Stigma atas Pasien COVID-19 dan Keluarganya di Indonesia Masih Tinggi
- abc
Saat Ibu dari Ari Harifin Hendriyawan dinyatakan positif terinfeksi virus corona, tetangganya mengambil palu dan paku dan membuat pagar pemisah.
Dari rumahnya di kaki bukit di Jawa Barat, pria berusia 23 tahun itu mengatakan kepada Reuters jika ia mengetahui keberadaan pagar pemisah beberapa hari setelah menerima hasil tes negatif dan berada di rumah karena sedang menjalani isolasi mandiri.
"Tentu saja saya marah," katanya, "Jika saya tidak ditahan [oleh kerabat], saya tidak tahu apa yang mungkin terjadi."
Para ahli kesehatan publik mengatakan penularan virus corona di Indonesia telah membawa stigma, yang menyebabkan warga enggan dites karena takut dijauhi, sehingga mempersulit penanganan pandemi.
Juru bicara satuan tugas COVID-19 Indonesia, Wiku Adisasmito mengatakan pemerintah berupaya untuk melawan stigma itu.
"Stigma hanya dapat dihapus dengan kampanye kesehatan yang gencar untuk meningkatkan kesadaran tentang infeksi dan empati untuk membantu mereka yang membutuhkan," katanya.
Indonesia telah menuai kritik dari para pakar kesehatan karena angka tes yang relatif rendah, pembatasan sosial hasil kompromi, dan daftar penanganan yang tidak ilmiah tapi malah dipuji oleh para menteri.
Petugas kesehatan juga menjadi korban stigma
Para petugas kesehatan juga tidak lepas dari stigma COVID-19, menurut hasil survei Fakultas Ilmu keperawatan Universitas Indonesia dan Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia.
Jajak pendapat tersebut dilakukan terhadap 2.050 tenaga medis di seluruh Indonesia pada awal April 2020.
"135 perawat pernah diminta meninggalkan tempat tinggalnya. 66 responden mengalami ancaman pengusiran," kata mantan tim komunikasi Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Reisa Broto, bulan Juli lalu.
Sementara itu, sebanyak 140 perawat pernah merasa dipermalukan karena bertugas di rumah sakit penanganan COVID-19.
Bentuk stigma lain antara lain adalah diacuhkan oleh warga, seperti yang dialami 161 perawat dan pengucilan oleh masyarakat yang terjadi pada 71 perawat lainnya.
Puluhan petugas kesehatan dari berbagai tempat di Indonesia mengatakan stigma seputar virus corona telah mempersulit pekerjaan mereka atau, dalam beberapa kasus, malah meningkatkan risiko.
Di kota tepi sungai Banjarmasin di Kalimantan, pegawai negeri berpakaian hazmat lengkap mengatakan kedatangan mereka menyebabkan kepanikan di jalanan.
Mereka sekarang memilih untuk mendatangi puskesmas untuk menghindari perhatian yang tidak diinginkan dari masyarakat, meskipun itu dapat meningkatkan risiko kontak dan penularan.
Dari Medan, Sumatera Utara, perawat menceritakan mereka diusir dari sebuah desa pada bulan Maret dan diberi tahu jika virus itu adalah berita palsu.
Sementara yang lain menerima panggilan telepon yang kasar dari orang tua yang tidak terima ketika mendengar anak mereka dinyatakan positif COVID-19.
Konvoi malam hari
Di Papua Barat, sejumlah perawat memilih mengantar pasien COVID-19 ke tempat karantina pada tengah malam dengan konvoi sepeda motor.
"Para pasien sendiri yang memintanya," kata perawat Yunita Renyaana kepada Reuters.
"Mereka akan berkata, "Suster, jangan datang besok, datanglah malam ini sehingga tidak ada yang tahu ... Mereka takut akan stigma, dipandang sebagai aib, atau sumber penularan."
Survei yang dilakukan lembaga Lapor COVID-19 dan para peneliti di Universitas Indonesia bulan lalu menemukan 33 persen dari 181 responden merasa telah dikucilkan setelah tertular virus corona.
"Fenomena stigma ini merugikan kesehatan masyarakat dan juga kesehatan mental mereka," kata Dicky Pelupessy, psikolog yang terlibat dalam survei tersebut.
"Ada kasus di mana orang tidak ingin dites, karena tidak ingin terlihat tertular virus."
Di pulau Jawa, Sulawesi, dan Bali, keluarga yang berduka juga memaksa masuk ke rumah sakit untuk mengambil jenazah korban COVID-19, karena khawatir kerabat mereka tidak akan dimakamkan sesuai dengan aturan agama mereka.
Insiden itu menyebabkan puluhan orang kemudian diketahui tertular virus corona.
"Pemerintah tidak berbuat cukup"
Di antara berbagai inisiatif pemerintah Indonesia untuk mendidik masyarakat tentang COVID-19, salah satunya adalah kerja sama dengan Johns Hopkins Center for Communication.
Dalam program tersebut, 25.000 petugas lapangan dikerahkan untuk membantu membagikan informasi tentang virus corona, termasuk melalui Facebook, dengan tujuan meningkatkan kesadaran dan melawan berita palsu dan stigma.
Namun, sosiolog di Nanyang Technological University di Singapura, Sulfikar Amir, mengatakan inisiatif yang sudah ada tidaklah cukup.
"Pemerintah tidak berbuat cukup untuk benar-benar mendidik masyarakat," kata dia.
"Itulah salah satu alasan kita melihat reaksi ekstrem [dari masyarakat]."
Buktinya, berbulan-bulan setelah pandemi, banyak yang masih merasa terisolasi.
Ibu dari Ari sekarang tidak lagi menunjukkan gejala dan tinggal diisolasi selama lebih dari sebulan, tetapi menurutnya dia masih merasa dijauhi oleh tetangga.
Berkaca dari pengalaman, Ari yang kini menganggur akibat warung makan tempatnya bekerja tutup, mencurahkan isi hatinya.
"Saya pikir mereka takut … mungkin bagi mereka virus corona itu sebesar gajah," ujarnya.
Diproduksi oleh Hellena Souisa dan Natasya Salim dari artikel Reuters