KAMI Jabar Ungkap Kronologi Soal Biayai Demo Rp12 Juta
- ANTARA FOTO/Arie Nugraha
VIVA – Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jawa Barat (Jabar) memaparkan terkait adanya dukungan dana Rp12 juta kepada massa peserta demo penolakan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja.
Presidium KAMI Jawa Barat, Sofyan Sjahril, mengungkapkan kegiatan mereka saat terjadi aksi demo pada 8 Oktober 2020. Kehadiran KAMI pada aksi tersebut dilatari karena demo pada 6 - 7 Oktober 2020 sebelumnya berakhir rusuh dan banyak korban akibat adanya bentrok maupun terkena gas air mata.
"Dalam kegiatan tersebut lazimnya penyediaan kebutuhan tim medis dan sukarelawan yang berjumlah 84 orang membutuhkan juga pembiayaan. Sehingga melalui urunan dari relawan dan simpatisan terkumpul baik berupa barang air minum dan makanan senilai Rp12 juta," ujar Sofyan pada Selasa 20 Oktober 2020.
Baca juga: Buruh Depok Tak Bergerak ke Istana, Pilih Curhat untuk Jokowi
Sofyan menegaskan keputusan KAMI membuka layanan itu tidak melanggar aturan. Pihaknya meyakini demo atau unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat atau organisasi pada umumnya selain dilindungi konstitusi UUD 45 juga dibolehkan dan diatur dalam UU Nomor 9/1998 tentang Mengemukakan Pendapat di Depan Umum.
"Dalam hal ini perlu ditegaskan tidak ada satu pasal pun ketentuan UU yang dilanggar. Relawan di pos medis sampai dengan selesai salat Maghrib berjamaah suasana sangat kondusif, dan berniat untuk pulang dianggap kegiatan sudah selesai," katanya.
Namun, lanjut Sofyan, saat kericuhan, tiba-tiba ada mahasiswa mendatangi tim medis. "Tiba-tiba ada seorang yang diduga mahasiswa berlari ke dalam pos medis, diduga kena gas air mata dan dibantu pengobatannya," katanya.
"Tidak berapa lama datang satu orang lagi pakai helm berpakaian preman membawa pentungan menarik salah satu relawan tim medis, dikira mahasiswa. Diduga tindakan tersebut provokatif dengan menarik relawan tanpa sebab.
Lalu keluar membuka pintu gerbang, oleh relawan ditutup kembali sehingga yang berpakaian preman terjatuh dan timbul kemarahan. Sehingga kemudian terjadi pengepungan pos medis oleh polisi baik berpakaian biasa maupun berseragam. Karena ternyata kemudian yang datang sendirian tersebut adalah petugas polisi berpakaian preman," lanjut Sofyan. (ren)