Potensi Tsunami 20 Meter, BMKG Sebut Masyarakat Awam Gempa Megathrust

Kapal nelayan melintas di perairan pantai dipasangi rambu peringatan tsunami, Desa Kampung Jawa, Banda Aceh, Aceh, Minggu (22/12/2019). Pemasangan rambu kawasan bencana tsunami di sejumlah lokasi pantai daerah itu merupakan peringatan bagi warga pesisir.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Ampelsa

VIVA – Ramainya masyarakat membicarakan gempa yang berpotensi menimbulkan tsunami setinggi 20 meter belakangan ini membuat para ahli juga heran. Mulanya isu ini dipicu oleh sebuah temuan baru soal potensi gempa dan tsunami yang diungkapkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Bandung. 

Bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB), riset itu menyebut gempa megathrust yang berada lempeng eurasia di Laut Lepas Jawa akan berpotensi menimbulkan tsunami setinggi 20 meter menuju daratan.

Terlepas dari pro kontra hasil riset tersebut, nyatanya masyarakat banyak yang belum memahami secara tepat mengenai gempa megathrust. 

“Gempa megathrust dipahami sebagai sesuatu yang baru dan segera akan terjadi dalam waktu dekat, berkekuatan sangat besar, dan menimbulkan kerusakan dan tsunami dahsyat. Pemahaman seperti ini tentu saja kurang tepat,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono dalam keterangan pers, Sabtu, 26 September 2020.

Baca Juga: Ahli ITB Sebut Potensi Gempa dan Tsunami Selatan Jawa, Ini Kata BMKG

Zona megathrust, lanjut Daryono, sebenarnya sekadar istilah untuk menyebutkan sumber gempa tumbukan lempeng di kedalaman dangkal. Dalam hal ini, lempeng samudra yang menunjam ke bawah lempeng benua membentuk medan tegangan (stress) pada bidang kontak antar lempeng yang kemudian dapat bergeser secara tiba-tiba memicu gempa. Jika terjadi gempa, maka bagian lempeng benua yang berada di atas lempeng samudra bergerak terdorong naik (thrusting). 

Daryono mengatakan, jalur subduksi lempeng umumnya sangat panjang dengan kedalaman dangkal mencakup bidang kontak antar lempeng. Namun Dalam perkembangannya, zona subduksi diasumsikan sebagai “patahan naik yang besar”, yang kini populer disebut sebagai zona megathrust.

“Zona megathrust bukanlah hal baru. Di Indonesia, zona sumber gempa ini sudah ada sejak jutaan tahun lalu saat terbentuknya rangkaian busur kepulauan Indonesia,” ujarnya.

Lebih jauh dia menerangkan, bahwa Zona megathrust berada di zona subduksi aktif, seperti subduksi Sunda mencakup Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba. Kemudian, ada subduksi Banda, subduksi Lempeng Laut Maluku, subduksi Sulawesi, subduksi Lempeng Laut Filipina, dan subduksi Utara Papua. 

“Saat ini segmen zona megathrust Indonesia sudah dapat dikenali potensinya. Seluruh aktivitas gempa yang bersumber di zona megathrust disebut sebagai gempa megathrust dan tidak selalu berkekuatan besar,” jelas Daryono.

Baca Juga: Bayang-bayang Tsunami 20 Meter

Sebagai sumber gempa, sambung dia, zona megathrust dapat membangkitkan gempa berbagai magnitudo dan kedalaman. Bahkan, Daryono melajutkan, data hasil monitoring BMKG, menunjukkan, justru gempa kecil yang lebih banyak terjadi di zona megathrust. Meskipun zona megathrust dapat memicu gempa besar.

Megathrust Selatan Jawa

Dalam buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia tahun 2017, terang Daryono, juga disebutkan bahwa di Samudra Hindia selatan Jawa terdapat 3 segmentasi megathrust, yaitu satu segmen Jawa Timur, dua yakni segmen Jawa Tengah-Jawa Barat, dan ketiga adalah Segmen Banten-Selat Sunda. Ketiga segmen megathrust ini memiliki magnitudo tertarget M 8,7. 

“Namun demikian, jika skenario model dibuat dengan asumsi 2 segmen megathrust yang bergerak secara simultan maka magnitudo gempa yang dihasilkan bisa lebih besar dari 8,7,” kata Daryono.

Besarnya magnitudo gempa yang disampaikan tersebut adalah potensi skenario terburuk (worst case) bukan prediksi yang akan terjadi dalam waktu dekat, sehingga kapan terjadinya tidak ada satu pun orang yang tahu. 

“Untuk itu, dalam ketidakpastian kapan terjadinya, kita semua harus melakukan upaya mitigasi,” ujarnya.

Sementara itu, hasil monitoring BMKG menunjukkan bahwa zona megathrust selatan Jawa memang sangat aktif yang tampak dalam peta aktivitas kegempaannya (seismisitas). 

Dalam catatan sejarah, sejak tahun 1700 zona megathrust selatan Jawa sudah beberapa kali terjadi aktivitas gempa besar (major earthquake) dan dahsyat (great earthquake).

Gempa besar dengan magnitudo antara 7,0 dan 7,9 yang bersumber di zona megathrust selatan Jawa sudah terjadi sebanyak 8 kali, yaitu: tahun 1903 (M7,9), 1921 (M7,5), 1937 (M7,2), 1981 (M7,0), 1994 (M7,6), 2006 (M7,8) dan 2009 (M7,3)

Kemudian, gempa dahsyat dengan magnitudo 8,0 atau lebih besar yang bersumber di zona megathrust selatan Jawa sudah terjadi 3 kali, yaitu: tahun 1780 (M8,5), 1859 (M8,5), dan 1943 (M8,1). Sedangkan, untuk gempa dengan kekuatan 9,0 atau lebih besar di selatan Jawa belum tercatat dalam katalog sejarah gempa. 

Tsunami Selatan Jawa

Begitu juga wilayah selatan Jawa sudah beberapa kali terjadi tsunami. Bukti adanya peristiwa tsunami selatan Jawa dapat dijumpai dalam katalog tsunami Indonesia BMKG. Pun, tsunami pernah terjadi di antaranya tahun 1840, 1859, 1921, 1921, 1994, dan 2006. 

Selain data tersebut, hasil penelitian paleotsunami juga mengonfirmasi adanya jejak tsunami yang berulang terjadi di selatan Jawa di masa lalu. 

Memang, seringnya zona selatan Jawa dilanda gempa dan tsunami adalah risiko yang harus dihadapi oleh masyarakat yang tinggal dan menumpang hidup di pertemuan batas lempeng tektonik. 

“Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, inilah risiko yang harus dihadapi. Apakah dengan kita hidup berdekatan dengan zona megathrust lantas kita selalu dicekam rasa cemas dan takut? Tidak perlu, karena dengan mewujudkan upaya mitigasi yang kongkrit maka kita dapat meminimalkan risiko, sehingga kita masih dapat hidup aman dan nyaman di daerah rawan bencana,” imbuhnya.