Cerita Fahri Hamzah Dua Kali Rugi Hingga Setop Ekspor Benih Lobster
- Media Center DPN Gelora Indonesia
VIVA – Kasus dugaan suap yang menjerat Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terkait tata kelola izin benih lobster (benur) disayangkan banyak pihak. Meskipun kebijakan kebijakan Edhy Prabowo yang membuka kran ekspor benih lobster ditentang banyak pihak, tapi tak sedikit yang menganggap kebijakan itu bisa diterima sebagai alternatif pendapatan nelayan.
Seperti Fahri Hamzah yang mengaku sempat mencoba peruntungan sebagai eksportir benih lobster selepas tak lagi menjabat Wakil Ketua DPR RI. Fahri menilai kebijakan membuka kran ekspor benih lobster tidak bisa sepenuhnya disalahkan, apalagi nelayan juga menyambut gembira kebijakan ini.
"Saya sebagai pengusaha datang ketemu rakyat, ini pemerintah membolehkan penangkapan benur mereka sambut gembira, ini alternatif sumber pendapatan orang di masa yang serba terbatas gini, daripada ilegal dikriminalisasi mending dilegalkan," kata Fahri Hamzah di tvOne, Rabu, 25 November 2020.
Sebagai pemula, Fahri mengaku cukup lama mengurus izin ekspor hingga akhirnya bisa mengirimkan benih lobster ke luar negeri. Terhitung sejak Februari-Maret 2020 mengurus administrasi perizinan hingga kewajiban memiliki nelayan binaan.
Setidaknya ada 30 poin yang mesti diverifikasi Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam rentang tiga bulan (April, Mei, Juni) dan cek infrastruktur kesiapan usaha di lapangan. Hingga izin keluar pada Juli 2020.
"Saya mencoba mulai mengirim 16 Juli dan 19 Juli. Dua kali kirim saya rugi cukup besar. Saya pengusaha baru rugi enggak kuat, akhirnya saya hentikan, Juli, Agustus, September, Oktober sampai sekarang enggak operasional lagi karena rugi. Ini yang rugi bukan rakyat tapi pengusahanya," ujarnya.
Mantan Wakil Ketua DPR RI itu bersama rekan bisnisnya melakukan analisis terhadap kerugian yang muncul dari bisnis tersebut. Menurutnya, harga benih sampai dengan pengiriman tidak masuk akal sehingga membuat para pengusaha rugi.
Berdasarkan peraturan pemerintah, para eksportir ini tidak boleh membeli benih lobster dari nelayan di bawah Rp5.000. Dari sisi regulasi, terang Fahri, nelayan diuntungkan karena ada perlindungan dari segi pengaturan harga benur.
"Kalau mau untung sebagai eksportir tekan harga dibawah Rp5.000. Misal kita enggak beli ke nelayan tapi jadi nelayan sendiri sehingga enggak ada biaya. Tapi maintenance alat Anda harus canggih, sehingga risiko kematian dan perubahan warna benur tidak terjadi," ungkap mantan politikus PKS ini.
Selain itu, eksportir juga masih dihadapkan pada prosedur pengiriman benur di hilir sebelum dikirim ke luar negeri. Ia menduga ada praktik monopoli pengiriman benih lobster ke luar negeri. Belum lagi ada kartel di luar negeri yang berupaya menekan harga benur ekspor.
"Harga masuk sampai pengiriman ini enggak masuk akal jadi rugi. Ini yang saya alami pengusaha baru kaya saya ini, dua kali rugi ya berhenti aja," kata Fahri.
Politikus Gelora itu mengaku sempat mengusulkan agar para eksportir diberikan kebebasan untuk berhubungan langsung dengan importir negara tujuan ekspor benih lobster. Pemerintah tinggal melakukan kontrol terhadap aktivitas tersebut.
"Tapi rupanya ini tidak terjadi, akhirnya pada jalan masing-masing, saya enggak ikutan masih ada bisnis lain," tegasnya.