Tahun Baru Islam, PBNU Minta Akhlak Nabi Muhammad Diteladani

Sekjen PBNU, Ahmad Helmy Faishal Zaini.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Satria Zulfikar

VIVA - Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, A Helmy Faishal Zaini, mengatakan, tahun baru Islam atau 1 Muharam yang ditandai dengan hijrah Nabi Muhammad SAW adalah peristiwa agung yang sangat penting bagi sejarah umat Muslim. Dia mengatakan, hijrah adalah metamorfosis gerakan, baik sosial, keagamaan, maupun kebudayaan.

"Bahkan, karena teramat pentingnya peristiwa hijrah tersebut, sejarah mencatat dan juga mengabadikannya sebagai ‘ikon’ ajaran Islam," kata Helmy kepada VIVA.co.id, Rabu, 19 Agustus 2020.

Baca juga: Tahun Baru Islam, Bekasi Larang Pawai Obor dan Tablig Akbar

Dalam momentum tahun baru 1442 Hijriah ini, PBNU mengajak seluruh umat Islam untuk meneladani spirit dan nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa hijrah Rasulullah SAW.

"Kita harus meneladani sikap, perbuatan, ucapan, dan akhlak Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari," ujarnya.

Ia menjelaskan, ada empat pesan Nabi Muhammad SAW yang disampaikan saat khotbah di awal masa hijrah. Pertama, menebarkan salam.

Salam yang dimaksudkan adalah ‘perdamaian’. Dalam konteks berbangsa dan bernegara ada irisan kemiripan dan kesamaan struktur sosiologis masyarakat Madinah kala itu dengan masyarakat Indonesia saat ini.

Irisan keduanya pada konteks kemajemukan dan kebinekaan. Keduanya sama-sama majemuk.

Maka dalam konteks ini, pesan Nabi Muhammad SAW tidak berhenti pada makna tekstual menebarkan salam, melainkan yang dimaksudkan adalah menebarkan kedamaian serta menciptakan rasa aman bagi siapa pun sesama manusia, terlebih sesama bangsa dan negara.

Kedua, memberi makanan atau bersedekah. Pesan ini mengingatkan kepada semua bahwa kepedulian sosial adalah pilar penting dalam bermasyarakat. Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang dibangun di atas individu-individu yang memiliki kepekaan dan kepedulian sosial kepada sesama.

Baik kepedulian dalam konteks seagama (ukhuwwah Islamiyyah), kepedulian dalam konteks berbangsa (ukhuwwah wathaniyyah), ataupun yang lebih mendasar dari itu semua yakni kepedulian kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah).

Ketiga, menjalin silaturahim. Lanjut dia, ini adalah aspek yang tidak kalah penting, utamanya dalam konteks berbangsa dan bernegara.

Kiai Abdul Wahab Hasbullah pernah bersama-sama dengan Bung Karno menggagas silaturahmi nasional para tokoh bangsa dan elite politik yang saat itu sedang dilanda pertikaian yang luar biasa pada 1948.

"Silaturahim itu belakangan dinamakan dengan halal bi halal. Artinya dalam forum silaturahim tersebut terdapat keberkahan yang sangat luar biasa yakni tercapainya rasa saling memaklumi, memaafkan, dan mengikhlaskan satu sama lain," ujarnya.

Sementara itu, yang keempat, menjalankan salat malam. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW berpesan kepada semua agar senantiasa berusaha menjadi pribadi yang bersemangat untuk memperbaiki diri dengan cara ‘mengetuk pintu langit’ di malam hari.

Malam hari, apalagi di sepertiga malam akhir, adalah momen yang sangat tepat untuk ‘mengoreksi’ diri serta bermuhasabah merenungi kesalahan demi kesalahan yang telah dilakukan untuk dimintakan maaf kepada Allah SWT.

"Dalam posisi seperti ini, salat malam memiliki kedudukan yang sangat penting bagi setiap hamba," ujarnya.

Tak hanya itu, ia juga mengajak semua agar merenungkan baik-baik, serta agar lebih belajar menggali lebih dalam lagi pesan-pesan kenabian yang relevan dalam konteks hijrah ini. Upaya ini agar semua bisa berhijrah dan bertransformasi menjadi pribadi, sosial, maupun bangsa yang lebih baik, lebih mulia, dan lebih bermartabat.

"Dalam momentum tahun baru Hijriah ini, mari kita manfaatkan sebaik mungkin untuk bersama-sama melangitkan doa, saling membantu dan men-support agar bangsa kita segera diberi kemudahan untuk keluar dari wabah pandemi COVID-19 dengan selamat," ujarnya. (art)