Tak Hanya Dokter, Penjaga Lapas Juga Rentan Tertular COVID-19
VIVA – Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kelas IIA Pekanbaru, Provinsi Riau, kini mencekam akibat “musuh” yang tak kasat mata. Tebalnya tembok dan jeruji sel, ternyata bukan jaminan keamanan pada masa pandemi.
Satu per satu pegawai dan narapidana terinfeksi COVID-19, dan jumlahnya diyakini akan terus bertambah. Suasana lapas kini ibarat rumah sakit karena semua petugas wajib mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap.
Sejak pagi sampai sore mereka harus mengenakan baju hazmat, sarung tangan, masker, dan perisai muka dari plastik. Sipir Lapas harus bertahan berjam-jam mengenakan hazmat saat udara panas di ruangan tanpa AC.
Peluh terlihat membanjiri tubuh mereka karena hembusan kipas angin seperti sudah tidak terasa lagi. “Biasanya orang di rumah sakit pakai hazmat di ruangan AC. Kalau kita ini keringat sampai meleleh di dalam baju,” kata petugas bernama May, yang berjaga di pintu utama Lapas Perempuan kepada ANTARA di Pekanbaru, pada awal Oktober 2020.
Virus mematikan itu pertama diketahui menginfeksi seorang petugas pada 18 September dan pada awal Oktober jumlahnya bertambah puluhan kasus.
“Sampai sekarang ini ada 28 warga binaan yang terkonfirmasi positif COVID-19, sedangkan dari petugas ada tiga orang. Kalau saya lihat penularannya sudah merata di semua blok yang ada,” kata Kepala Keamanan Lapas Perempuan, Ema Tarigan.
Menurut dia, virus SARS-Cov-2 menyebar hingga ke ruang sel narapidana karena pegawai yang terinfeksi bertugas sebagai keamanan dan rutin patroli ke blok warga binaan. Ia sempat menyayangkan petugas tersebut tetap nekad masuk, padahal menyadari ada gejala tertular.
“Dua pekan terakhir ini dia positif (COVID-19) tapi tidak mengabarkan kita. Jadi, ternyata dia masih ke kantor, dia demam, padahal kita sudah kasih tahu kalau demam jangan ke kantor,” katanya.
Keterbatasan
Ibu Ema Tarigan mengizinkan ANTARA untuk meliput kondisi Lapas itu dengan syarat, wartawan harus membawa APD sendiri demi keamanan. Sebabnya, pihak Lapas juga kekurangan APD.
Taman di tempat itu kini berfungsi sebagai jemuran hazmat petugas agar bisa dipakai berulang-ulang. Sedangkan, khusus untuk perawat Lapas, mereka harus rajin mengganti hazmat tiga kali sehari karena merawat warga binaan yang positif COVID-19.
BACA JUGA: Isi Kamar Tahanan di Rutan Tangerang, dari Sendok sampai Palu Kayu
Demi keamanan diri, mereka merogoh kocek sendiri untuk membeli APD. “Ada dikasih satu hazmat per pegawai dari Lapas. Tapi untuk kesehatan masing-masing, kami harus upayakan diri sendiri karena setiap hari masuk. Kita beli dengan uang sendiri,” katanya.
Setelah muncul kasus perdana, pihak Lapas segera melapor ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Riau. Ema mengatakan instruksi yang mereka terima untuk antisipasi adalah langsung melakukan pelacakan terhadap kontak erat dari pasien pegawai Lapas.
Selain itu, 20 warga binaan yang rentan tertular karena berusia 50 tahun ke atas, langsung dipindahkan ke Lapas Anak Pekanbaru di daerah Rumbai.
Untuk proses pelacakan (tracking) kontak erat, mereka melaporkan kasus ke Puskesmas dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Pekanbaru hingga ke Dinkes Provinsi Riau.
Harapannya agar segera dilakukan uji usap (swab) massal terhadap semua pegawai dan ratusan warga binaan. Namun, sudah berhari-hari menunggu, tenaga kesehatan yang dinanti tak kunjung datang.
“Ketika muncul satu petugas positif tanggal 18 September, kita sudah minta tolong ke Dinkes tak ada tanggapan. Kita ambil keputusan sendiri, pegawai uji usap (swab) dan ambil sampel yang kontak erat warga binaan langsung. Ternyata, dari 10 orang terjaring tiga positif,” ujarnya.
Butuh bantuan
Ia mengatakan Dinkes Riau hanya datang ke sana untuk melakukan penyemprotan disinfektan.
Tenaga kesehatan Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru akhirnya datang melakukan uji usap tanggal 25 September, berselang tujuh hari kasus terkonfirmasi pertama. Itu pun hanya 80 warga binaan yang bisa diperiksa, padahal di Lapas ada 319 narapidana.
“Hasilnya tambah positif 20 orang. Lalu ada warga binaan di dalam yang merasa kondisi badannya tidak enak memohon untuk diperiksa. Akhirnya kita usap mandiri 10 orang, terjaring lagi lima orang,” katanya.
