Mahasiswa Diimbau Tak Ikut Demo, P2G Ingatkan Program Kampus Merdeka
- Kemdikbud.go.id
VIVA – Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) mengkritisi surat imbauan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Dirjen Pendidikan Tinggi bernomor 1035/E/KM/2020 tentang pembelajaran daring dan sosialisasi UU Cipta Kerja. Salah satu poin dari surat imbauan tersebut adalah mengimbau para mahasiswa tidak ikut aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja.
“Imbauan Kemendikbud agar mahasiswa tak ikut demonstrasi, ditambah agar kampus mensosialisasikan UU Cipta Kerja ini menurut saya mengandung beberapa kontradiksi jika tidak dikatakan paradoksal,” kata Koordinator P2G/Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru, Satriwan Salim melalui keterangan tertulis, Minggu, 11 Oktober 2020.
Baca juga: Airlangga Duga Pelaku Vandalisme Demo Omnibus Law Bukan Mahasiswa
Salim menjelaskan, kontradiksi tersebut di antaranya adalah: Pertama, imbauan agar kampus ikut mensosialisasikan UU Cipta Kerja justru mengandung kontradiksi yang mendalam. Sebab draf final UU Ciptaker tersebut tak bisa diakses oleh kalangan akademisi, aktivis masyarakat sipil, bahkan oleh publik umumnya hingga sekarang ini.
“Apalagi ditambah keterangan DPR jika draf tersebut belum final, lantas yang disahkan ketika sidang paripurna itu apa? Jadi apanya yang harus disosialisasikan oleh universitas?” ujarnya.
Kontradiksi kedua, Kemendikbud sudah membuat program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka bahkan jadi slogan di mana-mana. Dengan adanya intervensi surat imbauan tersebut, menjadikan kampus tidak lagi merdeka.
Kampus Merdeka tak ubahnya sekadar jargon, di saat Kemendikbud mencabut kemerdekaan akademik universitas sebagai lembaga yang berfungsi mengembangkan nalar kritis.
“Ini adalah bukti bahwa kebijakan Kemdikbud kontradiktif. Di satu sisi Kemdikbud membuat kebijakan Kampus Merdeka, namun di sisi lain memasung kemerdekaan kampus dalam menjalankan fungsi kritisnya sebagai wujud Kampus Merdeka,” ujarnya.
Ketiga, kampus sudah semestinya menyiapkan generasi-generasi muda yang berperan sebagai intelektual organik, intelektual yang senafas dengan rakyat, betul-betul merasakan apa yang dirasakan para buruh, masyarakat adat, dan lainnya terhadap UU Ciptaker ini. Apalagi para mahasiswa belajar tak hanya di ruang kuliah yang terbatas tembok, melainkan ruang kuliah sesungguhnya para mahasiswa ini adalah lingkungan masyarakat itu sendiri.
“Mengikuti aksi demonstrasi adalah bagian dari laboratorium sosial mahasiswa sebagai agen perubahan. Menjauhkan mahasiswa dari rakyat, sama saja menjauhkan ikan dari lautan luas,” katanya.
Keempat, pada poin nomor 6 surat Imbauan tersebut dikatakan menginstruksikan para dosen senantiasa mendorong mahasiswa melakukan kegiatan intelektual dalam mengkritisi UU Ciptaker. Menurutnya justru kritik itulah yang tengah dilakukan mahasiswa, adapun aksi turun ke jalan merupakan wujud aspirasi dan ekspresi mereka terhadap langkah-langkah DPR dan Pemerintah yang abai terhadap aspirasi mereka bersama rakyat lainnya.
“Semestinya Kemendikbud beri apresiasi kepada para mahasiswa yang sedang melakukan aktivitas kritisnya kepada DPR, karena demikianlah tugas seorang intelektual. Walaupun tidak dengan merusak fasilitas umum misalnya,” ujarnya.
Kelima, Kemendikbud tak usah alergi dengan kekritisan para mahasiswa dan dosen terhadap UU Ciptaker ini. Kampus punya otonomi yang mesti dihargai Kemendikbud.
“Munculnya reaksi para mahasiswa, buruh, dan kalangan sipil lainnya terhadap UU, ini membuktikan jika pemerintah dan DPR tidak transparan dalam proses pembuatannya. Tak membuka ruang dialog dan partisipasi kepada masyarakat sebagaimana ciri utama negara demokrasi,” ujarnya.
Dia menambahkan, “Para mahasiswa sesungguhnya sedang menunaikan tugasnya sebagai kelompok intelektual yang tak berjarak dengan rakyat. Kemendikbud hendaknya paham jika kampus itu bukan lembaga tukang stempel.”