Jalan Kaki Medan-Jakarta, Massa Petani Simalingkar Geruduk Istana
- VIVA/Willibrodus
VIVA – Ratusan orang tergabung dalam massa petani lewat Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB) akhirnya sampai ke depan Istana Negara. Mereka rela berjalan kaki selama 50 hari dari Medan ke Jakarta hanya untuk mendapatkan keadilan.
Kini mereka diberi fasilitas penginapan di Kementerian Tenaga Kerja. Mereka berjumlah 170 orang dari Desa Simalingkar, Kecamatan Pancur Batu, dan Desa Sai Mancirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Para petani ini berangkat pada tanggal 25 Juni 2020 lalu.
Ada juga tim medis dan logistik yang disiapkan membantu petani yang kesulitan selama di jalan. Tampak beberapa petani menunjukkan wajah ceria meski baru saja mengarungi perjalanan sangat jauh dengan berjalan kaki. Perjalanan ribuan kilometer itu dilakukan sebagai bentuk protes setelah sejumlah rumah dan ladang di dua desa itu digusur PTPN II.
"Yang ada sertifikatnya pun digusur. Rumah dan tanah kami digusur secara permanen hingga menghilangkan mata pencarian kami," kata Koordinator Aksi Sulaeman Wardana di depan Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin 24 Agustus 2020.
Sulaeman melanjutkan, pihak Deli Serdang dan Pemerintah Sumatera Utara terkesan tak peduli dengan mereka. Perjalanan mereka melewati sejumlah tempat seperti Palembang, Pekanbaru, Jambi, dan Lampung jadi wujud betapa mereka meminta keadilan.
"Saat dalam perjalanan, ada masyarakat yang memberikan makanan dan bantuan minuman. Ada pemerintah daerah yang baik. Kadang kami di lapangan terbuka dan ada yang di dalam rumah dinas," kata Sulaeman.
Ia menuturkan, sampai kini mayoritas para petani dalam kondisi sehat. Yang sakit kata dia ada sebagian kadang mengalami pusing dan lainnya diduga alami masuk angin. Pihaknya sudah menemui beberapa pejabat seperti DPR, Kementerian BUMN dan Kementerian Agraria Tata Ruang.
"Mereka mendukung. Baru sebatas tim yang ingin menuju ke lapangan untuk melihat faktanya," kata Sulaeman.
Berharap Didengar Jokowi
Ia berharap, jalan kaki selama 50 hari hingga sampai Jakarta merupakan akhir dari perjuangan mereka dan didengar Presiden Joko Widodo. Penggusuran rumah dan ladang petani mengakibatkan warga kehilangan rumah dan ladang.
Unjuk rasa petani di Jakarta ini merupakan kelanjutan dari demonstrasi di Sumatera Utara yang diketahui tidak berhasil. Diketahui, areal lahan dan tempat tinggal yang dikelola dan ditempati mereka sejak tahun 1951, telah digusur oleh pihak PTPN II.
Padahal petani itu telah memiliki SK Landreform sejak tahun 1984, dan sebanyak 36 petani di Sei Mencirim yang ikut tergusur sudah memiliki sertifikat hak milik (SHM) lahan mereka.
Untuk diketahui, luas area yang berkonflik antara petani yang tergabung dalam SPSB dengan PTPN II adalah sekitar 854 hektare. Sedangkan luas area yang berkonflik antara petani yang tergabung dalam STMB dengan PTPN II mencapai 850 ha dan tuntutan petani STMB adalah sekitar 323,5 ha.
Ihwal adanya konflik bermula pada tahun 2017. Pada saat itu para petani yang menempati dan mengelola lahan atau tanah sejak tahun 1951 dikejutkan dengan pemasangan plang oleh pihak PTPN II Deli Serdang yang tertulis Nomor Sertifikat Hak Guna Usaha No. 171/2009 di Desa Simalingkar A.
Selanjutnya pihak PTPN II dikawal oleh ribuan aparat TNI dan Polri menggusur lahan-lahan pertanian masyarakat dan menghancurkan seluruh tanaman yang ada di dalamnya.
Kejadian tersebut memicu perlawanan dari masyarakat Desa Simalingkar A, Desa Duren Tunggal, dan Desa Namo Bintang, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, Sumut. Akibatnya bentrokan tak terelakan antara masyarakat dengan aparat keamanan.
Puluhan petani terluka dan puluhan petani lainnya ditahan di Polsek hingga Polres dan dibawa ke Kantor Zipur (Kodim). Sampai saat ini, sebanyak tiga petani yakni Ardi Surbakti, Beni Karo-Karo, dan Japetta Purba masih menjalani proses hukum.
Mereka ditangkap tanpa diberikan surat panggilan, tidak diperlihatkan surat perintah penangkapan terlebih dahulu.
Selama bertahun-tahun para petani di Desa Simalingkar A dan Sei Mencirim telah berupaya untuk mengadukan nasib kepada Bupati Deli Serdang, DPRD Kabupaten Deli Serdang, Badan Pertanahan Negara (BPN) Deli Serdang hingga DPRD Sumut dan Gubernur Sumut. Namun hingga saat ini belum mendapatkan tanggapan dan penyelesaian yang jelas.
Dalam kondisi pandemi COVID-19, dampak dari penggusuran dirasakan memberatkan petani sehingga kondisi mereka secara ekonomi sudah lemah, tidak bisa bertani lagi. Mereka tidak bisa lagi membayar biaya sekolah anak.
Aksi Damai
Para petani melakukan aksi jalan kaki untuk mengadukan nasib mereka kepada Presiden Jokowi dengan harapan agar negara hadir menyelesaikan konflik agraria yang dialami mereka. Petani yang tergabung dalam aksi jalan kaki itu sepakat untuk tetap melakukan aksi sampai di Jakarta dan tidak akan pulang ke Medan bila tuntutan pengembalian tanah itu tidak dipenuhi.
Dalam keterangan tertulisnya, disebutkan penerbitan HGU No. 171/Simalingkar A seluas 854,26 hektare itu, pernah digugat oleh masyarakat Forum Kaum Tani Lau Cih di PTUN Medan.
Namun perkara tersebut telah memperoleh putusan Kasasi di MA RI No. 5K/TUN/2020 yang pada intinya menguatkan putusan hukum PTUN Medan dan Pengadilan Tinggi TUN yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima atas klaim sepihak Forum Kaum Tani Lau Cih.
PTPN II juga telah memberikan tali asih secara bertahap kepada masyarakat yang bersedia meninggalkan lahan tersebut, dan menyerahkan kembali tanah tersebut kepada PTPN II sesuai dengan hasil kesepakatan dengan dengan Muspida dan DPRD Provinsi Sumut.
Pengambilalihan lahan dilakukan sejak 2017 hingga 2019 juga melibatkan unsur muspika, aparat keamanan, dan aparat penegak hukum. Selama periode tersebut, PTPN II sudah menyerahkan tali asih atau ganti rugi kepada 199 kepala keluarga untuk lahan seluas 356.093 meter per segi. (ren)
Baca juga: Pekan Ini Bantuan Rp600 Ribu bagi Pekerja Gaji Bawah Rp5 Juta Cair