Malaysia Tetapkan Keadaan Darurat, Muncul Kekhawatiran Monarki Absolut

Perdana Menteri Malaysia Tan Sri Muhyiddin Yassin
Sumber :
  • ANTARA/Agus Setiawan/ama.

VIVA – Raja Malaysia, Sultan Abdullah Sultan Ahmad Shah, menetapkan keadaan darurat nasional di seluruh wilayah Malaysia untuk menekan penyebaran COVID-19. Keadaan darurat berlangsung hingga 1 Agustus 2021 atau lebih awal, tergantung pada infeksi penyebaran virus tersebut.

"Dalam sidang tatap muka selama 45 menit mulai pukul 17.30 kemarin, Muhyiddin Yassin mempresentasikan hasil Sidang Kabinet tentang usulan pelaksanaan keadaan darurat sebagai langkah proaktif untuk menertibkan dan mengatasi kasus harian COVID-19 yang terus mencapai empat angka sejak Desember lalu," tulis pernyataan Istana Negara Malaysia, seperti dikutip dari Channel News Asia.

Terkait itu, Peneliti Ahli Utama P2P LIPI, Syafuan Rozi Soebhan, mengatakan, penetapan darurat nasional di Malaysia cenderung mengabaikan prinsip check and balance antara eksekutif dan legislatif. Hal ini yang seharusnya dihormati dan dipatuhi semua negara, dengan mempertimbangkan kedaulatan rakyat.

"Kebijakan tersebut mestinya melibatkan dan mendengar suara wakil rakyat yang ada di parlemen. Sangat disayangkan jika kegiatan parlemen Malaysia 'digantung/dihentikan'. Hal ini menandakan Malaysia kian menuju monarki absolut," kata Syafuan dalam keterangan resminya, Selasa 19 Januari 2021.

Dia mengatakan, jika keadaan darurat ditetapkan dan operasi institusi parlemen 'digantung', secara otomatis sistem pemerintahan Malaysia yang berdasarkan demokrasi akan tumbang. Hal ini menyebabkan kabinet tidak lagi bisa berfungsi secara sah seperti biasa.

"Pada hakikatnya, proklamasi darurat adalah pemaksaan kuasa pemerintahan secara totalitarian dan bercirikan tirani yang sangat berbahaya," ujarnya.

Berdasarkan catatan sejarah, pengumuman darurat nasional terkait pandemi ini adalah pengumuman darurat ke-9 dalam sejarah Malaysia. Keadaan ini sebelumnya pernah ditetapkan pada Darurat Tanah Melayu (1948-1960), Darurat Konfrontasi Indonesia-Malaysia (1964), Darurat Sarawak (1966), dan Darurat Rusuhan Kaum 13 Mei (1969).

Selain itu, Darurat Kelantan (1977), Darurat Asap/Jerebu (1997, 2005, 2013), Darurat Parlimen Batu Sapi (2020), Darurat Parlimen Gerik, dan DUN Bugaya (2020).

"Akan menjadi monarki absolut jika pengumuman darurat negara itu mengabaikan suara rakyat, yang diwakili oleh anggota parlemen. Kita berharap ada rekonsiliasi dan kerja sama yang baik antara Yang Dipertuan Agung, Perdana Menteri, para anggota parlemen faksi UMNO Pakatan Harapan-Perikatan Nasional dengan faksi Oposisi (Pakatan Rakyat)," ujarnya.

Seperti diketahui, keputusan ini diambil setelah Sultan Abdullah bertemu dengan Perdana Menteri Muhyiddin Yassin di Istana Negara, Senin, 11 Januari 2021.

Setelah mendengar arahan dari Perdana Menteri, Raja Malaysia mencatat bahwa situasi pandemi COVID-19 di negara itu berada pada tingkat yang sangat kritis. Dengan demikian, ada kebutuhan untuk menetapkan keadaan darurat berdasarkan ayat (1) Pasal 150 Konstitusi.

Pasal 150 Konstitusi menetapkan bahwa Raja Malaysia dapat mengeluarkan status keadaan darurat. Pun, atas saran perdana menteri, ia yakin ada keadaan darurat yang berat, di mana keamanan, kehidupan ekonomi atau ketertiban umum terancam.

Keputusan Raja juga didasarkan pada data yang menunjukkan bagaimana sistem perawatan kesehatan berada di bawah kendala logistik.