.
Peraturan Kapolri (Perkap) soal Pam Swakarsa adalah Perkap Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa. Perkap ini ditandatangani oleh Jenderal Idham Azis pada 5 Agustus 2020. Pam Swakarsa merupakan bentuk pengamanan atas kemauan masyarakat yang dikukuhkan Polri. Istilah 'swakarsa' berarti keinginan atau kemauan sendiri tanpa dorongan pihak lain.
Namun sejarahnya, Pam Swakarsa adalah kelompok sipil yang dipersenjatai, yang dibentuk pada tahun 1998. Awalnya kelompok tersebut difungsikan untuk mengamankan Sidang Istimewa MPR RI namun sering kali terlibat bentrok dengan kelompok masyarakat lainnya. Pam Swakarsa tidak hanya ditugaskan mengamankan Gedung DPR/MPR Senayan, tetapi juga dikirimkan ke lokasi yang berpotensi menjadi daerah demonstrasi dan orasi mahasiswa pada masa itu.
Sementara itu Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan ada perbedaan antara Pam Swakarsa yang disinggung Kapolri terpilih dengan kelompok serupa pada 1998. "Perlu dipahami bahwa konsep keterlibatan Swakarsa yang dimaksud Kapolri adalah salah satu amanat UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri," kata Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani.
Seperti apa dampak penghidupan kembali Pam Swakarsa di tengah masyarakat? DW secara eksklusif mewawancarai Direktur Riset SETARA Institute Halili Hasan terkait hal ini.
DW: Bagaimana pendapat Anda terkait rencana pembentukan kembali Pam Swakarsa?
Halili Hasan: Kita mempunyai beberapa perspektif yang mestinya oleh Kapolri baru (Listyo Sigit) pertimbangkan. Pertama, aspek history tentu saja ya, kita punya sejarah di mana Pam Swakarsa pernah dimobilisasi oleh negara untuk mendukung gerakan masyarakat sipil, gerakan masyarakat, dan gerakan mahasiswa pada tahun 1998-1999. Kedua, kita juga harus mencatat bahwa Indonesia yang sangat besar ini tentu tidak bisa semata-mata didekati dengan pendekatan keamanan untuk soal tertib sosial dan semacamnya.
Menurut saya Kapolri baru harusnya tidak melulu berada dalam posisi normatif untuk melanjutkan kebijakan Idham Azis terkait wacana menghidupkan kembali Pam Swakarsa.
Menurut Anda, alasan apa yang melatarbelakangi rencana Kapolri baru tersebut?
Saya khawatir latar belakang Pam Swakarsa ini in line dengan pendekatan keamanan yang cenderung menjadi tren dalam periode kedua pemerintahan Joko Widodo. Pendekatan-pendekatan non-demokrasi itu kemudian menjadi pilihan, hanya untuk mengejar target-target atau ambisi Pak Jokowi di pemerintahannya untuk mewariskan semacam legacy yang besar dan layak dikenang bangsa Indonesia. Namun kita prihatin ternyata banyak cara-cara non-demokratis yang kemudian dipilih oleh pemerintah.
Kalau kita cek beberapa lembaga penelitian, seperti LIPI dan The Economist Intelligence Unit yang mengeluarkan indeks demokrasi global … indeks demokrasi Indonesia termasuk dalam kategori cacat (flawed democracy). Saya kira penghidupan kembali Pam Swakarsa berada dalam sentimen itu, bahwa demokrasi sedang mengalami kemunduran di periode kedua pemerintahan Jokowi dan upaya wacana tersebut merupakan satu bukti yang memperkuat kecenderungan kemunduran demokrasi.
Bagaimana dengan adanya kekhawatiran abuse of power jika Pam Swakarsa kembali diaktifkan?
