Sebutan ODP dan PDP Diganti dengan Istilah Baru, Seberapa Efektif?
- bbc
Langkah pemerintah Indonesia menerapkan sistem pencatatan baru kasus Covid-19, yang termasuk perubahan data kematian, disebut ahli epidemiologi tak akan bermakna karena tidak dilakukan dengan mencantumkan data lama.
Sejauh ini, berdasarkan data pemerintah daerah DKI Jakarta dan Jawa Timur, misalnya, sekitar 3.800 orang berstatus Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) tercatat meninggal dunia.
Namun data ini tak pernah tercatat dalam data kematian nasional dan belum akan masuk ke data nasional berdasarkan sistem pencatatan yang baru.
Pemerintah mengatakan belum akan mengonversi data-data lama dengan sistem pencatatan yang baru.
"Tidak, tidak. [Masukan ahli epidemologi untuk menyelaraskan data] dipertimbangkan saja," kata juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto kepada BBC News Indonesia (15/07).
`Tak bisa perlihatkan tren`
Pemerintah telah mengubah sistem pencatatan Covid-19, dengan di antaranya, memasukkan angka mereka yang meninggal dengan gejala berat Covid-19 (kini disebut probable), ke dalam angka kematian akibat virus corona.
Sebelumnya, mereka yang meninggal dalam status ODP maupun PDP, tak masuk ke dalam hitungan jumlah kematian, yang berdasarkan data nasional mencapai sekitar 3.700 orang hingga Rabu (15/07).
Selain itu, pemerintah juga menghilangkan istilah ODP dan PDP dan memperkenalkan istilah baru seperti suspek, kasus probable, dan kontak erat.
Kementerian Kesehatan mengatakan perubahan istilah itu dilakukan untuk mengikuti anjuran WHO.
"Jadi kita ini negara yang paling taat sama WHO, WHO bilang istilahnya apa, kita ikuti. Kalau sesuatu tidak sesuai dengan WHO nanti juga aneh sendiri," ujar Terawan (14/07).
WHO sebetulnya sudah mengeluarkan panduan mengenai klasifikasi ini empat bulan lalu, yakni pada Maret 2020.
Meski begitu, juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Indonesia, Achmad Yurianto, mengatakan pihaknya belum akan melakukan penyesuaian data lama, dengan sistem yang baru diterapkan Selasa (14/07) lalu.
Menanggapi itu, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan perubahan sistem pencatatan bisa jadi sia-sia.
"Ya sudah, nggak usah ganti saja kalau begitu. Buat apa kalau diubah kriterianya, tapi data-data lamanya tidak disesuaikan? Ya nggak bisa dibandingkan apa yang terjadi.
"Kan kita mau lihat tren. Berapa tren kematian karena Covid-19? Definisi kematian [antara sistem pencatatan yang lama dan baru] kan beda, jadi nggak bisa dibandingkan," kata Pandu.
Hal itu akan membuat pemerintah tak bisa membuat statistik kasus yang akurat, kata Pandu.
"Kita nggak bisa tahu info yang sesungguhnya. Dalam perjalanan pandemi ini kita harus bisa melihat tren. Apa terjadi perubahan kematian, perubahan jumlah kasus... yang penting itu angka kematian karena Covid," kata Pandu.
Di Jawa Timur, daerah dengan jumlah kasus positif Covid-19 tertinggi di Indonesia, misalnya, ada lebih dari 1.600 orang yang meninggal dalam status PDP dan ODP, berdasarkan data pemprov setempat.
Sementara, di Jakarta, ada lebih dari 2.200 orang yang meninggal dalam status PDP dan ODP, dan angka-angka kematian ini tak pernah masuk dalam data resmi (data 15/07).
`Tak bisa analisis`
Kepala Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Nuning Nuraini, mengatakan hal senada.
"Kalau tidak dikonversi [data lama dan data baru], kita tidak bisa menganalisis dinamika mulai dari awal secara komprehensif," kata Nuning.
Ia mengatakan perubahan sistem pencatatan ini juga akan mengharuskan daerah-daerah yang ada mengubah sistem pencatatan.
"Yang saya khawatirkan, jika ada daerah yang sudah menerapkan otomatisasi perekaman data ODP, PDP, dan positif. Mereka harus berubah ke sistem baru dan ini butuh effort (usaha)," katanya.
Nuning mengatakan dampak perubahan sistem pencatatan ini baru bisa terlihat di hari-hari mendatang.
Ia menduga perubahan sistem akan berdampak pada sejumlah hal, seperti pada positivity rate atau rasio jumlah kasus terkonfirmasi positif COVID-19 dibandingkan jumlah pengetesan.
Hal itu bisa terjadi karena adanya penggabungan sejumlah kriteria ODP dan PDP.
Saat ini, positivity rate Indonesia ada di angka sekitar 12% , atau di atas standar WHO, di kisaran 5%.
"Kalau sekarang dicampur PDP dan ODP, bisa jadi positivity rate-nya akan turun karena pembaginya lebih besar... Biasanya yang positif dari PDP.
"[Angka kasus positif] dibagi PDP [yang dites] saja itu pasti akan lebih besar, dibanding angka positif dibagi dengan PDP dan ODP [yang dites]," kata Nuning.
Di sisi lain, Nuning mengatakan ia khawatir ada orang yang sebelumnya masuk kategori ODP, luput dalam sistem yang baru ini.
"Karena pada kenyataannya bisanya yang ODP lebih sulit untuk ditelusuri datanya, berbeda dengan PDP yang sudah ada di rumah sakit," ujarnya.
`Disambut gembira`
Terlepas dari itu, pakar Epidemiologi Universitas Airlangga, Atik Choirul Hidajah, mengatakan revisi istilah-istilah itu disambutnya dengan gembira.
"Revisi yang dilakukan ini mempunyai manfaat yang sangat penting dalam pengedalian COVID-19 secara global karena terminologi yang digunakan sudah sama.
"Sehingga, mudah untuk membandingkan bagaimana kondisi di Indonesia dibandingkan negara-negara lain dan apa kontribusi Indonesia dalam upaya pengendalian pandemi secara global," kata Atik.
Ia mengatakan sosialisasi yang terus menerus harus dilakukan untuk mengenalkan terminologi ini.
"Yang terpenting adalah meningkatkan komunikasi risiko agar masyarakat berperan dalam upaya memutusakan mata rantai penularan," ujarnya.
Sementara, dalam keterangan tertulisnya, tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Brian Sriprahastuti, mengatakan perubahan istilah baru diterapkan saat ini, atau empat bulan sejak kasus pertama Covid 19 di Indonesia, karena dia mengklaim, kapasitas pemeriksaan Covid secara PCR sudah semakin baik.
"Sekarang lebih mudah untuk menentukan kasus yang terkonfirmasi dan tidak. Kalau dulu, sangat tergantung dari gambaran klinis, makanya ada istilah ODP dan PDP untuk memudahkan," kata Brian.