Menghukum Pelanggar Protokol COVID-19 Masuk Peti Mati, Apakah Efektif?

Warga yang tidak memakai masker di Jakarta Timur diberi sanksi masuk ke dalam peti mati pada Rabu (02/09).-AFP/GETTY IMAGES
Sumber :
  • bbc

Peti jenazah dan keranda mayat digunakan di sejumlah daerah di Indonesia sebagai cara sosialisasi bahaya Covid-19 sekaligus cara agar masyarakat mematuhi protokol kesehatan demi menghentikan penularan Covid-19.

Namun, cara tersebut dipertanyakan psikolog sosial. Dia mempertanyakan apakah pesan yang ingin disampaikan pemerintah sampai kepada masyarakat.

"Apakah benar peti mati yang diusung di jalan adalah hal menakutkan bagi orang? Takut atau tidak itu kan adalah sesuatu yang subyektif," kata psikolog sosial dari Universitas YARSI, Sunu Bagaskara, kepada BBC News Indonesia, Jumat (04/09).

Di kawasan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, warga yang tidak mengenakan masker dihukum masuk ke ambulans berisi keranda mayat, pada Kamis (03/09).

Ada sedikitnya delapan orang yang mendapatkan hukuman tersebut. Mereka tampak duduk beberapa menit berdampingan dengan keranda mayat di dalam ambulans.

Camat Parung, Yudi Santosa, mengatakan hukuman itu diberikan guna memberi efek jera terhadap pelanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Selain itu, menurutnya, sanksi tersebut bertujuan mengingatkan para pelanggar, bahwa dengan tidak mengenakan masker akan mendekatkan mereka pada risiko kematian di tengah pandemi virus corona.

"Bisa menyebabkan kematian dia sendiri, karena terpapar Covid-19. Kemudian menularkan ke keluarga dan orang lain. Biar mereka merenung di sebelah keranda jenazah itu," kata Yudi kepada kantor berita Antara.

Yudi mengatakan, dalam operasi gabungan yang melibatkan Satpol PP dan TNI-Polri itu, ada beberapa pelanggar yang diberikan sanksi dalam bentuk lain, yakni push up.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor, Jawa Barat, telah menerapkan sanksi denda sebesar Rp100.000 terhadap warga yang tidak mengenakan masker di tempat umum.

Aturan itu tertuang dalam Peraturan Bupati (Perbup) No 52 tahun 2020.

Sedangkan hukuman di Jakarta Timur, warga yang tidak memakai masker diberi sanksi masuk ke dalam peti jenazah.

Peristiwa itu terjadi di bilangan Pasar Rebo, Jakarta Timur, pada Rabu (02/09).

Abdul Syukur, salah seorang warga yang terjaring razia PSBB tiga pilar Kecamatan Pasar Rebo memilih sanksi masuk peti mati ketimbang harus menyapu jalan atau didenda Rp250.000.

"Untuk mempersingkat waktu karena kan saya lagi antar barang kan. Yang kedua kan opsinya kan bayar duit, nah saya nggak ada duit. Jadi saya pilih yang ketiga, pilihan terakhir," kata Abdul kepada Warta Kota, Kamis (03/09).

Selama lima menit dia berbaring dalam peti mati tanpa penutup yang dibawa petugas saat melakukan razia sekaligus sosialisasi protokol kesehatan.

Peristiwa ini tersebar di media sosial dan menjadi viral.

Kasatpol PP Jaktim Budhy Novian mengaku dia juga mengetahui adanya peristiwa tersebut dari sebuah video yang diterimanya.

Dia mengklaim telah menegur petugas Satpol PP Pasar Rebo karena telah memberikan sanksi yang tidak ada dalam aturan.

"Makanya saya tegur," ujar Budhy kepada Detik.com, Kamis (03/09).

Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta, Gembong Warsono, menilai sanksi tersebut berbahaya.

"Coba kalau yang masuk peti mati itu ternyata positif. Kemudian dimasukkan pelanggar berikutnya, ini kan bahaya," jelasnya kepada Detik.com.

Peti mati sebagai peringatan bahaya Covid-19

Urusan peti jenazah tidak selesai di situ.

Di kawasan Sunter, Jakarta Utara, terdapat tugu peti jenazah yang didirikan atas inisiatif pemerintah daerah setempat.

Bahkan, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mendatangi tugu peti jenazah tersebut yang dibuat sebagai peringatan ancaman Covid-19.

"Jadi ini peringatan kepada semua atas ancaman Covid sehingga kita harapannya bisa lebih tertib dalam menjalankan protokol kesehatan," ujar Anies kepada warga, pada Selasa (01/09).

"Terima kasih Pak Wali Kota atas inisiatif ini. InsyaAllah jadi pengingat kita semua. Peringatan adalah untuk mengingatkan dan mudah-mudahan makin banyak yang disiplin makin sedikit yang terpapar dan kota kita segera bisa terbebas dari COVID-19," lanjut Anies.

Pada tugu itu tertulis peringatan bahaya serta data akumulasi kasus positif dan meninggal Covid-19 di kecamatan setempat.

`Waspada COVID-19, sayangi nyawa Anda dan keluarga tercinta` demikian tulisan dalam papan yang ada di tugu peti mati tersebut.

Terdapat dua patung sosok petugas medis menggunakan APD lengkap di samping monumen peti mati itu. Ada pula tulisan imbauan untuk tetap memakai masker dan memutus rantai Covid-19.

Beberapa warganet mengkritik keberadaan tugu tersebut.

Wujud peti jenazah dan keranda mayat sebagai cara memperingatkan masyarakat juga dipakai di Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten.

Sejumlah orang mengarak boneka pocong dan keranda mayat keliling Pasar Tradisional Cikupa pada awal bulan ini.

Camat Cikupa, Abdulah, mengatakan sosialisasi untuk menggunakan masker sudah dilakukan setiap saat selama masa pandemi. Namun saat ini tingkat kepatuhan masyarakat dalam menerapkan protokol Covid-19 di wilayah Cikupa mulai menurun.

"Banyak warga yang sudah mengabaikan penggunaan masker terutama di tempat-tempat keramaian seperti di pasar tradisional dan tempat Umum lainnya," kata Abdulah melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com.

Dia mengatakan, saat ini Cikupa menempati posisi keempat sebagai kecamatan terbanyak kasus konfirmasi positif virus corona di Kabupaten Tangerang dengan 11 kasus.

Psikolog sosial dari Universitas YARSI, Sunu Bagaskara, memahami bahwa pemerintah ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa meninggal dunia adalah konsekuensi jika tertular Covid-19 dan tidak mematuhi protokol kesehatan.

Dia juga mengakui bahwa dalam ilmu psikologi ada yang dinamakan `fear appeal`, yakni menakut-nakuti untuk mengubah perilaku seseorang.

"Masalahnya, apakah masyarakat memaknai hal yang sama? Apakah benar peti mati adalah hal menakutkan bagi orang? Takut atau tidak itu kan adalah sesuatu yang subyektif," kata Bagas kepada BBC News Indonesia.

Jangan-jangan, lanjutnya, masyarakat justru ingin terkenal dan viral di media sosial setelah banyak media arus utama menyoroti cara sosialisasi seperti itu.

"Seharusnya dipikirkan dulu sebelum pemerintah menempuh langkah-langkah seperti itu. Apa yang membuat takut masyarakat sehingga mereka mau memakai masker dan mematuhi protokol kesehatan," tutupnya.

.