PAN Kritisi UU Ciptaker, Aturan Turunannya Sesuaikan Keinginan Publik

Pelaksana Harian Ketua Fraksi PAN DPR, Saleh Partaonan Daulay (kanan)
Sumber :

VIVA – Dalam paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi undang-undang pada Senin 5 Oktober 2020, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) termasuk yang menerima tapi dengan catatan. Sementara PKS dan Demokrat menolak, dan 6 fraksi menerima secara bulat yakni PDIP, Gerindra, Golkar, Nasdem, PKB dan PPP.

Pelaksana harian (Plh) Ketua Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay, mengatakan ada sejumlah catatan kritis yang disampaikan PAN. Catatan ini adalah akumulasi dari aspirasi yang disampaikan masyarakat kepada Fraksi PAN. 

"Catatan kritis Fraksi PAN tersebut adalah satu, Fraksi PAN menilai bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja ini terlalu tergesa-gesa dan minim partisipasi publik. Karena itu, tidak berlebihan jika kemudian dikatakan bahwa hasil dari RUU ini kurang optimal. Oleh karena itu, penyusunan aturan turunannya perlu menyerap aspirasi publik secara luas," kata Saleh, Selasa, 6 Oktober 2020.

Baca juga: Sekjen DPR Bela Puan Maharani Matikan Mikrofon Rapat UU Cipta Kerja

Kedua, dari sektor kehutanan, Fraksi PAN menilai bahwa aturan yang ada dalam UU Cipta Kerja masih mengesampingkan partisipasi masyarakat. Terutama dengan penghapusan izin lingkungan, penyelesaian konflik lahan hutan, masyarakat adat dan perkebunan sawit, serta tumpang tindih antara areal hutan dengan izin konsesi pertambangan.

"Ketiga, dari sektor pertanian, Fraksi PAN mendorong pemerintah agar keran impor pangan dari luar negeri tidak dibuka terlalu lebar. Pemerintah harus memproteksi hasil produksi pangan lokal untuk meningkatkan daya saing petani," katanya. 

Sebab, lanjut Saleh, tanpa ada keran impor saja, tingkat daya saing komoditas pertanian di Tanah Air sangat sulit untuk dikendalikan. "Fraksi PAN menilai bahwa pengendalian harga komoditas pertanian yang dapat melindungi konsumen dan petani sekaligus, belum menjadi agenda dalam RUU Ciptaker," ujar Saleh.

Catatan keempat, Fraksi PAN menilai, ketentuan dalam Pasal 49 tentang Jaminan Produk Halal, khususnya dalam Pasal 4A bahwa kewajiban bersertifikat halal bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang didasarkan atas pernyataan pelaku UMK (self declare). Sekali pun dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH, berpeluang besar melahirkan praktik moral hazard yang dilakukan pelaku UMK. 

"Self declare ialah pengakuan sepihak, yang belum tentu bisa diverifikasi kebenarannya. Dalam konteks ini, semestinya RUU Ciptaker ini bisa mengatur lebih spesifik terkait dengan labelisasi produk halal melalui Lembaga yang resmi dan disetujui," ujarnya.

Kelima, dalam bidang ketenagakerjaan, Fraksi PAN belum melihat penjelasan lebih khusus mengenai aspek rencana penggunaan tenaga kerja asing. Agar tidak menimbulkan multiinterpretasi, sebaiknya hal itu bisa dicantumkan secara spesifik dalam UU ini.

Keenam, Fraksi PAN menilai, penghapusan ketentuan Pasal 64 dan 65  dalam UU Ketenagakerjaan yang memuat pengaturan mengenai dapatnya perusahaan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya, melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis, dapat berimplikasi pada dimungkinkannya semua jenis pekerjaan untuk diborongkan tanpa adanya batasan tertentu. 

"Dengan demikian akan melahirkan banyak pekerja kontrak yang tidak terproteksi dengan fasilitas-fasilitas yang telah diakomodir dalam UU Ketenagakerjaan. Fraksi PAN menilai bahwa perusahaan-perusahaan nantinya bisa secara membabi buta menggunakan pekerja kontrak. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan," ujar Saleh.

Kemudian ketujuh, dalam Pasal 88B dijelaskan bahwa upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau hasil. Fraksi PAN menilai, ketentuan ini berpotensi melahirkan persoalan baru dan ketidakadilan bagi kesejahteraan pekerja/buruh, di antaranya penghasilan yang diterima bisa berada di bawah upah minimum yang seharusnya didapatkan pekerja/buruh. 

"Karena itu, Fraksi PAN menilai ketentuan ini hanya cocok diterapkan kepada pekerja profesional, bukan pekerja/buruh," ujar Saleh.

Catatan kedelapan, Fraksi PAN menilai bahwa jumlah pemberian pesangon adalah tetap sebanyak 32 kali gaji. Hanya saja yang membuat berbeda ialah pesangon itu tidak saja dibayarkan oleh pemberi kerja, tetapi juga dibayar oleh pemerintah. 

"Saat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), pemberi kerja wajib membayar pesangon sebesar 23 kali gaji. Sedangkan pemerintah membayar 9 kali gaji melalui skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)," kata Saleh

Dia menambahkan, jalan keluar itu bisa dilakukan agar tidak terlalu membebani pengusaha. Tapi juga tidak mengurangi hak pekerja dalam memperoleh pesangon. 

"Namun Fraksi PAN menilai bahwa skema ini perlu diatur dan diperdalam lebih lanjut. Sebab skema JKP ini direncanakan juga akan menyerap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)," ujarnya.