Ada Upaya Negara Eropa Gagalkan Ekstradisi Maria Pauline
- Ist
VIVA – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly, mengungkapkan sempat terdapat sejumlah upaya yang serius dari sebuah negara untuk mencegah proses ekstradisi terhadap Maria Pauline Lumowa, buronan pembobol BNI senilai Rp 1,7 triliun di Serbia.
Yasonna tidak menjelaskan secara rinci negara yang dimaksudkan. Namun, negara itu menurut Yasonna masih bagian Eropa.
"Selama proses ada negara dari Eropa yang lakukan diplomasi agar yang bersangkutan (Maria) tidak diekstradisi," kata Yasonna saat konferensi pers, Kamis, 9 Juli 2020.
Selain itu, kata Yasonna, kuasa hukum Maria di sana juga ikut melakukan upaya-upaya hukum agar kliennya tak diekstradisi dari Serbia.
Yasonna bahkan mengaku mendapat informasi bahwa sempat ada upaya penyuapan terhadap Otoritas Serbia agar Maria tidak dibawa ke Tanah Air.
"Saya dapat informasi, ada upaya suap. Tapi pemerintah Serbia commited," kata Yasonna.
Baca juga: Pemerintah Nyaris Kehilangan Lagi Buronan Maria Pauline
Yasonna menjelaskan hal itu merupakan penyebab lamanya proses ekstradisi Maria sampai akhirnya dibawa ke Indonesia. Padahal, Maria sudah diringkus oleh pihak interpol Serbia sejak 16 Juli 2019.
Diketahui, Maria Pauline Lumowa merupakan salah satu tersangka pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif. Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau sama dengan Rp 1,7 Triliun dengan kurs saat itu kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.
Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari 'orang dalam' karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.
Pada Juni 2003, pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor. Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 alias sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri. Perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958 tersebut belakangan diketahui keberadaannya di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura.
Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014, karena Maria Pauline Lumowa ternyata sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979. Namun, kedua permintaan itu ditolak oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang justru memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda.
Upaya penegakan hukum memasuki babak baru saat Maria Pauline Lumowa ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019.
"Penangkapan itu dilakukan berdasarkan red notice Interpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003. Pemerintah bereaksi cepat dengan menerbitkan surat permintaan penahanan sementara yang kemudian ditindaklanjuti dengan permintaan ekstradisi melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham," kata Yasonna.
Selain itu, keseriusan pemerintah juga ditunjukkan dengan permintaan percepatan proses ekstradisi terhadap Maria Pauline Lumowa. Di sisi lain, Pemerintah Serbia juga mendukung penuh permintaan Indonesia berkat hubungan baik yang selama ini dijalin kedua negara.
"Dengan selesainya proses ekstradisi ini, berarti berakhir pula perjalanan panjang 17 tahun upaya pengejaran terhadap buronan bernama Maria Pauline Lumowa. Ekstradisi ini sekaligus menunjukkan komitmen kehadiran negara dalam upaya penegakan hukum terhadap siapa pun yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia," imbuh Yasonna.