Pendekatan Baru Indonesia Tangani COVID-19, Seberapa Efektif?
- abc
Pekan lalu, Indonesia menggunakan pendekatan baru dalam penanganan pandemi virus corona di Indonesia, mulai dari pembentukan Komite Penanganan COVID-19 hingga penggunaan istilah-istilah Baru. Namun sejumlah pengamat menilai langkah baru ini belum tentu efektif.
Senin (20/07), Presiden Joko Widodo resmi membubarkan 18 komite dan lembaga melalui Perpres 82 tahun 2020, termasuk Gugus Tugas Penanganan COVID-19.
Presiden Jokowi kemudian membentuk Komite Kebijakan Pengendalian COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang diketuai Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Menurut Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, alasan pembentukan Komite ini adalah wujud fokus Pemerintah yang tidak hanya berfokus pada kesehatan, melainkan juga ekonomi.
Komite Kebijakan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional:
Ketua : Menko Perekonomian Airlangga Hartarto
Wakil Ketua 1 : Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan
Wakil Ketua 2 : Menko Polhukam Mahfud Md
Wakil Ketua 3 : Menko PMK Muhadjir Effendy
Wakil Ketua 4 : Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
Wakil Ketua 5 : Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto
Wakil Ketua 6 : Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian
Ketua Pelaksana: Menteri BUMN Erick Thohir
Sekretaris Eksekutif 1 (program): Ekonom Raden Pardede
Sekretaris Eksekutif 2 (adminstrasi): Sesmenko Perekonomian Susiwijono
Ketua Satgas Penanganan Covid-19: Kepala BNPB Doni Monardo
Ketua Satgas Pemulihan Ekonomi Nasional: Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin
Pramono menegaskan, Gugus Tugas dan Gugus Tugas Daerah sebenarnya tidak dibubarkan, hanya berubah menjadi Satuan Tugas di bawah Komite.
Menurutnya kewenangan Doni Monardo, yang tetap menjadi ketua Satgas tidak ada yang berkurang sama sekali.
"Jadi hal yang berkaitan dengan kesehatan, perizinan, pembelian, penanganan, dan sebagainya tetap menjadi tugas di satgas COVID-19," kata Pramono, Selasa lalu (21/07).
"Tidak efektif" jika tidak dipimpin langsung Presiden
Yanuar Nugroho, akademisi yang pernah menjadi Deputi II Kantor Staf Presiden di periode pertama Presiden Jokowi menilai perombakan Gugus Tugas sebenarnya bisa menjadi titik balik penanganan COVID-19 di Indonesia.
"Harus diakui, Gugus Tugas sangat kesulitan, karena meskipun Pak Doni ini sangat mampu, bagaimanapun dia hanya Kepala Badan, bukan Menteri, apalagi Menko."
"Maka bayangan saya ketika ada pemikiran atau gagasan bahwa Gugus Tugas ini akan dirombak … akan langsung dipimpin presiden, bukan struktur baru seperti ini lagi," tutur Yanuar Nugroho kepada Hellena Souisa dari ABC News.
Yanuar menambahkan untuk masalah sepenting COVID-19, idealnya Komite ini langsung dipimpin presiden dengan pelaksana menteri koordinator atau orang yang diberi kewenangan setingkat Menko.
"Karena tugasnya adalah mengkoordinasikan kebijakan sampai pelaksanaan lintas kementerian dan lintas daerah."
Menjawab pertanyaan ABC mengenai argumen yang beredar jika sebenarnya Komite ini juga bertanggung jawab kepada Presiden Jokowi, Yanuar mengingatkan di kabinet presidensial, siapapun memang akan bertanggungjawab kepada presiden.
"Tetapi komite ini harus dipimpin presiden agar efektif. Pelaksananya diberi kewenangan bertindak untuk dan atas nama presiden sehingga para menteri dan kepala daerah nurut."
"Sekarang bagaimana caranya Menteri BUMN (ketua pelaksana komite) minta realokasi anggaran ke Menkeu sementara Menkeu-nya pengarah?" pungkas Yanuar.
Yanuar menganalisa ada dua kemungkinan alasan Presiden tidak memimpin langsung Komite ini, yakni karena presiden merasa sudah memiliki tangan kanan menteri-menteri yang sudah memikirkan COVID-19, sehingga presiden merasa lebih baik diserahkan kepada mereka.
"Kemungkinan yang kedua adalah [Presiden merasa] ini bukan kewenangan atau tidak perlu [diurus] sampai level presiden. Kalau itu alasannya, saya tidak setuju, meskipun alasan yang pertama juga tidak bisa menjadi pembenaran" ujar Yanuar.
Sebelumnya, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono dan Komisioner Ombudsman RI, Alvin Lie, juga pernah meminta Presiden untuk memimpin langsung penanganan COVID-19.
Baik Pandu maupun Alvin sepakat, penanganan COVID-19 di Indonesia tidak bisa dilakukan secara "ad-hoc".
Yanuar menilai, jika presiden memimpin langsung penanganan COVID-19, bukan saja penanganan di dalam negeri lebih efektif, tapi juga memperlihatkan komitmen presiden sekaligus mengirim sinyal kepada dunia bahwa pandemi COVID-19 adalah "masalah penting" dan "Indonesia tidak main-main."
Istilah baru mengikuti WHO: serupa tapi tak sama?
Selain Komite yang baru, pekan lalu Kementerian Kesehatan juga memperkenalkan istilah baru pengklasifikasian dalam penanganan kasus COVID-19 untuk mengikuti anjuran badan kesehatan dunia, WHO.
Istilah orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan orang tanpa gejala (OTG) yang selama ini telah dikenal dalam pencatatan angka kasus disesuaikan menjadi "suspek", "kontak erat", dan "kasus konfirmasi tanpa gejala".
