Horor Baru COVID-19 di Indonesia: Klaster Pilkada 2020

Salah satu kandidat Pilwakot Makassar yang melakukan deklarasi.
Sumber :
  • VIVA/Irfan (Makassar)

VIVA – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Makassar mengingatkan Komisi pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) jangan sampai klaster baru muncul dalam kasus COVID-19, yakni klaster Pilkada 2020.

Kekhawatiran IDI Makassar ini berdasarkan hasil pantauan tahapan awal pesta demokrasi di tengah pandemi COVID-19, yakni pendaftaran calon kepala daerah, baik di Kota Makassar dan kabupaten/kota di Sulsel yang selalu dipadati massa pendukung.

Untuk itu, IDI menekankan pentingnya penerapan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian COVID-19.

Humas IDI Kota Makassar, dr Wachyudi Muchsin SH, mengatakan sangat miris melihat hampir sebagian besar mengabaikan pesan Presiden Joko Widodo tentang protokol kesehatan. Presiden meminta agar pilkada 2020 berjalan demokratis, jujur, dan adil, serta patuh menerapkan disiplin protokol kesehatan secara ketat sebagai kebiasaan baru dalam tiap tahapan pilkada.

"Apa yang terjadi berdasarkan pantauan di lapangan, beberapa calon kepala daerah melakukan pengerahan massa. Parahnya lagi, banyak di antara mereka mengabaikan protokol kesehatan," ujarnya.

Baca juga: Putus Rantai COVID-19, Seluruh Pegawai Kemenko Maritim WFH Dua Pekan

Dokter Yudi, saapan akrabnya, meminta Menteri Dalam Negeri memberi sanksi bagi pihak yang tak mematuhi protokol kesehatan COVID-19 dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, baik itu KPU, Bawaslu serta kandidat calon kepala daerah. Terutama soal ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan pilkada yang tertuang dalam Pasal 11 PKPU 6/2020 tentang Pilkada dalam Kondisi Bencana Non-alam, yakni pandemi COVID-19 yang saat ini bukannya melandai, tapi makin tinggi.

"KPU dan Bawaslu sebagai wasit harus dievaluasi jika tidak mampu sebagai pengawas dalam pilkada saat pandemi virus COVID-19. Sudah jelas kita saat ini tengah menghadapi masalah besar bencana non alam virus COVID-19," jelasnya.

Dia menyebut data penambahan kasus positif tercatat pekan lalu di angka 2.500-an dan pekan ini pecah rekor di atas 3.000-an kasus positif. Jika melihat kondisi ini, lanjut dia, akan ada klaster baru COVID-19, yakni klaster Pilkada 2020. 

Semua pihak yang lalai, lanjut dia, wajib diberi sanksi. Masyarakat diminta juga ada rasa kasihan melihat dokter dan Tenaga Kesehatan yang saat ini sudah kewalahan bahkan jadi korban karena merawat pasien COVID-19.

“Tercatat sudah lebih 100 dokter yang meninggal sebagai pahlawan kemanusiaan COVID-19. Ingat dokter dan nakes juga punya keluarga dengan makin banyak penderita COVID-19, maka makin lama bertemu dengan keluarga tercinta," tuturnya.

Dia mengakui, sejak awal IDI sudah memberi peringatan agar pilkada sebaiknya diundur sampai COVID-19 bisa melandai. Namun, kali ini tetap dilakukan dengan catatan harus mematuhi protokol kesehatan secara ketat.

"Perlu dicatat penyelenggaraan pilkada bukan hanya sebatas teknis pemungutan suara. Jadi, baik KPU maupun Bawaslu harus memahami penegakan disiplin COVID-19 mulai proses pendaftaran, kampanye selama masa tenang sampai pencoblosan harus jelas protokol kesehatannya," tegas Yudi.

Yudi menyarankan agar masyarakat tidak memilih calon kepala daerah yang tidak mematuhi protokol kesehatan COVID-19 pada Pilkada serentak 2020.

"Kalau ada yang kontestan tidak bisa mengatur pendukung tim suksesnya sampai terjadi iring-iringan massa konvoi tanpa pakai masker, maka bagaimana para kepala daerah tersebut nantinya dapat mengatur masyarakat yang jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan orang. Jika pada tahapan pilkada tidak bisa mengatur para pendukung mereka yang jumlahnya hanya 200 sampai 300 orang saja. Ya, jangan dipilih lah," terang alumni Fakultas Kedokteran UMI dan Fakultas Hukum Unhas ini. (ase)