Krisis COVID-19, Banyak Perempuan Indonesia Jadi Tulang Punggung
- abc
Yayuk Ernawati, seorang ibu rumah tangga di Gresik Jawa Timur terpaksa harus bekerja, setelah suaminya menjadi korban pemutusan hubungan kerja akibat pandemi COVID-19.
Saat suaminya masih bekerja sebagai buruh pabrik kayu, pendapatannya sebesar Rp115 ribu per hari masih cukup untuk menghidupinya, seorang anak, dan ibu dari Yayuk yang sakit.
"Saat suami enggak bekerja, rasanya bingung. Apalagi ibu saya sakit dan perlu biaya juga," kata Yayuk kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.
"[Kami] enggak punya tabungan, sudah habis untuk biaya masuk sekolah anak saya dulu dan pengobatan ibu," imbuhnya.
Yayuk kemudian mencoba mencari pekerjaan yang bisa ia lakukan dari rumah, karena tidak bisa meninggalkan ibunya.
Hingga akhirnya ia bekerja melipat kantong plastik untuk dimasukkan ke dalam kantong-kantong sebelum dijual, setelah diajak tetangganya.
Upah yang diterimanya adalah sebesar Rp 10 ribu untuk setiap glansing, atau semacam karung, yang penuh dengan kantong plastik yang dilipatnya.
Dalam tiga hari, ia bisa mengisi penuh 10 glansing sehingga upah yang didapatnya Rp100 ribu.
Pendapatannya ini menurut Yayuk memang jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya, namun bisa membantu kondisi keluarga.
Apalagi, namanya tidak tercantum dalam daftar bantuan yang disusun oleh RT di tempat tinggalnya.
Meskipun suaminya bulan lalu akhirnya sudah kembali bekerja, Yayuk mengaku memilih melanjutkan pekerjaanya sebagai pelipat kantong plastik.
"Pemulihan [ekonomi keluarga] ya sangat berat," ujar Yayuk
Perempuan berusia 47 tahun ini berharap anak semata wayangnya yang baru lulus sekolah kejuruan bisa segera bekerja untuk membantu memulihkan keuangan keluarga.
"Menjadi pemijat karena dipaksa keadaan"
Lukita, seorang warga di Jakarta memutuskan untuk bekerja di tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, setelah melihat kondisi keuangan rumah tangga yang makin menipis.
Sampai suatu hari ia mengantarkan kerabatnya melamar pekerjaan sebagai pemijat di sebuah spa di kawasan Jakarta Selatan.
Ia kemudian meminta izin kepada suaminya agar diperbolehkan bekerja sebagai pemijat, meski awalnya suaminya tidak terlalu memperbolehkan, apalagi jika memegang badan lawan jenis.
"Kita sudah enggak punya duit, gimana kita harus bayar sekolah anak dan makan sehari-hari, puyeng," cerita Lukita saat minta izin kepada suaminya.
"Akhirnya saya menjadi pemijat karena dipaksa oleh keadaan," ujar Lukita yang akhirnya belajar memijat di spa tempat kerjanya yang khusus untuk perempuan.
Suami Lukita masih bekerja sebagai tukang ojek online, namun karena kondisi kesehatannya, Lukita mengatakan penghasilannya tidak bisa diandalkan.
Masih menyicil uang sekolah anak-anak
Tapi Lukita mengalami kembali kesulitan saat pandemi COVID-19 melanda Indonesia.
Sebelum pandemi, Lukita memperoleh penghasilan rata-rata Rp8 juta per bulan setelah ia beralih menjadi pemijat yang dipanggil ke rumah lewat aplikasi online.
Namun platform online yang menjadi lapaknya gulung tikar setelah mengalami penurunan pelangganan selama tiga bulan.
"Aplikasinya jarang bunyi sejak corona, jarang dapet orderan, uang makin lama makin habis."
Kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia, Lukita kemudian menceritakan bagaimana ia harus "memutar otak" untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari.
Salah satunya adalah dengan melakoni usaha baru, mulai dari berjualan tanaman, membantu kakak iparnya berjualan ikan segar, sampai menjaga toko pakaian.
"Saya lakukan apa saja yang bisa saya kerjakan. Harus semangat supaya anak-anak bisa makan," kata Lukita.
Dari upah memijat, hasil penjualan tanaman, komisi berdagang ikan dan upah menjaga toko baju, Lukita mengaku saat ini bisa membawa pulang total rata-rata Rp3 juta sampai Rp4 juta rupiah per bulan.
Tapi itupun belum menutup semua pengeluaran ibu beranak lima ini, seperti belum bisa membayar uang sekolah anak-anaknya.
"Saya minta sama gurunya, "Bu maaf ya saya belum bisa bayaran dulu. Nanti kalau sudah ada uang saya bayar, nyicil." Untungnya pihak sekolah mengerti," ucap Lukita.
"Sekarang yang dibutuhkan makan dulu, buat bertahan dulu. Yang lain bisa menunggu. Dan yang penting semua sehat," tambahnya
Mencari keterampilan baru saat pandemi
Lukita dan Yayuk adalah sosok perempuan Indonesia yang bisa cepat beradaptasi dengan keadaan dan berhasil belajar keterampilan baru karena keadaan terdesak.
Menurut Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), banyak perempuan Indonesia saat ini yang juga punya semangat dan inisiatif untuk mencari keterampilan lain untuk membantu perekonomian keluarga di tengah pandemi COVID-19.
Untuk membantu para perempuan yang ingin menjalankan usaha, Hastin Qomariyati, Koordinator ASPUKK Wilayah Jawa mengatakan asosiasinya sudah memberikan sejumlah pendampingan dan pelatihan dengan beberapa kelompok perempuan dan kelompok masyarakat lain, termasuk pemerintah.
"Kebanyakan di bidang [produksi] makanan, mungkin karena itu jenis keterampilan yang lebih dekat dengan mereka," jelas Hastin saat ditanya bidang usaha apa yang paling banyak ditekuni.
Di tengah pandemi COVId-19 Hastin juga mengatakan pihaknya berusaha merangkul para ibu untuk bisa berdagang secara online.
"Ada sekitar 500 Ibu di kabupaten kota di Jawa Tengah yang difasilitasi membuka toko online untuk memasarkan makanan kering yang mereka produksi," kata Hastin.
"Kami terus dampingi karena kebanyakan dari mereka masih buta [menggunakan teknologi online], meskipun kebanyakan pakai android tapi bukan untuk berjualan," tambahnya.
Namun, selain merintis usaha rumahan, Hastin juga menjelaskan sejumlah perempuan di Jawa Tengah saat pandemi COVID-19 juga lebih memilih untuk kembali ke pertanian.