MA Kenakan Sanksi Disipliner kepada 52 Hakim atas Pelanggaran Etik
- bbc
Mahkamah Agung memberikan hukuman disiplin kepada 52 hakim karena melanggar kode etik, sekitar 57% dari total hakim yang dikenakan tindakan disipliner tahun 2020 ini.
Data yang dikeluarkan Badan Pengawas MA itu adalah angka untuk bulan September namun baru diterbitkan Senin (19/10).
Seorang mantan hakim berpendapat bahwa seorang hakim yang telah melanggar kode etik tidak lagi menjabat sebagai penegak hukum karena telah melanggar nilai-nilai tertinggi dari bagian tanggung jawab gelar itu.
Sementara, ketua Komisi Yudisial mengatakan catatan sanksi sesungguhnya sudah cukup memberi efek jera karena hal itu akan mempengaruhi kesempatan dalam perkembangan karier seorang hakim.
Di sisi lain, seorang pengamat hukum mengatakan seringnya terjadi pelanggaran etik oleh hakim-hakim adalah indikasi bahwa sistem pencegahan dan perbaikan dalam ranah itu tidak berjalan.
Asep Iwan Iriawan, seorang mantan hakim yang pernah menjabat sebagai hakim selama sekitar 25 tahun mulai tahun 1980-an, mengatakan kode etik adalah nilai-nilai tertinggi yang semestinya dipatuhi oleh para hakim.
Asep mengatakan gelar itu memiliki tanggung jawab menentukan nasib orang, sehingga tidak boleh melakukan perbuatan yang tercela.
Ia berpendapat bahwa hakim yang melanggar etik harus ditindak keras, bahkan dicabut kewenangannya.
"Jadi syarat-syarat hakim itu kan ditentukan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, di Undang-Undang Peradilan, PTUN, maupun peradilan umum, hakim itu harus berbuat baik, tidak melakukan perbuatan tercela. Jadi ketika hakim membuat perbuatan tercela, entah itu selingkuh atau tindak pidana lainnya, dia kena sanksi, harusnya dia bukan sebagai hakim lagi," kata Asep kepada BBC News Indonesia, Senin (19/10).
"Menurut saya sih, sanksi yang paling keras sih penghentian. Karena yang tertinggi itu kan etis, di bawah [ada] yuridis, kalau orang sudah nggak beretika, pada saat menyandang gelar "wakil Tuhan" - dia adalah penentu nasib orang - tapi dia melakukan perbuatan yang dia harus mengadili, logikanya ya nggak bisa dong. Nggak bisa sapu kotor membersihkan lapangan kotor," tambahnya.
Total jumlah hakim yang dikenai sanksi hingga September adalah sebanyak 93 orang.
Dari jumlah itu, 52 orang dijatuhi hukuman disiplin di September. Dalam periode tersebut, ada satu hakim dijatuhi hukuman etik berat, delapan hukuman etik sedang dan 43 sanksi ringan.
Hakim yang diberi sanksi berat adalah Hakim DS yang bertugas di Pengadilan Negeri (PN) Wsb.
Hakim DS dinilai melanggar prinsip berperilaku adil, berperilaku jujur, serta berperilaku arif dan bijaksana. Hakim DS juga dinilai melanggar prinsip menjunjung tinggi harga diri.
`Sanksi itu tabu`
Jumlah hakim yang disanksi pada bulan September sendiri mencakup sekitar 57?ri total jumlah hakim yang diberikan hukuman disiplin sepanjang 2020.
Angka pada bulan September disebutkan yang terbanyak sepanjang tahun ini.
Ketua Komisi Yudisial, Jaja Ahmad Jayus mengatakan jumlah tersebut memang tergolong banyak.
Meski demikian, ia menjelaskan bahwa ada kemungkinan kasus-kasus yang dijatuhi hukuman pada bulan September adalah dari kejadian di bulan-bulan sebelumnya.
Jaja menjelaskan bahwa catatan sanksi cukup memberikan dampak berat terhadap seorang hakim yang melanggarnya, sebab hal itu terekam pada jejak karir orang yang bersangkutan dan menjadi pertimbangan serius dalam pemberian promosi maupun mutasi oleh Mahkamang Agung.
"Dikasih teguran tertulis aja itu udah jadi catatan bagi hakim. Karena [dalam] karirnya, menjadi catatan terus di Mahkamah Agung. Nanti kalau misalnya promosi, mutasi dan sebagainya itu, pernah dia diberikan sanksi sampe sanksi yang tertera itu jadi catatan di Mahkamah Agung," tutur Jaja, Senin (19/10).
"Misalnya kalau dia punya keinginan untuk menjadi hakim di Kelas IA khusus, kalau track record-nya itu kurang bagus, itu yakin Mahkamah Agung tidak akan mempromosikan dia ke hakim Kelas IA khusus. Jadi, sanksi bagi hakim, itu sesuatu yang tabu. Sesuatu yang tidak diinginkan. Jadi, jangankan sanksi berat, sanksi ringan aja itu sesuatu yang pengen dihindari oleh para hakim," tambahnya.
Sementara, direktur eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Dio Ashar Wicaksana, mengatakan masalah yang sesungguhnya harus menjadi perhatian bukan saja penindakan dan pemberian sanksi, namun pencegahan dan perbaikan sistem.
Dia mengatakan pelanggaran etik oleh hakim yang terus menurus terjadi adalah indikasi bahwa sistem tersebut tidak berjalan.
"Kita melihat kan kalau pelanggaran hakim itu sering dilakukan. Nah, itu kan sudah mejadi suatu hal rutinitas yang terjadi. Dan itu sebenarnya yang harus dibenahi adalah system. Karena itu saya berpandangan, tidak hanya dalam hal penindakannya, tetapi bagaimana membuat fungsi pencegahannya," ujar Dio via telpon, (19/10).
"Untuk menentukan fungsi pencegahannya seperti apa, kita harus tahu bentuk-bentuk pelanggarannya seperti apa. Nah, hal itu yang sebenarnya yang perlu ditelusuri adalah apa bentuk-bentuk pelanggarannya dan dibuat suatu database dan disitu yang nanti jadi acuan dari KY ataupun Mahkamah Agung, apa rekomendasi untuk perbaikan hakim," tambahnya.
Dio mengatakan publikasi hukuman disiplin oleh MA hanya memperlihatkan aturan kode etik yang dilanggar seorang hakim, dimana sifatnya abstrak. Ia berpendapat bahwa pelanggaran-pelanggaran harus ditelusuri secara detil demi mengidentifikasikan akar permasalahan untuk diklasifikasi.
"Ditelusuri, apa sih akar permasahalannya. Dan itu harus di-connect dengan bagaimana penyusunan kebijakan preventive ataupun perbaikan kedepannya," kata Dio.