Catatan Perjalanan Gus Sholah Saat Kunjungi Hadramaut Yaman
- republika
REPUBLIKA.CO.ID, Almarhum KH Salahudin Wahid (Gus Sholah) pernah mengunjungi Yaman beberapa tahun lalu. Gus Sholah berbagi pengalamannya selama mengunjungi negeri habaib tersebut dengan pembaca Republika. Berikut ini catatan Gus Sholah selama berkunjung ke Hadramaut, sebagaimana ditayangkan Harian Republika, pada Jumat 30 Mei 2008:
Bangunan umum masih seperti kondisi tahun 1960-an di Indonesia. Jalan di dalam Kota Tarim masih banyak yang belum beraspal. Bandaranya sederhana, sama dengan Halim Perdanakusuma. Selama 25 tahun Yaman Selatan ada di bawah pemerintahan komunis yang tumbang setelah Soviet bubar. Walaupun Yaman bukan negara kaya tetapi mereka mementingkan pendidikan.
Sebagian besar dari Wali Songo berasal dari Yaman. Para habaib yang kini ada di seluruh pelosok Indonesia berasal dari pendakwah Yaman yang hijrah ke Indonesia. Ada informasi kakek ke-11 dari KHM Hasyim Asy"ari adalah Abubakar Basaiban, tetapi tidak ada kesempatan dan tidak tahu ke mana harus menanyakan keabsahan informasi itu.
Rombongan berziarah ke Zanbal, pemakaman 1.000 wali termasuk 80 qutb. Pemakaman itu tujuan utama ziarah. Kami sempat maulid Nabi di atas atap masjid tua, di alam terbuka. Terlihat dengan jelas haul, tahlil, maulid dan shalawat kita peroleh dari mubaligh pertama yang berasal dari Hadramaut.
Tradisi bernuansa tasawwuf juga banyak dijalankan oleh ulama Hadramaut. Riwayat tentang karomah wali banyak kita dengar. Salah satu yang menarik ialah riwayat Sayyidina Ali Kholi" Qosam. Beliau menjadi imam shalat dan ketika membaca tahiyyat pada kalimat "assalamu alaika ayyuhan nabiyyu...", segera setelah itu terdengar suara menjawab salam itu.
Suara itu terdengar jelas oleh jamaah dan dianggap sebagai suara Rasulullah SAW. Itu sering terjadi sehingga masjid tempat Ali Kholi" Qosam menjadi imam dikunjungi orang dari berbagai tempat. Saya punya pengalaman, ketika mengikuti majelis dzikir di bawah pimpinan almarhum Haji Umar Danusubroto (1991-1994), beliau mengatakan kalau saat kita berdzikir dan berdoa di majelis itu dan tercium bau harum, itu artinya ruh Rasulullah SAW hadir. Saya saat itu antara percaya dan tidak apa yang beliau katakan.
Mungkin ada yang mengatakan itu musyrik. Tentu itu hak setiap orang. Tetapi bagi saya, walaupun itu tidak rasional, mungkin saja terjadi. Allah mengatakan bahwa kita tidak diberi tahu tentang ruh kecuali sedikit. Kalau itu dikatakan musyrik, bagaimana bisa banyak orang yang ahli maksiat (judi, mabuk, zina) berubah 180 derajat menjadi ahli ibadah yang amat tekun, setelah mengikuti majelis dzikir itu? Saya sendiri setelah mengikuti majelis dzikir itu sampai Haji Umar wafat (1994), bisa memperoleh ketenangan dan berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah.
Warga Yaman banyak yang memakai sarung. Santri di Darul Mustafa Tarim, kalau tidak memakai gamis, tentu memakai sarung. Saat kami menunggu di bandara kota kecil Seiyun, cukup banyak petugas yang memakai sarung. Bahkan pada saat kami memenuhi undangan makan siang di rumah salah satu pejabat di Tarim, ada petugas keamanan memakai sarung dan menyandang pistol di pinggangnya. Tampaknya tradisi sarungan dari para ulama dan santri di Indonesia, khususnya di Jawa, berasal dari tradisi Hadramaut.
Perempuan di sana harus memakai cadar termasuk para pendatang. Maka para ibu anggota rombongan kami, termasuk istri saya, harus menggunakan kebaya hitam dengan muka tertutup kecuali ada lubang di mata. Bahkan ada yang tidak boleh terlihat matanya dengan memakai semacam kain yang menerawang pada bagian mata.
Perempuan tidak boleh berkeliaran di jalan tanpa ada pendamping. Perempuan di sini dan juga di sejumlah negara Arab lainnya amat terasa menjadi warga negara kelas dua. Perempuan Indonesia harus bersyukur mendapat kebebasan yang besar. Cara mensyukurinya ialah menggunakan kebebasan itu dengan bertanggung jawab.