Muhammadiyah Sarankan Tiga Hal bagi Masyarakat soal Omnibus Law

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti
Sumber :
  • Ridho Permana

VIVA – Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengimbau kepada segenap umat muslim di Indonesia untuk tetap menjaga situasi tetap kondusif, dalam menyikapi masalah Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.

Menurut Mu’ti, jangan seperti aksi unjuk rasa yang menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja beberapa waktu lalu berujung anarkistis hingga fasilitas umum dirusak bahkan dibakar.

“Soal kontroversi RUU Cipta Kerja, seharusnya tidak menguras dan menghabiskan energi kita semua. Penolakan yang dilakukan oleh masyarakat, saya kira itu sesuatu yang wajar karena dalam demokrasi perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan,” kata Mu’ti di Jakarta, Selasa, 13 Oktober 2020.

Baca: Prabowo Ungkap Dalang dan Pemodal Demo Rusuh Omnibus Law

Meski demikian, ia tak setuju kalau ada demo lanjutan, apalagi dibumbui dengan aksi anarkis. Masyarakat yang berkeberatan bisa menempuh tiga jalur.

Pertama, menunggu hingga 30 hari hingga UU itu resmi diundangkan oleh pemerintah, sementara DPR masih melakukan revisi karena banyaknya masukan dari partai-partai dalam sidang paripurna.

Kedua, telaah pada pasal-pasal yang dalam UU tersebut. Kalau memang ada pasal yang bertentangan dengan UUD 1945, masyarakat bisa menggunakan hak konstitusionalnya untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketiga, masyarakat diharapkan untuk bersikap dewasa, arif dan bijaksana dalam menyikapi persoalan ini. “Janganlah karena persoalan (pengesahan UU Cipta Kerja) ini, persatuan dan kesatuan kita terkoyak-koyak,” kata Guru Besar Pendidikan Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah itu.

Ia malah menganjurkan kepada publik agar lebih fokus kepada masalah pandemi COVID-19 dan isu resesi ekonomi yang menghantui Indonesia. “Karena itu, semua pihak hendaknya berbicara dari hati ke hati. Perlu dialog antara pemerintah dan masyarakat,” ujarnya.

Masyarakat diimbau tak membawa persoalan ini keluar dari substansi sebenarnya. Bila perlu tak ada aksi demo lagi.

“Betul bahwa hak menyampaikan pendapat lewat demonstrasi adalah hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945. Tapi demonstrasi iu harus dilaksanakan berdasarkan dengan UU yang berlaku. Demonstrasi jangan disertai dengan kekerasan dan perbuatan yang menimbulkan kerusakan maupun kerugian bagi masyarakat,” katanya.

Demonstrasi, katanya, jangan dilakukan sebagai sarana pelampiasan kebencian, sebab dalam sejumlah peristiwa demo terlontar kata-kata yang menyerang pihak lain maupun yang bernuansa SARA.

Masyarakat juga disarankan untuk tidak terprovokasi dengan isu-isu yang tidak jelas kebenarannya. Untuk itu, ia menghimbau agar umat muslim untuk tidak menyebarkan informasi yang tak diketahui sumbernya. Apalagi informasi ini berisi hal-hal yang berpotensi memecah persatuan bangsa dan melemakan kerukunan umat.

Selain itu, jangan menyebarkan informasi yang tak sesuai dengan tuntunan agama kepada orang lain. “Kita seharusnya menjadi muslim yang cerdas dan tercerahkan. Informasi yang tidak baik kita diamkan saja dan kita ganti dengan meyebarkan informasi yang baik, benar dan akurat dan mendatangkan ketenangan dan kedamaian,” katanya.

Karena itu, ia juga mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak terpengaruh untuk berperilaku anarkis karena justru memberikan keuntungan bagi segelintir orang yang mencoba mengail di air keruh atas persoalan Omnibus Law ini.

“Marilah kita sekalian senantiasa diberikan pertolongan oleh Allah sehingga diberikan kekuatan agar terhindar dari perpecahan dan bangsa bisa senantiasa saling bekerja sama,” tutunya.