3 Kali Diterobos Seaglider Asing, Bukti Lemahnya Pertahanan RI
- bbc
Penemuan kendaraan nirawak bawah laut (unmanned underwater vehicle-UUV) atau seaglider di teritorial Indonesia menurut pengamat militer merupakan bentuk gangguan terhadap kedaulatan wilayah Indonesia.
Di tambah lagi, intrusi (masuk tanpa izin) seaglider itu menunjukan ketiadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang dimiliki Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) dalam mendeteksi kendaraan tersebut.
Pemerintah pun didorong untuk segera melakukan akselerasi dalam menyediakan peralatan guna mendeteksi bahkan menangkal kendaraan asing bawah laut yang masuk tanpa izin ke perairan Indonesia.
Penemuan seaglider di perairan Indonesia oleh nelayan telah terjadi setidaknya tiga kali dalam dua tahun terakhir.
Pada akhir tahun 2020, seorang nelayan di perairan Desa Majapahit, Kepulauan Selayar pukul 07.00 WITA menemukan seaglider dalam kondisi mengapung di permukaan laut.
Masih di tahun yang sama, nelayan menemukan benda serupa di perairan Masalembu, Sumenep, Madura, dan pada tahun 2019 di Pulau Tenggel, Kepulauan Riau.
- Kisah nelayan-nelayan Natuna yang `terusir dan terasing di laut sendiri`
- Kapal perang TNI AL usir kapal Penjaga Pantai China di perairan Natuna
- Aksi China memburu sumber daya di Laut China Selatan `melanggar hukum`, kata AS
Dalam konferensi pers pada Senin (04/01), Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Yudo Margono mengakui benda yang ditemukan di Selayar merupakan seaglider yang diduga digunakan untuk riset oseanografi.
TNI AL menyebut memiliki alat untuk mendeteksi wahana bawah laut, walaupun mengakui adanya keterbatasan yang dimiliki dalam melakukan pencarian di tengah lautan Indonesia yang luas.
TNI AL akan meningkatkan pengawasan terhadap benda-benda serupa yang berada di Indonesia, dan juga tengah melakukan pendalaman untuk mengetahui siapa pemilik dan tujuan dari penggunaan seaglider tersebut.
Intrusi kedaulatan Indonesia`
Peneliti militer dan pertahanan dari Research and Operations on Technology & Society (ROOTS), Riefqi Muna, menilai penemuan seaglider dan wahana asing lain sebelumnya di perairan Indonesia merupakan bentuk intrusi terhadap kedaulatan Indonesia.
"Masuk ke wilayah Indonesia tanpa izin adalah intrusi terhadap kedaulatan laut Indonesia dan harus diambil sikap tegas.
"Walaupun untuk alasan riset, atau lain semua harus izin. Jangan karena memiliki teknologi lebih maju seenak sendiri melanggar kedaulatan negara lain," kata Muna kepada BBC News Indonesia.
Berdasarkan lokasi penemuan dan jenis teknologi yang digunakan, Muna berspekulasi bahwa seaglider yang diduga milik China itu bertujuan untuk memetakan kondisi bawah laut untuk gerakan kapal selam agar tidak terdeteksi.
https://twitter.com/Jatosint/status/1343749243798896640
"Di kawasan Asia Pasifik, perkembangan kapal selam cukup tinggi. Alat itu berfungsi mengumpulkan data dasar laut, suhu laut, arus, kepekatan laut, dan jalur bawah laut , saya duga untuk kapal selam. Apalagi di permukaannya adalah ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) yang strategis," ujar Muna.
"Bisa untuk kepentingan bisnis"
Pengamat militer dan pertahanan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muhamad Haripin, memperkirakan seaglider ini dikerahkan untuk mengetahui kekayaan alam bawah laut Indonesia.
"Bisa untuk kepentingan bisnis, ekonomi, negosiasi perdagangan. Bisa bayangkan ada investasi masuk tapi kita tidak tahu kekayaan di sana sementara negara lain tahu, seperti catatan sejarah di Papua periode tahun 1950 dan 1960-an," kata Haripin.
https://twitter.com/Jatosint/status/1343752266017243137
Spekulasi terakhir, kata Haripin adalah untuk mengukur kemampuan nyata kekuatan pertahanan dan keamanan laut Indonesia.
"Seperti membaca pola pergerakan operasi, kapan meluncur, berlabuh, patroli. Info itu sangat strategis karena mengetahui waktu bolong dan waktu mereka bisa masuk," tambahnya.
"Kekuatan yang terbatas"
Riefqi Muna melanjutkan, kejadian berulang ini "membuktikan Indonesia belum memiliki kemampuan untuk bisa mendeteksi pergerakan seaglider".
"Jadi ketika diketahui tanpa sengaja, itu menunjukan kita tidak memiliki kemampuan untuk bisa mendeteksi. Harus diakui kita memiliki keterbatasan yang sangat serius di situ," kata Muna.
"Jangankan mendeteksi benda untuk operasi bawah laut. Untuk yang di atas permukaan yang kasat mata seperti kapal asing saja sangat terbatas. Masih terjadi pencurian ikan, dan kapal asing masuk," kata Muna.
- Soal Natuna, pemerintah RI didesak tarik dubes dari Beijing dan tinjau ulang proyek dengan China
- Koopssusgab dan keterlibatan TNI dalam antiterorisme yang `butuh batasan jelas`
- Kapal perang TNI AL usir kapal Penjaga Pantai China di perairan Natuna
- Siapkah Indonesia menghadapi ancaman epidemi global?