Kemenkes juga memperkenalkan istilah "probabel", yaitu orang yang diyakini sebagai suspek dengan ISPA Berat atau gagal napas akibat aveoli paru-paru penuh cairan (ARDS), atau meninggal dengan gambaran klinis yang meyakinkan COVID-19 dan belum ada hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR.
"Jadi kita ini negara yang paling taat sama WHO, WHO bilang istilahnya apa, kita ikuti. Kalau sesuatu tidak sesuai dengan WHO nanti juga aneh sendiri," ujar Menteri Kesehatan Terawan Agung Putranto, pekan lalu (14/07).
Padahal, WHO sebetulnya sudah mengeluarkan panduan mengenai klasifikasi ini empat bulan lalu, yakni pada Maret 2020.
Meskipun Indonesia mulai menggunakan istilah baru yang mengacu pada WHO, ada sedikit perbedaan dalam definisi istilah tersebut, terutama pada definisi kasus probabel.
Meski menggunakan istilah yang sama dengan panduan WHO, ada perbedaan dalam definisi. (Supplied)
Perbedaan definisi terlihat sangat sedikit dan sepele, namun berdampak besar pada peghitungan akhir angka kematian.
Elina Ciptadi dari Kawal COVID-19 mejelaskan, angka kematian COVID-19 sesuai rujukan WHO adalah jumlah kematian kasus probable dan kasus yang terkonfirmasi positif.
Tetapi karena perbedaan definisi probabel yang digunakan Kemenkes RI, kasus PDP meninggal dunia tidak masuk ke klasifikasi probable.
"Sebenarnya kalau kita melihat dari definisinya WHO, definisi A dari probable cases adalah mereka yang hasil tesnya nggak konklusif, tapi [definisi] B adalah suspek, bergejala konsisten dengan COVID-19, tetapi tidak bisa dites karena alasan apapun," tutur Elina kepada jurnalis ABC, Hellena Souisa.
"Jadi seharusnya jika mereka sudah kadung meninggal dalam kondisi belum dites, fakta bahwa mereka sudah menjadi suspek, atau ODP PDP itu harusnya dihitung dalam statistik probable."
Perawat mengenakan alat pelindung diri (APD) menangani pasien di Poli Pinere RSUD Arifin Achmad, Kota Pekanbaru, Riau, Kamis (9/7/2020). (ANTARA FOTO/FB Anggoro).
Elina menambahkan, karena panduan definisi Kemenkes yang baru, ada setidaknya 2.000 kasus PDP yang meninggal dunia masuk ke [klasifikasi] suspek meninggal dunia dan tidak dihitung sebagai kasus probabel.
"Makanya di tabel kami tetap ada angka ODP, PDP, OTG, supaya orang bisa berhitung sendiri, angka PDP itu sekarang larinya ke kategori yang mana," ujar Elina.
Istilah klasifikasi yang "serupa tapi tak sama" ini juga dibenarkan oleh Irma Hidayana dari Lapor COVID-19.
Irma mengingatkan, meski sudah memakai istilah sama dengan WHO, kasus probable di Indonesia tetap tidak dicatat sebagai kematian COVID-19.
Menurutnya, kalaupun dimasukkan, hasilnya akan jauh lebih sedikit karena jumlah PDP meninggal dunia yang tidak terkategorikan ke dalam kasus probable.
Total angka kematian dalam "situation report" Indonesia yang dirilis WHO hari ini (23/07) juga masih mencantumkan angka kematian kasus positif saja.
Peneliti SIMCOVID-19 dari Institut Teknologi Bandung, Nuning Nuraini ikut khawatir akan ada porsi bagian yang hilang saat data dengan istilah yang lama dikonversi ke istilah yang baru.
"Dikhawatirkan ada informasi yang hilang sehingga kita tidak bisa menganalisis dinamika dengan komprehensif sejak masa awal pandemi," kata Nuning kepada ABC.
Nuning menambahkan, ia khawatir orang dalam kategori ODP, tidak tercatat dalam sistem yang baru ini.
"Karena ODP lebih sulit untuk ditelusuri datanya, beda dengan PDP yang dirawat di rumah sakit," tutur Nuning.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua kanan) berbincang dengan Kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo (kiri), Menteri BUMN Erick Thohir (kedua kiri) dan Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin usai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (20/7/2020). (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan).
Data yang utuh untuk melihat "wajah wabah" di Indonesia
Baik Nuning maupun Elina berharap struktur penanganan COVID-19 yang baru ini bisa membuat keadaan menjadi lebih baik.
"Kami nggak terlalu masalah mau istilah apapun yang dipakai, yang penting datanya dibuka, termasuk data tes, data berapa orang yang diisolasi," ucap Elina.
Nuning juga berharap adanya informasi yang utuh yang bisa diakses oleh masyarakat dan ilmuwan.
"Untuk bisa menghitung positivity rate saja, misalnya, pasti perlu informasi yang akurat dan lengkap," ujar Nuning.
Tanpa kedua hal itu, menurut Elina, wajah wabah COVID-19 di Indonesia tidak bisa dilihat, dengan contohkan tingginya kematian anak akibat COVID-19 di Indonesia.
"Kita tahu angka kematian anak kita tinggi, tapi kita nggak tahu bagaimana mereka bisa sampai tertular karena datanya nggak dibuka ke publik dan ke peneliti."
"Kalau memang ke publik dirasa tidak perlu, setidaknya dibuka ke peneliti supaya mereka bisa bekerja dan menggambarkan wajah wabah ini bagi Indonesia," tutup Elina.
Sampai Rabu (22/07) kemarin, jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia telah mencapai 91.751, dengan total kasus baru mencapai 1.882 dan 139 kasus kematian dalam sehari.