Kisah Heroik Tim Gegana, Selamatkan SBY dan Jakarta dari Serangan Bom
- VIVA/Zahrul Darmawan
VIVA – Keberhasilan Polri dalam menumpas sejumlah kasus menonjol yang dilakukan oleh kelompok radikalisme tak terlepas dari peran Satuan Gegana, Brigade Mobile (Brimob). Tentu saja dibalik aksi tersebut nyawa jadi taruhannya.
Seperti yang dikisahkan oleh salah satu anggota Satuan Gegana Brimob ini. Pria yang enggan disebutkan identitasnya itu bahkan masih mengingat betul bagaimana mempertaruhkan nyawa ketika bertugas, seperti ketika menumpas dokter Azahari, otak dibalik kasus bom Bali 2002 dan bom Bali 2005 serta serangan-serangan lainnya yang dilakukan Jemaah Islamiyah.
Dari sederet pengalamannya yang kerap bersinggungan dengan maut itu, beberapa di antaranya adalah ketika dirinya dan tim berhasil menyelamatkan nyawa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kala itu masih menjabat sebagai Presiden RI.
Pelakunya adalah kelompok Noordin M Top yang juga masih satu jaringan dengan Azahari. Beruntung, rencana kelompok teroris ini berhasil digagalkan setelah Densus 88 bersama tim Gegana Brimob menggerebek sebuah rumah di kawasan Jati Asih, Bekasi. Peristiwa itu terjadi pada Sabtu 8 Agustus 2009, silam.
“Yang kita tahu Jati Asih itu untuk mengebom Presiden kita, SBY waktu itu. Rencananya ada mobil di situ, mau ditaruh di pertigaan, itu kita hitung ada 102 kilogram bom kalau sudah jadi. Tapi alhamdulillah, di perumahan Nusa Pala Indah itu bisa kita tangani,” katanya saat berbagi kisah ketika bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laolly di Markas Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, pada Kamis 3 September 2020.
Baca juga: Bareskrim Perpanjang Penahanan Brigjen Prasetijo
Adapun metode yang digunakan pelaku, yakni pakai handphone, HT dan terakhir jika tidak berhasil maka akan melakukan bom bunuh diri. Kemudian, yang juga tak kalah mengerikan ketika Gegana berhasil mengamankan bahan peledak yang berada di wilayah Serpong. Jika saja misi ini tidak berhasil, maka kemungkinan akan banyak korban di Jakarta.
“Itu kita temukan ada sekira 100 kilogram asetelin, kalau dia jatuh target dekatnya ada pipa gas, dan apabila itu meledak kena pipa gas maka seluruhnya, termasuk sampai Jakarta akan habis,” ucap pria yang kini telah berpangkat perwira tersebut.
Penangkapan Azahari
Pengalaman lainnya yang masih ia ingat adalah ketika terlibat dalam penangkapan otak bom Bali dan Hotel JW Marriot Jakarta, yakni dokter Azahari.
“Jadi banyak kejadian bom di Indonesia, terutama yang diotaki dokter Azahari.”
Ketika menangkap Azahari, keputusan terberat yang terpaksa dilakukannya adalah melepas pakaian pelindung yang biasa digunakan ketika menjinakkan bom. Peristiwa ini terjadi di Malang, Kota Batu, Jawa Timur.
“Waktu itu di tubuh dokter Azahari masih ada bom, waktu itu kita masih pakai baju penjinak bom, tapi ketika kita masuk kita putuskan penjinak bom kita mundur lagi kita lepas baju.”
Aksi nekat ini terpaksa dilakukan agar tidak menghambat ruang gerak sekaligus antisipasi adanya jebakan.
“Karena kalau saya pakai baju khusus itu akan mempersulit saya, mungkin ada jebakan-jebakan bom, jadi kita masuk tanpa menggunakan baju pengamanan. Alhamdulillah berhasil.”
Untuk diketahui, pada tanggal 9 November 2005, dilaporkan bahwa Azahari tewas meledakan diri dalam sebuah penyergapan yang dilaksanakan kelompok Detasemen Khusus 88 di Kota Batu karena ingin menghindar dari tangkapan polisi.
Menurut versi Polri, Azahari mati ditembak anggota kepolisian, bukan meledakan diri. Polisi kemudian memastikan identifikasi Azahari setelah dicocokan dengan sidik jari dari kepolisian Indonesia dan Kepolisian Kerajaan Malaysia.(ren)