Konflik di Nduga Papua Kembali Terjadi, Korban Berjatuhan
- bbc
Warga sipil tewas di tengah konflik bersenjata di Kabupaten Nduga, Papua, untuk kesekian kalinya. Konflik yang telah bergulir selama hampir dua tahun ini menyisakan sejumlah masalah dan pemerintah dituntut untuk mengubah kebijakan.
Gelombang aksi demonstrasi terjadi di Nduga, di pegunungan tengah Papua, yang terjadi belakangan ini menuntut keadilan tewasnya dua warga diduga oleh pasukan TNI, baru-baru ini.
Yang menjadi korban adalah Elias Karunggu, 40 tahun, dan putranya Selu Karunggu, 20 tahun. Mereka ditembak pasukan TNI di distrik Kenyam, ibukota Nduga pada 18 Juli silam.
Mereka diklaim TNI sebagai anggota kelompok pro-kemerdekaan. Namun klaim itu dibantah berbagai pihak, termasuk Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang menyebut mereka sebagai warga sipil.
Sementara pemerintah daerah Nduga menyebut keduanya merupakan pengungsi Nduga yang menyelamatkan diri dari konflik berkepanjangan yang berkecamuk di daerah itu dan menuntut pemerintah pusat menarik pasukan TNI/Polri dari Nduga.
Pada Desember 2018, ribuan warga sipil di Nduga mengungsi setelah pembunuhan belasan karyawan PT. Istaka Karya di Gunung Kabo, oleh anggota Organisasi Papua Merdeka.
Setelah peristiwa pembantaian ini, pemerintah menambah pasukan militer di Kabupaten Nduga untuk mengejar kelompok OPM pimpinan Eginaus Kogeya. Di tengah operasi militer inilah ribuan warga sipil mengungsi.
Akan tetapi, Menkopohulkam Mahfud MD mengatakan "tidak mungkin" pasukan TNI/Polri ditarik.
Warga sipil atau anak kelompok pro-kemerdekaan?
Pada Sabtu (18/07) sore, waktu setempat, Elias Karunggu dan putranya, Selu Karunggu, beserta sejumlah warga Nduga lain sedang menanti perahu di pinggir sungai Kenyam di kampung Masanggorak. Mereka hendak menuju ibu kota Kenyam, yang berjarak 500 meter.
Namun, ayah dan anak ini tak pernah sampai ke pusat kota. Mereka tewas ditembak anggota Tim Satgas Pamtas Yonif PR 330/TD.
Kepala penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III (Kapen Kogabwilhan) Kolonel Czi Gusti Nyoman Suriastawa mengklaim keduanya merupakan anggota kelompok pro-kemerdekaan TPNB-OPM pimpinan Egianus Kogoya yang sedang melakukan penyerahan senjata.
Komando Gabungan Wilayah Pertahanan merupakan komando utama operasi, satuan baru yang dibentuk pada akhir 2019 silam dan langsung berada di bawah komando Panglima TNI. Adapun Kogabwilhan III meliputi Maluku dan Papua.
Nyoman menjelaskan, sebulan sebelum insiden penembakan terjadi perampasan perlengkapan yang dia sebut dilakukan oleh TPNB-OPM.
Tim kemudian melakukan pemantauan, hingga pada 18 Juli lalu, keduanya didapati sedang melaksanakan transaksi penyerahan senjata jenis revolver.
Mereka kemudian dihadang, sementara warga yang lain melanjutkan perjalanan ke Kenyam.
"Begitu sudah pisah, ada perintah dari komandan tim [untuk] buka tembakan. Makanya dua itu langsung tewas di tempat," katanya.
Tim kemudian melakukan pembersihan dan "dapatlah barang bukti yang dia terima dari masyarakat," lanjut Nyoman
Barang bukti yang dimaksud adalah satu pucuk senjata jenis Revolver, ponsel milik prajurit yang diduga dirampas sebulan lalu, dua buah tas, kampak dan uang tunai senilai Rp 9,5 juta.
Akan tetapi, tudingan bahwa keduanya merupakan anggota pro-kemerdekaan, dibantah oleh juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom, yang menyebut keduanya bukan anggotanya.
Ketua DPRD Nduga Ikabus Gwijangge mengatakan keduanya adalah pengungsi dari Distrik Yal yang selama beberapa waktu terakhir tinggal di ibu kota Kenyam.
Sang anak bekerja sebagai tukang sensor, atau pemotong kayu di hutan yang sering membantu masyarakat membangun rumah.
