Penelusuran ICW: Pemerintah Gelontorkan Rp90,45 M untuk Influencer

Ilustrasi influencer
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Peneliti Indonesia Corruption Watch alias ICW, Egi Primayogha mengatakan, total anggaran belanja pemerintah pusat terkait aktivitas digital sejak tahun 2014-2020 mencapai Rp1,29 triliun. Untuk aktivitas digital yang melibatkan jasa influencer sendiri mencapai Rp90,45 miliar.

"Jumlah anggaran belanja untuk influencer mencapai Rp90,45 miliar," kata Egi kepada wartawan, Kamis 20 Agustus 2020.

Pelibatan influencer untuk mempromosikan sebuah produk, bukanlah sesuatu yang sepenuhnya baru. Fenomena ini semakin marak dilakukan, bahkan oleh pemerintah.

Anggaran belanja untuk influencer disebutnya semakin marak sejak tahun 2017. Padahal, informasi yang disampaikan oleh para influencer dinilai tidak selalu valid atau tidak jarang justru menyebarkan misinformasi.

"Contoh penggunaan influencer oleh pemerintah misalnya sosialisasi penanganan COVID-19. Artis-artis diundang ke istana dan setelahnya mereka ikut mensosialisasikan kebijakan pemerintah terkait COVID-19," kata dia.

Baca juga: Miris, Cerita Tenaga Medis Belum Terima Insentif dari Pemerintah

Lebih lanjut ICW menyebut Presiden Joko Widodo tidak percaya diri dengan program-programnya hingga harus menggelontorokan anggaran untuk influencer.

Apabila menelusuri sumber-sumber lainnya seperti dokumen anggaran publik atau memperluas cakupan pantauan ke pemerintah daerah, ICW menduga jumlah yang digelontorkan lebih besar dari Rp1,29 triliun.

Terakhir, dia menyebut ICW melakukan penelusuran aktivitas pengadaan barang dan jasa (PBJ) terkait aktivitas digital dan pelibatan para influencer dalam mensosialisasikan program-program pemerintah ini lewat penelusuran pada situs LPSE Kementerian, maupun Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK).

"Tren penggunaan influencer dapat membawa pemerintah pada kebiasaan mengambil jalan pintas. Misalnya, guna memuluskan sebuah kebijakan publik yang tengah disusun, maka pemerintah menggunakan jasa influencer untuk memengaruhi opini publik. Hal ini tidak sehat dalam demokrasi karena berpotensi mengaburkan substansi kebijakan yang tengah disusun dan kemudian berakibat pada tertutupnya ruang percakapan publik," katanya lagi.