Korban Banjir Masamba: Rumah Ibu di Bawah Sungai Ini

Hamluddin duduk di lokasi yang dulu rumah ibunya, yang kini tertimbun air dan tanah
Sumber :
  • Instagram

VIVA – Banjir bandang di Masamba, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan, menorehkan kisah pilu bagi Hamluddin. Bagaimana tidak, rumah orangtuanya, tempat ia dilahirkan dan tumbuh besar, bukan lagi rata dengan tanah tetapi sudah tertimbun air dan tanah. Rumah itu kini telah menjadi bagian dari sungai masamba.

Kepada VIVA, pria yang akrab disapa Udin itu, menceritakan bahwa rumah ibunya memang berada di pinggir Sungai Masamba. Tapi sungai itu terbilang cukup dalam dari daratan. Selain rumah, di dekat itu juga ada masjid yang dibangun dari tanah wakaf sang ibu. Berderet juga dengan rumah kedua kakaknya.

Hamluddin sebenarnya sudah bertahun-tahun tinggal di Bekasi, Jawa Barat. Selain sebagai jurnalis salah satu media nasional, ia juga pengajar di Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi. Saat peristiwa banjir bandang 13 Juli 2020 malam, ia sempat dihubungi, ketika air bah itu menerjang perkampungannya. Namun komunikasi terputus, karena semua akses listrik hingga komunikasi, ikut terputus.

"Sedih banget. Sejak di Bekasi, saya hanya bisa nangis lihat lokasi rumah ibu dan kakak," ceritanya kepada VIVA, Rabu 22 Juli 2020.

Baca juga: Jokowi Effect Dinilai Penentu bagi Peluang Gibran di Pilkada 2020

Saat kejadian, ia langsung bersiap untuk menengok kampung halamannya itu. Baru pada 19 Juli akhirnya tiba di Masamba, setelah perjalanan darat dari Makassar selama berjam-jam. Di kampungnya, tepatnya Desa Kasimbong, Kelurahan Bone Tua, Kabupaten Luwu Utara, ia melihat semuanya sudah luluh lantah, tak sedikit yang tertimbun tanah. Di area yang dulu adalah rumah ibunya, rumah kakaknya dan pesantren serta masjid, kini sudah benar-benar tenggelam. Yang tersisa hanya atap kubah masjid saja.

"Tinggal kubah masjid, depannya posisi rumah ibu dan kakak saya. Ini pas saya sampai Masamba, hanya bisa duduk lihat lokasi rumah ibu," katanya.

Posisi sungai dengan rumah ibu dan kakaknya itu, sebenarnya cukup tinggi. Antara jalan dan pemukiman di kedua sisi Sungai Masamba awalnya setinggi 7 meter. Ia terbayang, saat masih kecil dan tumbuh besar di kawasan yang kini sudah tertutupi oleh tanah dan aliran air. 

"Saya tatap air sungai keruh mengalir deras, di bawahnya ada rumah ibu dan dua orang kakak. Tergambar wajah ibu (Mihada, 1949-2018), kami memanggilnya mama, guratan wajah oval dan rambutnya yang memutih," katanya tak mampu menahan air mata.

Terngiang baginya, saat mereka berkumpul dan menikmati suasana kampung yang begitu sejuk. Masjid yang jika Ramadan tiba, tidak sepi dengan suara Alquran yang selalu dilantunkan. Hamluddin menjadi teringat saat dulu, sebelum rumah dan masjid itu tertimbun.

"Di bawah tanah tempat saya duduk, di situlah terpendam berjuta kenangan masa silam. Rumah ibu telah terkubur, tempat kami bercengkrama, rumah tempat kami melepas penat dan lelah dari kerasnya kehidupan ibu kota," katanya.

Di kawasan itu juga, ada Pesantren Al Fatah yang satu lokasi dengan rumah ibunya dan kedua kakaknya. Pesantren ini termasuk yang tidak tersisa sama sekali tersapu banjir bandang.

"Tadinya Pesantren Al Fatah masih lahan orangtua. Awalnya wakaf kakak, sebelumnya ibu wakaf masjid, (sekarang) habis semua. Di belakang ada SD Negeri 147 Indokoro, juga habis," katanya.

Ia menceritakan, sebanyak 200 santri Al Fatah berhasil selamat dan diungsikan. Tapi salah satu ustadnya, yakni Ustad Anas, tidak bisa tertolong setelah terseret arus banjir bandang. "Ditemukan di hari ketujuh. Posisi ditemukan sekitar 3 km dari lokasi pesantren," katanya.

Saat ini, Udin mengatakan hanya bisa bersih-bersih lumpur di rumah kakaknya yang lain. Hujan masih terus turun setiap malamnya. Banyak juga warga yang tidak berani kembali. Ia mengatakan, hingga kini bantuan pemerintah belum maksimal. (ren)