"Mereka dua ini warga sipil. Kami sebagai masyarakat Nduga dan kami sering sama-sama dengan dia, jadi saya percaya keduanya adalah warga sipil," ujarnya.
Apalagi, keduanya merupakan keluarga Sekretaris Daerah Nduga, Namia Gwijangge.
Gelombang demonstrasi tuntut keadilan
Buntut dari insiden tersebut, ratusan warga Nduga menggelar aksi di pusat kota Kerom, pada Senin (27/07) lalu, dalam gelombang aksi damai menuntut keadilan atas tewasnya dua warga Nduga dalam penembakan oleh pasukan TNI pada 18 Juli.
Ini untuk kesekian kalinya warga Nduga menjadi korban dari konflik antara pasukan TNI/Polri dan TNPPB-OPM.
Merujuk data Tim Kemanusiaan sedikitnya 241 warga Nduga tewas di tengah konflik bersenjata antara pasukan gabungan TNI/Polri dan kelompok pro-kemerdekaan di Nduga, menyusul insiden penembakan sejumlah pekerja pembangunan jalan Trans Papua yang diduga dilakukan oleh TPNPB-OPM pada akhir 2018 lalu.
Masing-masing massa memegang foto para korban konflik. Keluarga Elias dan Selu turut hadir, dengan lumpur putih menutupi seluruh bagian tubuhnya.
Dalam budaya warga Nduga, ketika ada kerabat yang meninggal, mereka harus menanggalkan semua perhiasan dan tubuh mereka dilumuri lumpur putih sebagai tanda berkabung.
Keluarga korban menyerahkan peti mati berbentuk salib berhias foto-foto korban sebagai tanda atau simbol perdamaian yang diterima langsung otoritas Nduga.
Ketua DPRD Nduga Ikabus Gwijangge yang turut hadir dalam aksi damai itu mengatakan keluarga berharap agar kasus yang menimpa keluarga mereka diungkap.
"Harapan dari keluarga, mereka menuntut adanya investigasi independen untuk mengklarifikasi insiden tersebut," jelas Ikabus.
`Tidak ada penegakan hukum`
Lebih jauh, Ikabus mempertanyakan tindakan pasukan TNI yang bukannya melakukan penegakan hukum, tapi langsung menembak kedua orang itu.
"Elias Karunggu dan Selu Karunggu kan sudah ditangkap. Kalau mereka merasa [keduanya sebagai] anak buah dari Egianus Kogoya, kenapa tidak diadili? Kenapa tidak tanya Egianus ada di mana. Langsung mereka tembak, tidak ada penegakan hukum," kata dia.
"Berarti penegakkan hukumnya dimana?" tanyanya kemudian.
Namun, Kapen Kogabwilhan III Kolonel Czi Gusti Nyoman Suriastawa beralasan pasukan TNI tidak ada pilihan lain karena pada saat itu salah satu dari mereka membawa senjata.
"Pertama, dia jelas-jelas KKSB, dia membawa senjata dan dia merampas tas perlengkapan TNI. Karena barang bukti ada semua."
"Dia bawa senjata, kita ke sana merapat mendekat dia, balik ditembak mati konyol namanya," jelas Nyoman.
Bagaimanapun, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan apa yang terjadi pada kedua warga Nduga tersebut sebagai "pembunuhan yang tidak sah".
"Ini adalah tindakan yang tak terukur, brutal dan merupakan pelanggaran hak hidup mereka dan tergolong dalam jenis pembunuhan yang tidak sah," ujar Usman.
Dia mengatakan tindakan aparat menembak dua warga Papua tersebut "kembali menunjukkan negara bertindak represif di Papua".
"Kami percaya bahwa terdapat hubungan langsung dan kausalitas antara impunitas dan terus terjadinya penembakan yang menyebabkan pembunuhan di luar hukum," tegas Usman.
Merujuk laporan Amnesty International Indonesia bertajuk Sudah, Kasi Tinggal dia Mati!, sebanyak 68 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan di Papua antara Januari 2010 - Februari 2018 dengan 95 korban jiwa.
Dalam 34 kasus, para tersangka pelaku berasal dari kepolisian, sementara 23 kasus lain diduga dilakukan oleh militer. Sedangkan 11 kasus sisanya melibatkan kedua aparat keamanan tersebut.
