RUU PKS Dipastikan Tidak Mengandung Unsur Liberalis
- ANTARA FOTO/Kornelis Kaha
VIVA – Ketua DPP Partai NasDem Bidang Perempuan dan Anak, Amelia Anggraini memastikan bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tidak membawa paham dan kepentingan liberal. Pernyataan ini muncul setelah banyak diisukan jika RUU PKS hanya melegalkan dominasi kaum perempuan dan campur tangan negara pada wilayah domestik.
Amelia mengatakan RUU ini di dihadirkan semata-mata hanya untuk melindungi hak-hak warga negara karena beranjak dari data dan fakta bahwa, fenomena kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terus meningkat.
“Demikian juga kekerasan fisik dan emosional, RUU PKS ini lebih berbasis pada perspektif perlindungan korban,” kata Amelia di Jakarta, Kamis, 16 Juni 2020.
Baca juga: Pemerintah dan DPR Sepakat Tarik 16 RUU, Salah Satunya RUU PKS
Sebab, menurut Amelia beberapa bentuk kekerasan seksual yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan tetapi uraian delik dan unsur yang masih terbatas, belum menyediakan skema perlindungan, penanganan dan pemulihan korban.
“Kemudian kesulitan korban Kekerasan Seksual dalam mengakses layanan, tidak adanya sistem pemidanaan dan penindakan terhadap beberapa jenis kekerasan seksual, korban dan keluarga harus mendapat dukungan proses pemulihan dari negara, dan pelaku kekerasan seksual akan mendapat akses untuk rehabilitasi,” ucapnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, berdasarkan Catahu 2020 Komnas Perempuan, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah KDRT/RP (ranah personal) yang mencapai angka 75 persen (11.105 kasus).
Sementara untuk ranah pribadi paling banyak dilaporkan dan tidak sedikit diantaranya mengalami kekerasan seksual. Posisi kedua KtP di ranah komunitas/publik dengan persentase 24 persen (3.602) dan terakhir adalah KtP di ranah negara dengan persentase 0.1 persen (12 kasus).
Pada ranah KDRT/RP kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 4.783 kasus (43 persen), menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual sebanyak 2.807 kasus (25 persen), psikis 2.056 (19 persen) dan ekonomi 1.459 kasus (13 persen).
Pada ranah publik dan komunitas kekerasan terhadap perempuan tercatat 3.602 kasus. 58 persen kekerasan terhadap perempuan di ranah publik atau komunitas adalah kekerasan seksual yaitu pencabulan (531 kasus), perkosaan (715 kasus) dan pelecehan seksual (520 kasus). Sementara itu persetubuhan sebanyak 176 kasus, sisanya adalah percobaan perkosaan dan persetubuhan.
Berdasarkan data Komnas PA, pada tahun 2017 ada 2.737 aduan kasus kekerasan terhadap anak-anak, dimana 52 persen kasus, adalah kejahatan seksual pada anak-anak, dan sodomi menjadi kasus yang paling tinggi yakni sebanyak 771 kasus (54 persen), kemudian pencabulan sebanyak 511 kasus (36 persen), kasus perkosaan sebanyak 122 kasus (9 persen), dan incest sebanyak 20 kasus (1 persen).
Pada 2018, KPAI mencatat ada 122 anak laki-laki dan 32 anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, pada tahun 2019, tercatat sebanyak 21 kasus pelecehan seksual dengan jumlah korban 123 anak. Dari 123 korban ini, terdapat 71 anak perempuan dan 52 anak laki-laki, dan yang terbaru (Juli 2020) adalah pencabulan terhadap 30 anak laki-laki di Sukabumi Jawa Barat, ini mempertegas bahwa kasus kekerasan seksual itu tidak memandang jenis kelamin. (ren)