Perjalanan Wanita RI yang Diadopsi Orang Belanda Cari Ibu Kandungnya
- bbc
Selama 41 tahun dalam perjalanan hidupnya, Widya Astuti Boerma, perempuan Indonesia yang diadopsi warga Belanda, harus menempuh jalan berliku mencari ibu kandungnya.
Masih terbayang di benak Widya, momen terakhir dia bersama dengan ibu kandungnya, sekitar 40 tahun lalu
Dalam kepingan ingatan perempuan berusia 45 tahun itu, keduanya berada di sebuah stasiun kereta kecil, di mana ibunya menitipkannya kepada seorang perempuan. Tak banyak kata terucap dari sang ibu. Sang ibu bahkan enggan menatap wajahnya.
Kala itu, dia berpikir dia dititipkan sementara ibunya bekerja, seperti biasanya. Namun ibunya tak pernah datang menjemput.
"Sebagai anak-anak, saya selalu meyakini dia akan datang dan menjemput saya. Saya tak pernah menyangka itu momen terakhir saya melihatnya," tutur Widya kepada BBC News Indonesia, Kamis (18/06).
- Setelah 40 tahun terpisah, anak Indonesia yang diadopsi warga Belanda bertemu ibu kandung
- "Kalau dia masih hidup saya ingin memeluknya": Jalan berliku mencari anak dan orang tua kandung
- Adopsi anak ilegal dari Indonesia dan negara lain: Belanda lancarkan penyelidikan
Widya kemudian dibawa ke rumah Utari, perempuan yang bekerja di sebuah panti asuhan. Rumah Utari berada di kompleks panti asuhan yang kala itu berlokasi di Jakarta Pusat tersebut.
Selama diasuh Utari, Widya terus menangis karena terus mencari ibunya yang sangat dia rindukan.
Dia ingat perempuan yang mengasuhnya itu sering menghukumnya dan ingatan itu tertinggal di benaknya, hingga kini.
"Dia mencambuk saya dan saya tidak pernah lupa itu. Itulah satu-satunya memori yang saya miliki tentang panti asuhan itu sendiri," tutur Widya yang kini tinggal di Den Haag, Belanda.
Hingga akhirnya, pada suatu hari, pasangan berkewarganegaraan Belanda menjemputnya di panti asuhan. Pada Agustus 1979, dia terbang ke Belanda dengan orang tua adopsinya.
Bertemu dengan "ibu" dan keluarganya
Tahun berlalu, Widya yang bernama lengkap Widya Astuti Boerma itu menikmati hari-harinya bersama orang tua asuhnya.
Hingga pada 1991, ketika usianya menginjak 16 tahun, bersama orang tua asuhnya dia berkunjung ke Indonesia untuk pertama kalinya sejak meninggalkan negara itu di usianya yang masih balita.
Ketika berkunjung ke tempat asuhan tempat dia tinggal untuk sementara waktu, dia kemudian minta dipertemukan dengan orang tua kandungnya, dan pihak panti asuhan menyanggupinya.
Dia kemudian dipertemukan kembali dengan perempuan yang diklaim sebagai ibunya, yang kini tinggal dengan dua anak perempuan dan satu laki-laki.
Mereka tinggal dalam satu rumah bersama keluarga bibinya di Bandung, Jawa Barat.
Namun, dalam pertemuan itu Widya sama sekali tak merasa tak nyaman dan tak memiliki koneksi dengan perempuan yang diaku ibunya itu.
Itu yang membuatnya hingga kini meragukan bahwa perempuan itu adalah ibu kandungnya.
"Apa yang saya ketahui tentang anak-anak adopsi lain yang menemukan keluarga mereka entah bagaimana ada hubungan neurologis, dan saya tak memilikinya," katanya.
"Saya merasa bersalah karena saya tak merasakan hubungan apa pun," imbuhnya kemudian.
Dalam pertemuan itu, Widya mengaku ibunya pula menitipkan surat yang pada intinya memintanya uang dan memintanya untuk merahasiakan surat itu dari orang tua asuhnya.
"Semua ini adalah tanda-tanda yang dianggap aneh tetapi saya tidak yakin bagaimana cara mengatasinya.