Selain itu, satu kasus tambahan juga melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), lembaga di bawah pemerintah daerah yang ditugaskan untuk menegakan peraturan daerah. Sebagian besar korban, 85 dari mereka, merupakan warga etnis Papua.
`Korban terus berjatuhan`
Adapun merujuk data yang dihimpun Tim Kemanusiaan Nduga, hingga Desember tahun lalu, sedikitnya 241 orang warga sipil Nduga menjadi korban sejak dimulainya pengerahan pasukan TNI/Polri di Nduga pada 2 Desember 2018.
Pegiat HAM Papua yang menjadi bagian dari Tim Solidaritas untuk Nduga, Theo Hasegem mengungkapkan mereka meninggal di tangan aparat keamanan dan meninggal dalam kelaparan dan sakit dalam pengungsian.
"Sejak satu tahun delapan bulan kita lihat tidak ada perubahan sama sekali, korban terus berjatuhan," kata Theo.
Dia menambahkan, jika ditambah 16 pekerja proyek Trans Papua yang diduga tewas ditembak TPNB-OPM, total kematian akibat operasi bersenjata di Nduga menjadi 257 orang.
Sementara ribuan warga mengungsi ke sejumlah daerah, seperti Wamena, Lani Jaya, Timika, Jayapura dan Puncak.
Pada Juli 2019, Kementerian Sosial mencatat setidaknya ada 2.000 pengungsi yang tersebar di beberapa titik di Wamena, Lanijaya, dan Asmat.
Merujuk data Kemensos, 53 orang dilaporkan meninggal dunia. Angka ini jauh di bawah data yang dihimpun oleh Tim Solidaritas untuk Nduga pada saat itu, yang mencatat sedikitnya 5.000 warga Nduga mengungsi dan 139 di antara mereka meninggal dunia.
Pola baru penanganan konflik
Dalam demonstrasi Senin lalu, masyarakat juga menyuarakan tuntutan agar pemerintah pusat menarik pasukan TNI/Polri dari Nduga.
Sementara Ketua DPRD Nduga, Ikabus Gwijangge mengatakan perlu ada pola baru dalam menangani konflik di Nduga.
"Kalau di sini terus seperti ini terus, pasti masyarakat menjadi korban. Harus ada pola baru untuk situasi seperti ini," ujar Ikabus.
Dia mengatakan, pemerintah daerah sudah sering meminta pemerintah pusat untuk menarik pasukan organik dari Nduga, namun itu "tak digubris" pemerintah pusat.
Namun, Kepala penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III, Gusti Nyoman Suriastawa menegaskan keberadaan pasukan TNI/Polisi di sana untuk mengejar mengejar apa yang dia sebut sebagai KKSB, atau kelompok kriminal separatis bersenjata, yang mengganggu stabilitas keamanan di Nduga, sejak penembakan pekerja proyek Trans Papua.
"KKSB sampai kapanpun apabila dia menganggu stabilitas keamanan, sampai kapanpun akan kita kejar," kata dia.
Dia kemudian menjelaskan kendala yang dihadapi pasukan dalam melakukan tugasnya adalah sulitnya membedakan anggota kelompok pro-kemerdekaan dengan masyarakat sipil.
"KKSB selalu menjadikan masyarakat sebagai tameng, tidak jelas membedakan [keduanya] di sana. Harus benar-benar teliti banget," jelas Nyoman.
Selain itu, kondisi geografis yang berbeda dengan tantangan yang lebih berat menyulitkan para anggota TNI.
"Kalau dibolehkan prajurit nggak ada yang mau ke sana. Tapi karena panggilan tugas bangsa dan negara dia harus siap melaksanakan tugas," imbuhnya.
Seruan penarikan pasukan TNI/Polri telah lama disuarakan oleh pemda Nduga dan Papua, serta pegiat HAM yang menyoroti pelanggaran HAM selama konflik berlangsung.
Namun, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan HAM, Mahfud MD berulang kali menegaskan bahwa itu tidak mungkin.
"Bagaimana mungkin sebuah negara melarang TNI masuk menjaga negaranya, nggak mungkin," kata Mahfud dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengamanan Perbatasan Negara di Hotel Pullman, Jakarta, Rabu (11/03).
"Bahasa LSM, bahasa gerakan sipil itu selalu TNI/Polri yang bikin masalah. Harus ditarik di sana, pelanggaran HAM. Ya nggak mungkin."
"Bagaimana sebuah negara menarik TNI dan Polri dari situ, hancur. Ditarik sehari saja sudah hancur," tegasnya.