Kontras Sebut Tiga Anak Tersangka Demo Omnibus Law Ditelanjangi

Kontras Surabaya saat konferensi pers di Surabaya, Jawa Timur, pada Rabu, 14 Oktober 2020.
Sumber :
  • VIVA/Nur Faishal

VIVA – Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya menilai polisi bertindak semena-mena saat menangkap ratusan pendemo yang menolak Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja di Kota Surabaya, Jawa Timur, pada Kamis, 8 Oktober 2020. Padahal, mereka yang ditangkap kebanyakan adalah pelajar yang masih kategori anak di bawah umur.

Koordinator KontraS Surabaya, Faisal, mengatakan, berdasarkan pengawasan yang lembaga itu lakukan, ada semacam kekuatan berlebih yang dikerahkan oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur dan Kepolisian Resor setempat dalam pengamanan unjuk rasa di Gedung Negara Grahadi dan beberapa titik aksi lain di Surabaya.

"Kita sama-sama tahu soal jumlah penangkapan pendemo hingga ratusan orang, tapi yang ditetapkan tersangka empat belas orang. Artinya, dalam melakukan penangkapan secara semena-mena. Tidak hanya secara semena-mena, tapi juga melakukan kekerasan," kata Faisal dalam konferensi pers di kantor KontraS Surabaya, pada Rabu, 14 Oktober 2020.

Baca: 5 Fakta Isi WA Grup KAMI yang Dibongkar Polisi

Faisal mengonfirmasi informasi tindakan kekerasan itu berdasarkan keterangan sedikitnya tiga pendemo anak-anak yang ditetapkan tersangka oleh kepolisian. Padahal, katanya, saat ditangkap mereka tidak melawan dan tidak membawa benda yang membahayakan. Ketiga tersangka itu, AM (17 tahun), MIF (15), dan FES (15), kini didampingi secara hukum oleh KontraS Surabaya.

"Orang yang ditangkap saat itu tidak melakukan perlawanan, tidak membawa senjata, mereka menyerah saja tapi tetap dipukul. Mereka mengatakan, berdasarkan (keterangan) dari tiga tersangka anak, mengaku dapat pemukulan, tendangan, ada yang digunduli, ditelanjangi, dan mereka tidak dilakukan secara manusiawi saat penangkapan," ujar Faisal.

Berdasarkan monitoring di lapangan dan pengaduan, ada tujuh bentuk tindakan aparat kepolisian yang dinilai KontraS Surabaya tidak sesuai prosedur standar operasional (SOP) saat mengamankan unjuk rasa di Surabaya. Pertama, kata Faisal, polisi menangkap peserta aksi yang baru akan melakukan unjuk rasa dan tidak terlibat aksi perusakan serta penyerangan. Ada juga yang ditangkap saat dirawat di posko medis.

"Kedua, aparat kepolisian melakukan tindak kekerasan kepada massa aksi yang menjadi relawan medis, massa aksi yang tidak bersenjata, dan massa aksi yang tidak melawan saat ditangkap. Ketiga, KontraS menemukan bahwa aparat kepolisian melakukan penyerangan dan melakukan perusakan terhadap Sekretariat PMKRI yang digunakan untuk posko kesehatan selama aksi," ujar Faisal.

Keempat, aparat mengintimidasi peserta aksi dan jurnalis yang berupaya melakukan pendokumentasian kerusuhan selama aksi. Hal itu dilakukan dengan cara merampas alat pendokumentasi yang digunakan dan menghapus paksa hasil dokumentasi.

"Kelima, kami juga menemukan aparat kepolisian menghalangi akses informasi mengenai data pasti siapa saja dan berapa keseluruhan jumlah massa aksi yang ditangkap,” tuturnya.

"Keenam, aparat kepolisian hingga kemarin belum memberikan informasi secara detail jumlah jenis dan keberadaan barang-barang yang dirampas selama aksi. Ketujuh, aparat kepolisian melakukan kekerasan dan tindakan tidak manusiawi kepada tersangka anak di bawah umur selama proses penangkapan,” kata Faisal.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jatim Komisaris Besar Polisi Trunoyudo Wisnu Andiko ogah menanggapi itu. "Kalau ada laporan ke polda atau Propam, baru kita akan tanggapi," katanya dihubungi VIVA melalui sambungan telepon genggam.