Krisis identitas
Dalam percakapan dengan BBC News Indonesia secara virtual, kunjungannya ke Indonesia itu benar-benar mengubah jalan hidupnya.
Dia merasa bersalah dan mulai meragukan dirinya, karena tidak memiliki koneksi dengan perempuan yang diklaim sebagai ibunya.
Tak dapat menjelaskan situasi itu kepada orang tua asuhnya, dia memendamnya sendiri hingga akhirnya hubungan mereka merenggang dan dia kabur dari rumah.
"Hubungan kami berubah sangat buruk. Saya tidak dapat menjelaskan kepada mereka atau berbicara kepada mereka.
"Entah bagaimana saya tak menjalin hubungan lagi dengan mereka dan saya tidak bisa menyalahkan mereka. Saya tidak bisa menyalahkan diri saya sendiri. Begitulah situasinya," ujar Widya.
Krisis identitas, lanjut Widya, bukan suatu hal yang bisa disembuhkan dengan mudah. Dia harus menghadapinya setiap hari, sejak masa mudanya hingga kini.
Dia mulai bepergian ke seluruh dunia, kecuali Indonesia yang dia sangat hindari.
"Saya bepergian ke Amerika Latin, misalnya, hanya untuk mencoba mencari tahu siapa saya," kata dia.
Pencarian jati diri dimulai
Dalam pencarian jati dirinya, dia kemudian bergabung dengan Mijn Roots, komunitas orang-orang Indonesia yang diadopsi oleh orang Belanda dan dibawa ke negara itu ketika masih bayi atau balita.
Dia pun menyadari bahwa dia bukan satu-satunya anak adopsi yang mencari orang tua kandungnya.
Dia lalu memeriksa dokumen adopsi kembali dan mendapati banyak kejanggalan.
Dalam surat kelahirannya, tercantum dia lahir di Jakarta, pada 6 November 1975 dari ibu bernama Sunarti dan ayah bernama Kartono. Mereka tinggal di Kampung Pulo, Jakarta Timur. Oleh orangtuanya, dia diberi nama Widyastuti.
Namun, Widya meragukan keabsahan surat itu.
Hal yang menarik adalah ketika berkunjung ke panti asuhan pada 1991, pihak panti asuhan mengaku telah memalsukan surat kelahirannya. Sebab, tanpa surat kelahiran, maka adopsi tidak bisa dilakukan.
"Tapi ketika saya mengetahuinya pada 1991, saya tidak pernah menyadari bahwa ini adalah hal yang tak biasa. Saya saat itu merasa "oke mungkin ini normal untuk Indonesia". Saya baru menyadarinya sejak dua tahun lalu," kata dia.
Apalagi, ketika bertemu kembali pada 1991 silam, Utari menuturkan Widya tak dilahirkan di Jakarta, melainkan di Yogyakarta.
Dia berasumsi bahwa dia pernah tinggal di area Kraton Yogyakarta, sebab dia memiliki memori yang jelas tentangnya.
"Saya ingat dengan jelas saya berlutut di depan Sultan. Jadi inilah mengapa saya benar-benar percaya bahwa saya berasal dari Yogyakarta dan juga orang tua kandung saya sebenarnya bekerja sebagai abdi Sultan. Sekali lagi, ini adalah asumsi, tidak dapat seratus persen yakin," aku dia.
Dia juga mengaku pernah tinggal di Metro, Lampung, sebagai bagian dari program transmigrasi.
Dia ingat dirinya berlari di kebun nanas, sesekali kakinya terluka karena tergores duri daun nanas.
Dia juga memiliki ingatan pernah tinggal jalanan Jakarta, berdua saja dengan ibunya.
Meski usianya masih sangat muda ketika ketika terakhir bertemu dengan sang ibu, Widya mengaku memiliki banyak kenangan tentangnya. Hanya saja, Widya tak bisa mengingat raut muka ibunya. Namun, dia ingat banyak hal yang dilakukan ibunya.
"Saya selalu merasa disayang, dan saya selalu merasa aman," katanya.
Realita-realita ini membuatnya sadar bahwa dia tak bisa 100 persen meyakini apa yang ada dalam dokumen adopsinya. Dia meragukan bahwa nama orang tua yang tertera dalam dokumen itu adalah nama orang tua kandungnya sebenarnya.
