Polisi Temukan 34 Pendemo UU Cipta Kerja Reaktif COVID-19
- Istimewa
VIVA – Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan sementara ada 34 orang pendemo menolak Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang dinyatakan reaktif terhadap virus COVID-19 di wilayah hukum Polda Metro Jaya atau DKI Jakarta.
Baca Juga: KSPI Bongkar Pengkhianatan DPR atas Kesepakatan Bersama Buruh
"Dari data terbaru ditemukan ada 34 dan 13 pendemo di Bandung reaktif COVID-19," kata Argo, Kamis, 8 Oktober 2020.
Menurut dia, mereka yang dinyatakan reaktif sudah dibawa ke Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat untuk melakukan isolasi. “Sementara sudah 34 orang dibawa ke Wisma Atlet," ujarnya.
Oleh karena itu, Argo mengimbau masyarakat harus lebih bijak lagi dalam menyampaikan aspirasinya mengingat situasi masih pandemi COVID-19. Jangan sampai, kata dia, malah terjadi klaster baru penularan virus corona.
"Sejak awal Polri telah berusaha untuk mencegah terjadinya klaster baru penyebaran virus corona. Sebab itu Pak Kapolri Jenderal Idham Azis menerbitkan surat Telegram," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Kapolri Jenderal Idham Azis menerbitkan surat Telegram Rahasia (TR) soal antisipasi adanya demonstrasi dan mogok kerja yang akan dilakukan oleh kaum buruh pada 6-8 Oktober 2020 terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law atau Cipta Kerja.
Telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 itu diteken oleh Aspos Kapolri, Irjen Imam Sugianto per tanggal 2 Oktober 2020. Dalam telegram itu, tertulis unjuk rasa di tengah pandemi akan berdampak pada faktor kesehatan, perekonomian, moral dan hukum di tatanan masyarakat.
Selain antisipasi adanya demonstrasi, surat telegram juga meminta kepada seluruh jajaran Polri untuk melakukan patroli siber di media sosial terkait dengan potensi merebaknya penyebaran informasi palsu atau hoax terkait dengan isu Omnibus Law.
Selain itu, Kapolri memerintahkan jajaran untuk melakukan kegiatan fungsi intelijen dan pendeteksian dini guna mencegah terjadinya aksi unjuk rasa dan mogok kerja yang berpotensi terjadinya konflik sosial serta aksi anarkis di wilayah masing-masing.