ICW Kritisi Makin Banyaknya Perwira Polri Jadi Pejabat di KPK
- ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
VIVA – Indonesia Corruption Watch (ICW) kembali mengkritisi kebijakan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dikomandoi oleh Firli Bahuri Cs.
Kali ini LSM tersebut mengkritik pelantikan 37 pejabat struktural yang mengisi jabatan-jabatan strategis di KPK. Sejatinya disebutkan ada 38 jabatan, hanya memang ada satu pejabat struktural menjabat 2 jabatan yaitu Yuyuk Andriati Iskak.
Pelantikan yang dilakukan pada Selasa pagi tadi ketahui adalah tindak lanjut dari pengesahan Peraturan Komisi Nomor 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kelola KPK.
“Secara umum, problematika pelantikan pejabat struktural baru KPK dapat dipandang sebagai upaya dari pimpinan untuk semakin mengikis independensi kelembagaan,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada awak media pada Selasa, 5 Januari 2021.
Kurnia menjelaskan, sejak Firli Bahuri dilantik sebagai Ketua KPK, terlihat adanya tren pejabat struktural diisi oleh oknum Kepolisian. Sejauh ini pascapelantikan dia, setidaknya ada sembilan perwira tinggi Polri yang bekerja di KPK, di antaranya tujuh orang pada level direktur, satu pada level deputi, dan satu orang pada level pimpinan.
Selain itu, kebijakan untuk melantik puluhan pejabat KPK tersebut dinilai ICW sebagai tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh pimpinan. Sebab landasan hukum yang dijadikan dasar pelantikan, bermasalah.
Sebelumnya, revisi UU KPK yang menjadi UU No 19 tahun 2019 tidak diikuti dengan pergantian substansi Pasal 26 dalam UU Nomor 30 tahun 2002. Oleh karena itu seharusnya nomenklatur struktur KPK kembali merujuk kepada Pasal 26 UU nomor 30 tahun 2002 sebagaimana telah diubah UU nomor 19 tahun 2019 yakni bidang pencegahan; bidang Penindakan; bidang Informasi dan Data; Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat
Faktanya kata Kurnia, Peraturan Komisi Nomor 7 tahun 2020 justru menambahkan nomenklatur baru. Contohnya, ada Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, inspektorat serta staf khusus.
“Ini menunjukkan bahwa keputusan pimpinan KPK Nomor 1837/2020 tentang Pengangkatan dan Pengukuhan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi dan Administrator pada Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan dengan UU 19/2019 dan tidak dapat dibenarkan,” lanjut dia.
Kurnia menjelaskan, nomenkatur baru KPK bertolak belakang dengan konsep reformasi birokrasi yang menitikberatkan pada efisiensi. Jika pada struktur lama, KPK hanya memiliki empat kedeputian dengan 12 direktorat, pascaberlakunya PerKom 7 tahun 2020, struktur KPK justru membengkak menjadi lima kedeputian dengan 21 direktorat.
“Penggemukan ini juga berimplikasi pada pelaksanaan fungsi trigger mechanism KPK. Sebagai lembaga negara yang sepatutnya menjadi contoh reformasi dan efisiensi birokrasi, legitimasi KPK dalam memberikan masukan untuk perampingan kementerian dan lembaga negara lainnya, akan berkurang akibat penggemukan struktur KPK,” kata dia.
Pada sisi lain sambung Kurnia, peluang PerKom 7/2020 dibatalkan oleh Mahkamah Agung jika ada pengajuan uji materil terhadapnya, akan semakin besar. P
ada prinsipnya, sebuah regulasi yang menjadi turunan dari UU tidak boleh bertentangan satu sama lain, sedangkan PerKom 7 tahun 2020 justru secara terang-terangan bertentangan dengan UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK.
Masalah krusial lainnya imbuh Kurnia, pelantikan pejabat struktural KPK dengan segala kontroversi di dalamnya ini akan semakin menggerus kepercayaan publik kepada KPK.
“Semestinya ini menjadi catatan dan evaluasi bagi pimpinan untuk tidak lagi mengeluarkan kebijakan yang keliru,” kata dia.