Untuk itu, pemerintah harus segera melakukan evaluasi agar kejadian ini tidak terulang. Caranya, kata Muna, dengan melakukan akselerasi kekuatan TNI AL baik dalam penguasaan teknologi dan pengembangan sumber daya manusia .
"Indonesia negara maritim, 70% lautan. Pemerintah harus mulai melakukan investasi besar untuk laut kita karena di sana ada kedaulatan, kesejahteraan, dan masa depan," ujarnya.
Pemenuhan kekuatan padat karya
Menurut Haripin dari LIPI, Indonesia masih akan berfokus memenuhi minimum essential force (MEF) hingga tahun 2024.
Dalam 10 tahun terakhir, pemenuhan MEF lebih berfokus pada restrukturisasi personel, reorganisasi kekuatan seperti pembangunan unit baru kesatuan, dan pemenuhan alat dasar militer.
"Kita masih berfokus pada pemenuhan kekuatan padat karya, seperti peralatan berat manual dalam memenuhi kekuatan pokok minimum (MEF). Ada yang mulai transisi ke digital tapi masih jauh.
"Jadi untuk mendeteksi pun kita tidak punya, apalagi untuk menangkal. Itu pekerjaan rumah besar bagi pemerintahan Jokowi dan kepemimpinan selanjutnya," kata Haripin.
Untuk kekuatan TNI AL, Indonesia memilik 282 kapal perang yang terdiri dari 7 fregat, 24 jenis korvet, 5 unit kapal selam, 156 kapal patroli dan 10 kapal penyapu ranjau.
Jumlah tersebut, menurut Haripin masih jauh dibandingkan luas wilayah laut yang harus dijaga.
"Jadi kita masih memenuhi kebutuhan dasar untuk bertahan, belum bisa melakukan pembalasan apalagi mengejar musuh jika diganggu. Di tengah posisi Indonesia yang strategis, antara kekuatan China dan Amerika dalam persaingan di kawasan Asia Pasifik," katanya.
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.499 pulau dengan luas total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta kilometer persegi.
Dari total luas wilayah tersebut, 3,25 juta kilometer persegi adalah lautan dan 2,55 juta kilometer persegi adalah Zona Ekonomi Eksklusif. Hanya sekitar 2,01 juta kilometer persegi yang berupa daratan.
"Ke depan harus meningkatkan early warning system baik secara infrastruktur, peralatan, maupun personel mengikuti perkembangan teknologi. Jangan sampai kita tertinggal terlalu jauh," tutup Haripin.
TNI AL punya alat deteksi
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut (Kadispenal) Laksamana Pertama TNI Julius Widjojono membantah bahwa TNI AL tidak memiliki alat untuk mendeteksi benda asing di bawah laut, seperti seaglider.
"Kita punya kapal sonar. Kita bisa mendeteksi saat logam terdeteksi dengan sonar kita. Namun perairan Indonesia cukup luas, sehingga ada keterbatasan di situ," kata Julius.
Julius menjelaskan, luas laut Indonesia masih tidak sebanding dengan jumlah kapal yang dimiliki TNI AL.
Untuk itu, kata Julius, TNI AL tengah melakukan pengembangan dan penambahan alutsista TNI AL untuk menjaga pertahanan wilayah laut Indonesia.
Sementara itu terkait proses penyelidikan, Julius menjelaskan, akan berlangsung sekitar sebulan, bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Sebelumnya, dalam konferensi pers, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Yudo Margono mengatakan benda asing yang ditemukan adalah seaglider yang tidak diketahui pengguna dan pembuatnya.
"Alat ini dipakai untuk riset bawah laut, oseanografi, karena tidak bisa mendeteksi kapal, jadi bukan kegiatan mata-mata," kata Yudo.
Perketat pertahanan
Ke depan, kata Yudo, TNI AL akan memperketat pengawasan kapal-kapal riset di perairan Indonesia yang diduga menggunakan seaglider.
"Seaglider ini tidak ada impunitasnya sehingga tidak ada aturan baik di UNCLOS maupun aturan internasional dan nasional apakah digolongkan alat perang atau tidak.
"Sehingga yang kita waspadai dengan alat-alat ini adalah kapal yang mengendalikan, kita cek apakah dalam pengoperasian ada kerja sama atau ilegal masuk ke wilayah kita," katanya.
Anggota Komisi I bidang Pertahanan DPR Dave Laksono, mengatakan kejadian ini menjadi peringatan bagi pemerintah untuk melakukan peningkatan sistem pertahanan dan pengawasan wilayah kedaulatan Indonesia.
"Dan juga membuka komunikasi intens dengan negara-negara asing yang kita curigai mengirim peralatan tersebut. Ini harus dikatakan agak kecolongan dari pihak Indonesia," kata Dave.
Menurut Dave, kekuatan TNI AL masih belum memadai sehingga perlu ditambah dan dikembangkan baik dari sisi personel, peralatan hingga teknologi.
"Kita perlu mengembangkan industri dalam negeri juga untuk menciptakan teknologi terbaru, seperti dengan kampus-kampus, juga tidak lupa sharing technology dengan negara lain," katanya.
Militer Indonesia pernah menjadi kekuatan terbesar yang ditakuti pada era Presiden Soekarno di tahun 1960-an dengan memiliki 12 kapal selam jenis Whiskey, puluhan kapal tempur, ratusan pesawat tempur dan alutsista lainnya.
Pada tahun 2020, kekuatan militer Indonesia menempati posisi 16 dunia, tepat di bawah Pakistan dan di atas Arab Saudi, di mana kekuatan terbesar dikuasai Amerika Serikat, lalu diikuti Rusia, China dan India.