Soal abuse of power saya kira ada beberapa hal penting yang menjadi catatan. Pertama, persoalan mobilisasi oleh negara. Pam Swakarsa ini sebenarnya secara objektif kalau kita melihat protapnya yang ingin diatur ada tiga, yaitu satuan pengamanan, satuan keamanan lingkungan, dan pengamanan yang diselenggarakan oleh entitas-entitas adat di Indonesia, seperti pecalang di Bali. Kalau yang diatur hanya soal tiga itu, sebenarnya tidak perlu dimobilisasi penanganan keamananan oleh kepolisian, karena sifatnya yang partisipatif, by demand, dan bersifat cultural. Setiap entitas masyarakat mempunyai caranya masing-masing, sehingga dalam konteks ini ada potensi abuse of power.
Ketika ketiga itu dimobilisasi negara maka akan melibatkan kewenangan atau otoritas formal. Bicara soal otoritas kaitannya dengan power, di mana power negara itu tend to corrupt atau corrupt absolutely. Semakin besar keterlibatan negara dalam pengambilan partisipasi, response by demand, dan entitas cultural itu sebenarnya membuka ruang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
Ada potensi benturan secara horizontal, karena akan terbentuknya dua kutub yang dilegitimasi oleh negara dan non-legitimasi. Tidak mungkin dengan partisipasi negara sebanyak itu semuanya "dinegarakan."
Bagaimana memastikan tidak ada benturan-benturan horizontal? Saya kira sulit mencegah itu. Selanjutnya yang penting untuk digarisbawahi ada potensi pelanggaran hak asasi manusia jika Pam Swakarsa ini dibentuk untuk "menertibkan" gerakan-gerakan kecil.
Bagaimana pemerintah dan kepolisian menjamin Pam Swakarsa yang baru ini akan berbeda dengan Pam Swakarsa di masa lalu?
Saya kira negara tidak harus mengurus semuanya dan harus melembagakan semuanya. Tempatkan saja urusan-urusan keamanan, perwujudan dan pemeliharaan tertib sosial di masyarakat dalam kerangka partisipasi, tidak perlu dimobilisasi oleh negara. Negara terlibat hanya jika tiga entitas yang ingin diatur dalam peraturan Kapolri itu melakukan pelanggaran hukum.
Saya tidak yakin negara pada akhirnya akan mencegah apa-apa yang terjadi pada masa lalu. Tidak ada jaminan di masa depan kita "selamat" dari rezim yang berwatak otoriter. Pemerintah sebaiknya tidak perlu mewariskan regulasi, kelembagaan, pengaturan atau spesifik instrumen hukum yang potensial digunakan oleh pemerintahan yang berwatak otoritarian untuk membuat demokrasi semakin ke belakang.
Program apa yang seharusnya menjadi prioritas Kapolri baru?
Polri punya prioritas lain yang jauh lebih mendesak daripada mempublikasi Pam Swakarsa yang justru berpotensi kontraproduktif terhadap tatanan demokrasi kita. Kapolri sebaiknya fokus pada persoalan-persoalan nyata yang saat ini muncul dalam tata kelola sosial dan demokrasi.
Pertama, soal peningkatan kapasitas aparatur (capacity building). Hal itu jauh lebih mendesak dibandingkan memobilisasi Pam Swakarsa. Banyak polisi yang tidak clear dalam menetapkan apa yang disebut kebebasan berekspresi hingga hate speech. Sebaliknya ketika terjadi hasutan justru dibiarkan, dan itu menjadi problematika.
Kedua, soal fakta-fakta berkaitan dengan abuse yang dilakukan oleh kepolisian di banyak konteks.
Kita tahu kepolisian merupakan salah satu alat negara yang menguasai instrumen kekerasan. Di berbagai daerah melaporkan instrumen kekerasan itu digunakan secara sewenang-wenang, tidak secara legal, tidak sesuai dengan pengaturan yang memang diharuskan dalam demokrasi.
Persoalan lainnya adalah penanganan konflik lama antara Polri dan TNI. Kita khawatirkan apa yang sering dijargonkan sebagai sinergitas itu hanya terjadi di level elite karena pada level bawah sering terjadi bentrokan di banyak daerah.
Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan oleh Hani Anggraini dan telah diedit sesuai konteks.