Jumhur Dijemput Tanpa Surat Penangkapan, Amnesty Indonesia: Intimidasi
- abc
Istri Jumhur Hidayat menyuarakan kekesalannya pada polisi Indonesia yang menurutnya tidak taat protokol kesehatan ketika menjemput suaminya atas klaim melanggar UU ITE. Amnesty Indonesia menganggap penangkapan sebagai upaya intimidasi.
Sekitar pukul tujuh pagi Selasa (13/10) kemarin, sejumlah polisi berpakaian preman merangsek masuk ke kediaman Jumhur Hidayat sampai ke kamar tidurnya.
Jumhur Hidayat dikenal sebagai aktivis 98 jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pernah menduduki jabatan sebagai Kepala BNP2TKI (sekarang BNPMII) di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Ia sempat menjadi salah satu pendukung Joko Widodo pada Pemilu tahun 2014, sebelum menjadi salah satu anggota KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) yang dideklarasikan Agustus lalu.
Koalisi tersebut didirikan untuk merespon apa yang mereka sebut kegagalan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam penanganan COVID-19.
Kepada ABC Indonesia, istri Jumhur, Alia Febiyani menceritakan, ada hampir tiga puluh orang berpakaian hitam dan putih dan bercelana jeans yang masuk ke rumahnya pagi itu.
"Rumah kan tempat keluarga, ada anak-anak, tapi mereka memaksa masuk begitu saja, bahkan nggak mau menunggu, padahal saya bilang saya sedang mau pakai jilbab dulu," tutur Alia.
"Kesel banget mereka nggak taat aturan protokol kesehatan. Sempet saya tegur, "Kalian semua masuk-masuk kamar orang begini sudah pada diswab belum? Lagi pandemi begini?"," tambah Ibu empat orang anak ini.
Saat dijemput dari rumah, Polisi tidak memperlihatkan atau memberikan Surat Penangkapan. Surat baru diberikan di Bareskrim sore harinya.
Selain menganggap proses penjemputan yang berlebihan, Alia juga sempat mempertanyakan surat penahanan dan penggeledahan yang dilakukan orang-orang yang belakangan diketahui sebagai polisi.
"Kalau ngomong baik-baik bilang mau jemput juga berangkat kok, nggak perlu datengin sampai 30 orang gitu kali, … ini kayak mau nangkep teroris saja," kata Alia kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.
"Saat saya tanya surat penangkapan, dijawab "ada", tapi nggak diberikan kepada saya pagi itu. Surat penangkapan baru saya terima sore hari ketika saya ke Bareskrim untuk mengambil HP dan beberapa gadget lainnya," ujar Alia.
Pagi itu menurut Alia, selain menjemput suaminya, polisi juga menggeledah rumahnya dan membawa delapan gadget dari sana berupa telepon genggam, laptop, komputer tablet, dan "motherboard" komputer.
"Termasuk punyanya anak-anak, jadi mereka kemarin tidak sekolah karena masih "school from home" [sekolah di rumah], sementara laptopnya dibawa polisi," kata Alia.
Alia juga mempertanyakan penggeledahan yang dilakukan di rumahnya, karena sesuai surat penangkapan yang akhirnya ia peroleh, hanya tercantum poin "penggeledahan badan/pakaian tersangka".
Kini, ia dan keempat anaknya masih harus menunggu kapan pastinya Jumhur akan kembali ke rumah.
"Kemarin surat penahanannya untuk dua hari, semalam telepon katanya akan ada surat penahanan untuk dua puluh hari," ujar Alia.
"Tapi selama saya tahu suami saya ada di mana dan bagaimana dia diperlakukan, saya sudah tenang. Mungkin hanya sedikit khawatir karena Akang (panggilan Jumhur) sedang masa pemulihan setelah operasi pengangkatan batu empedu, baru pulang ke rumah hari Minggu malam," tambahnya.
Selain Jumhur Hidayat, polisi juga menangkap Anton Permana dan Syahganda Nainggolan dari KAMI.
Polisi mengklaim ketiganya melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) melalui unggahan media sosial mereka.
Amnesty Indonesia minta polisi bebaskan tiga petinggi KAMI
Menanggapi penangkapan tiga pimpinan KAMI, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai penangkapan tersebut dilakukan untuk menyebar ketakutan di antara mereka yang mengkritik pengesahan Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja.
Pada hari Senin, Polda Sumut menangkap empat anggota KAMI terkait aksi protes Omnibus Law Cipta Kerja.
Selama beberapa hari terakhir, KAMI begitu keras mengkritik Omnibus Law Cipta Kerja.
Keluarga mengkhawatirkan kondisi kesehatan Jumhur yang masing dalam pemulihan setelah operasi.
Salah satu pendirinya, Din Syamsuddin, mengatakan kepada media bahwa undang-undang tersebut berpotensi menimbulkan kegaduhan nasional dan disahkan tanpa konsultasi yang memadai.
"Di sisi lain, penangkapan ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi di negara ini sedang terancam dan bisa dilihat sebagai upaya untuk mengintimidasi oposisi dan mereka yang mengkritik rezim yang sedang berkuasa," ujar Usman Hamid dalam pernyataan tertulisnya.
Usman juga mengkhawatirkan penggunaan pelanggaran UU ITE pada ketiganya.
"Negara harus menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap mereka yang mengkritik dan memastikan penghormatan penuh terhadap hak asasi manusia bagi siapa saja, termasuk pihak oposisi."
Menurutnya, Presiden Jokowi telah melanggar janjinya sendiri untuk melindungi hak asasi manusia.
"Pihak berwenang harus segera membebaskan ketiganya, yang dijerat hanya karena mempraktikkan kebebasan berbicara, dengan tanpa syarat," pungkas Usman.
Ikuti berita seputar pandemi dan lainnya di ABC Indonesia.