Pengacara FPI: Pasal yang Dikenakan ke Habib Rizieq Maksa Banget

Habib Rizieq keluar dari gedung pemeriksaan dengan baju tahanan dan diborgol.
Sumber :
  • VIVA/ Kenny Putra.

VIVA – Ketua Bantuan Hukum Front Pembela Islam (FPI), Sugito Atmo Pawiro, menilai penerapan sangkaan pasal untuk menjerat Habib Rizieq sangat memaksakan. Padahal, kasus Habib Rizieq semula terkait dugaan pelanggaran protokol kesehatan di Petamburan, Jakarta Pusat.

“HRS telah ditetapkan tersangka dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan sebagaimana Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, dan dugaan perbuatan pidana penghasutan di muka umum sebagaimana dimaksud Pasal 160 KUHP,” kata Sugito melalui keterangan tertulis pada Minggu, 13 Desember 2020.

Jadi, kata dia, semua pihak harus menyadari bahwa satu-satunya perbuatan yang dapat dipersangkakan kepada Habib Rizieq hanyalah mengumpulkan orang atau menciptkan kerumunan pada masa berlangsungnya karantina kesehatan menghadapi wabah penyakit, yaitu pandemi COVID-19.

“Bahwa perbuatan ini dapat diancam dengan pidana bila merujuk pada Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan,” jelas dia.

Kemudian, Sugito mengatakan Habib Rizieq mulanya hanya dimintakan keterangan sebagai saksi menyangkut berkumpulnya orang-orang atau kerumunan di kediamannya tersebut pada Sabtu malam, 14 November 2020.

Namun pada 10 Desember 2020, Sugito mengatakan Habib Rizieq malah ditetapkan sebagai tersangka untuk perbuatan pidana yang mengumpulkan orang-orang atau menciptakan kerumunan tersebut.

“Semula HRS akan diperiksa sebagai saksi dalam dugaan tindak pidana, kemudian dikembangkan menjadi tersangka tindak pidana Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, ditambahkan (diakumulasikan) dengan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum,” ujarnya.

Ketiga, dalam pemeriksaan oleh penyidik pada 12 Desember, bahwa Habib Rizieq ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka tidak hanya dengan Pasal 93 UU Karantina Kesehatan, tapi disangkakan Pasal 160 KUHP atas perbuatannya ‘menghasut orang-orang untuk berkumpul’ atau ‘menciptakan kerumunan’ di Petamburan sehubungan dengan acara pernikahan anaknya dan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW.

Dengan demikian, kata dia, Habib Rizieq diancam pidana paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta untuk Pasal 93 UU Karantina Kesehatan. Kemudian, diancam pidana penjara maksimal 6 tahun untuk sangkaan Pasal 160 KUHP junto Pasal 216 KUHP.

“Mengapa akumulasi ancaman pidana ini diterapkan, mungkin hanya dengan alasan inilah HRS bisa ditahan. Dari sinilah benar jika ada yang menganggap penggunaan pasal-pasal pidana kepada HRS adalah dipaksakan alias ‘maksain banget’,” katanya.

Sugito coba mengajak publik mencermati pasal-pasal yang diterapkan kepada Habib Rizieq, yaitu Pasal 93 UU Karantina. Sejak awal, pasal ini disadari punya kelemahan karena cenderung tidak memiliki kepastian hukum, pasal karet, dan tidak selaras dengan asas legalitas dalam hukum pidana itu, bisa ditarik kesana-kemari.

Menurut dia, adanya sanksi pidana penjara yang dapat diakumulasi dengan sanksi denda menjadikan norma hukum ini tidak sesuai dengan asas kepastian atau (lex certa) dan kurang tegas dalam mengatur (lex stricta).

“Bahayanya, pelaku bisa saja cuma didenda secara administrative atau dipenjarakan, atau bisa juga kedua-duanya. Semua tergantung pada aparat penegak hukum,” katanya.

Harusnya, kata Sugito, dalam pemidanaan semestinya berlaku prinsip ultimum remedium, di mana sanksi pidana penjara adalah pilihan terakhir apabila sanksi administrative masih bisa diberikan.

Lebih celaka lagi, lanjut Sugito, apabila digandengkan secara akumulatif dengan Pasal 160 KUHP (penghasutan di muka umum) dan Pasal 216 KUHP (melawan perintah pejabat yang menjalankan undang-undang).

“Bukankah jika sudah ada aturan pidana khusus, maka aturan pidana umum dapat dikesampingkan (lex specialis drogat legi generali),” katanya.

Pasal 93 UU Karantina Kesehatan berbunyi ‘setiap orang yang tidak mematuhi karantina Kesehatan’ dan ‘dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan Kesehatan’ diancam dengan pidana sebagaimana dalam norma pasal ini.

Dengan demikian, Sugito menilai ketentuan pidana tentang  penghasutan di muka umum dengan mengumpulkan orang yang dikaitkan dengan Pasal 160 KUHP, serta melawan perintah undang-undang sebagaimana Pasal 216 KUHP sudah tidak dapat dipergunakan.

“Karena sudah termaktub dalam frase ‘menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantina kesehatan’ (Pasal 93 UU Karantina Kesehatan). Faktanya, kita tidak hanya disuguhi dengan praktik ketidakadilan, tapi juga praktik ketidakpastian (uncertainty) dalam penegakan hukum,” tandasnya. (ren)