Ia mengatakan 28 narapidana yang positif COVID-19 dikumpulkan ke lima ruang sel agar terpisah dari warga binaan lainnya. Sel itu berukuran 4 x 5 meter dengan satu kamar mandi. Satu ruangan ada yang berisi enam hingga sembilan orang. Mereka diwajibkan untuk selalu mengenakan masker.
“Pola pemisahan tergantung gejala. Ada yang orang tanpa gejala, gejala sedang, dan agak berat,” katanya.
Ia mengakui kondisi Lapas sangat tidak layak, namun terpaksa dilakukan karena belum juga ada kepastian untuk merawat warga binaan positif COVID-19 di fasilitas isolasi mandiri yang disediakan pemerintah daerah.
Ema mengatakan kemungkinan masih ada warga binaan yang tertular, namun tidak teridentifikasi. Seorang napi ada yang sudah dipisahkan ke sel khusus karena mengaku muncul gejala kehilangan indra penciumannya.
Bahkan, beberapa ruangan kantor kini terpaksa dipakai sebagai blok hunian untuk pemisahan warga binaan, agar tidak semakin banyak yang terpapar Virus Corona.
“Kami sangat berharap dinas kesehatan melakukan uji usap massal di sini supaya bisa ketahuan mata rantai dan diputus,” kata Ema seraya menambahkan Dinkes Pekanbaru berjanji akan menguji usap 50 orang narapidana, tapi belum pasti jadwalnya.
Terus melonjak
Berdasarkan data Pemprov Riau, ada 16 lokasi di Pekanbaru untuk isolasi mandiri pasien COVID-19 dengan gejala ringan dan orang tanpa gejala (OTG), yang kapasitasnya mencapai 1.124 tempat tidur. Sedangkan, 16 rumah sakit rujukan COVID-19 kini banyak yang penuh, dan dikhususkan untuk pasien dengan kondisi berat.
Riau terus mengalami tren lonjakan kasus COVID-19 sejak Agustus. Jumlah kasus akumulatif hingga tanggal 2 Oktober mencapai 8.096, dan yang sembuh ada 4.283 orang, sedangkan kasus kematian ada 172. Pasien yang menjalani perawatan di RS sebanyak 967 orang dan 2.647 orang isolasi mandiri termasuk 28 narapidana di Lapas Perempuan Pekanbaru.
“Mungkin semua tempat sudah penuh, tapi itu pemikiran saya pribadi karena sampai sekarang belum ada jawaban dari dinas kesehatan,” katanya.
Selain keterbatasan ruang isolasi, Ema mengatakan Lapas Pekanbaru juga kekurangan obat dan tenaga kesehatan untuk merawat pasien di sana. Di Lapas hanya ada dua perawat, sehingga terpaksa memperbantukan seorang petugas keamanan yang lulusan sekolah keperawatan untuk menambal kekurangan orang.
Kondisi makin parah karena persediaan obat di Lapas makin menipis, dan tidak ada bantuan dari pemerintah daerah untuk menangani pasien COVID-19 di sana.
“Ada yang mengeluh demam, flu, kita obati semampu kami. Kami pasrah saja, tak tahu mau kasih obat apa sama dia. Keterbatasan obat-obat, vitamin, tapi makanan buat mereka setidaknya harus kita penuhi, makan telur setiap hari. Buah-buahan kami ganti yang bervitamin C. Mungkin itu saja yang bisa kami lakukan,” katanya.
???Ema mengatakan setelah sekian lama bertugas di Lapas, baru kali ini dia merasa cemas. Akibat kluster penularan di Lapas, ia selalu khawatir “membawa” virus ke rumah, menularkan ke anak dan keluarganya.
Saling menyemangati
Meski begitu, Ema berusaha tetap kuat dan terus menyemangati kawan-kawannya dan juga semua warga binaan.
“Di satu sisi, kami di Lapas Perempuan semua rata-rata adalah seorang ibu. Saat pulang kami tetap khawatirkan anak dan keluarga. Satu sama lain saling menyemangati. Bagi kami, ini amal ibadah kami juga bantu mereka (warga binaan),” katanya.
Meski berstatus orang terhukum di penjara, Ema mengatakan warga binaan tetaplah manusia yang punya hak untuk mendapatkan bantuan dan jaminan pengobatan. Perempuan di dalam sel penjara itu juga seorang ibu, yang mengkhawatirkan kondisi anak dan keluarga mereka di luar sana.
“Kami menganggap mereka adalah orang yang baik, dan orang yang tersesat. Jadi, bagaimana pun caranya kami memberikan yang terbaik untuk mereka,” katanya.
Karena itu, di tengah kondisi serba terbatas, perawat Lapas tetap rutin memeriksa kondisi kesehatan warga binaan yang menjalani isolasi mandiri di penjara. Saat malam hari, petugas jaga harus bisa memberikan pertolongan pertama bagi napi COVID-19 yang mendadak sakit.
Setiap hari petugas juga terus menyuarakan pesan untuk menyemangati warga binaan lewat pelantang suara.
”Kita selalu memberi semangat mereka, ayo, jaga kesehatan dan minum vitamin. Bahkan, kami memberikan vitamin sampai mereka benar-benar minum, karena takutnya itu tidak diminum padahal itu sangat dibutuhkan mereka saat ini,” kata Ema.* (ant)