Bikin Kagum, Kisah Relawan Pemulasaran Jenazah COVID-19
- VIVA/Zahrul Darmawan
VIVA – Menjadi seorang relawan yang bersinggungan dengan kasus COVID-19 tentu tidaklah mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Mulai dari rawan tertular hingga jam kerja yang tak menentu.
Seperti yang dilakoni oleh Widiana Pratiwi, satu dari sejumlah relawan kemanusiaan tersebut. Lalu apa yang membuat ibu dua anak ini begitu berani mengambil risiko besar sebagai relawan pemulasaran jenazah pasien COVID-19.
Kisah itu berawal ketika dirinya merasa prihatian dengan tingginya kasus COVID-19 di Kota Depok, Jawa Barat sejak awal-awal pandemi.
“Saat itu kan Depok kewalahan terutama untuk jenazah yang meninggal di rumah. Ternyata ada kejadian dimana banyak rumah sakit di Depok yang tidak menyediakan vendor atau tenaga pemulasaraan,” katanya mengawali percakapan dengan VIVA pada Rabu 11 November 2020.
Baca juga: Mahfud: Tak Hadir di Istana, Gatot Nurmantyo Terima Bintang Jasa
Kala itu, ujar Wia, banyak masyarakat yang mengeluh. Kekhawatiran semakin menjadi, lantaran penyebaran COVID-19 cukup tinggi di daerah tempatnya tinggal, di wilayah Kecamatan Sawangan.
“Kan daerah saya termasuk tinggi yang terpapar maupun yang dikabarkan meninggal. Wilayah Pengasinan dan Bedahan sehingga saya juga bingung saat itu mau ngapain, mau aktivitas apapun juga takut,” jelasnya.
Tadinya wanita 30 tahun itu sempat ragu ketika beberapa rekan komunitasnya menawarkan untuk ikut bergabung menjadi relawan.
“Waktu itu kita suka ada kajian ibu-ibu muda gitu. Disampain ada enggak yang mau gabung jadi relawan. Saya bilang takut juga, jujur aja, dan ngapain ya.”
Hatinya tergerak untuk maju karena ternyata relawan pemulasaran sangat dibutuhkan. Ia pun akhirnya bergabung pada April 2020. Sejak saat itulah, Wia terlibat aktif dalam pemulasaran jenazah COVID-19.
“Ini darurat, dalam artian rumah sakit banyak kewalahan dan Dinkes (Dinas Kesehatan) juga mencari tenaga-tenaga yang memang siap untuk keluar rumah ketika dibutuhkan,” katanya.
Sempat Ditentang Keluarga
Menurutnya menjadi relawan tak seseram yang dibayangkan, terlebih ia sudah beberapa kali terlibat dalam aksi kemanusiaan bersama komunitas yang digelutinya.
“Kami kebetulan juga sudah sering aksi sosial kemasyarakatan, jadi kalau untuk keluar dalam hal kemanusiaan sudah biasa. Dari situ kita pikir jadikan ini amal jariyah, Insya Allah walaupun takut mas,” tuturnya.
Wia tak menampik, keputusannya itu semula sempat ditentang keluarga, khususnya sang suami.
“Terutama karena ya rasa takut, cemas, khawatir itu ada dan saya juga sampaikan bahwa kita kan dulu ada 36 orang di Dinkes waktu terbentuk. Saya sampaikan enggak setiap kasus saya yang turun.”
Selain memberi pengertian tadi, Wia juga mengajak suami untuk melihat langsung proses penanganan jenazah.
“Seiring berjalan waktu yang menguatkan ketika saya swab negatif, dan suami sempat juga nganter, jadi melihat sendiri proses istrinya melakukan pemulasaran. Mudah-mudahan dengan doa beliau (suami) semua selamat.”
Ia menegaskan, menjadi seorang relawan yang ikut terlibat dalam penanganan COVID-19 adalah sebuah kebanggaan tersendiri, dan itu tidak bisa diukur dengan materi.
“Karena memang passion-nya ke situ, saya senang-senang aja.”
Dengan apa yang telah dijalaninya itu, Wia pun berharap masyarakat terus mematuhi protokol kesehatan.
“Saya pikir kita harus lebih melindungi diri lagi. Sekecil apapun, walau sudah longgar. Banyak katanya ada vaksin atau apa, buat saya terutama proteksi diri aja. Kalau kena nanti yang susah keluarga juga.” (ren)