Dia bahkan meragukan tanggal lahir yang tertera di surat kelahirannya adalah tanggal yang tepat, sebab dia selalu merasa sedikit lebih tua dari usianya.
"Anda merasa seperti identitas Anda hampir terhapus dan Anda harus mengingat kembali diri Anda sendiri, identitas Anda sendiri yang tentu saja sangat aneh dan hampir mustahil dilakukan karena Anda tidak mengerti siapa diri Anda," ujar Widya mengungkapkan perasaanya.
"Anda bukan orang Indonesia, bukan lagi orang Belanda lagi," tuturnya kemudian.
Mencari jejak sang ibu
Tahun lalu, Widya akhirnya memberanikan diri berkunjung ke Indonesia, setelah bertahun-tahun menghindari negara ini dari daftar negara yang dia kunjungi.
Dia bertujuan untuk mencari jejak ibunya dengan mengunjungi tempat-tempat yang terbesit di ingatannya.
Dia mencari petunjuk yang bisa menjustifikasi bahwa dia benar-benar dilahirkan di Yogyakarta, dengan berkunjung ke Kraton Yogyakarta.
Dia berharap bisa menemukan itu di arsip atau dokumentasi tentang para abdi dalem. Namun sayangnya, perwakilan Kraton mengatakan mereka tak memiliki arsip semacam itu.
"Jadi itu sebenarnya petunjuk yang tidak berhasil," ujarnya.
Dia pun mencoba mencari perempuan yang mengaku sebagai ibunya pada 1991, namun tak berhasil. Dia berharap bisa melakukan tes DNA dengan perempuan itu untuk memastikan relasi kekerabatan mereka.
"Sebab saya tak memiliki banyak petunjuk saat ini karena dokumen-dokumen [adopsi] saya sebenarnya tak berdasar pada kebenaran, saya merasa setidaknya melakukan tes DNA adalah hal terbaik yang bisa saya lakukan sekarang," kata Widya.
Kemudian, temanya bernama Tazia Daryanto menyarankannya membuat utas di Twitter tentang perjuangannya mencari sang ibu, yang memungkinkannya mendapatkan petunjuk baru.
Sejak saat itu kisah Widya menjadi viral di dunia maya.
Dalam utas yang diunggah melalui akun Twitter Tazia, Widya menulis surat kepada ibunya, berharap sang ibu membaca surat itu dan menyadari bahwa anak yang pernah dikandungnya kini tengah mencarinya.
"Saya berharap dia menyadarinya dan mengaku. Setidaknya di sisa hidup kami, saya berharap kami bisa bertemu dan hidup bersama lagi. Itu menjadi harapan terbesar saya saat ini," cetusnya.
"Jika bertemu dengannya, saya akan langsung memeluknya," katanya.
Dugaan adopsi ilegal
Bagaimanapun, kejanggalan yang dia temui selama proses pencarian jati dirinya membuat Widya menduga dirinya menjadi bagian dari perdagangan anak berkedok adopsi.
"Saya merasa seperti ketika Anda dengan sengaja memalsukan sesuatu seperti sudah kelahiran, itu sudah mengindikasikan diperdagangkan. Karena jika Anda tidak memiliki akta kelahiran, Anda biasanya pergi ke lembaga pemerintah untuk mencoba mendapatkan salinan atau semacamnya," tuturnya.
Apalagi, dia meragukan proses adopsinya yang sangat cepat, hanya dalam waktu tiga pekan saja.
Dalam surat adopsinya, tertulis ibunya melepaskan semua hak sebagai ibu per 21 Juli 1979. Dia kemudian diadopsi oleh pasangan Belanda tiga pekan setelahnya.
"Jadi saya menyadari bahwa mungkin adopsi tidak berjalan sesuai cara normal. Mungkin itu bagian dari perdagangan ini," kata Widya.
Dugaan Widya diperkuat oleh Ana van Keulen, pendiri Yayasan Mijn Roots bersama rekannya, Christine Verhaagen untuk membantu anak-anak adopsi menemukan orang tua kandung mereka.
Menurut Yayasan Mijn Root, pada rentang waktu antara 1978-1983 ada sekitar 3.000 anak Indonesia diadopsi ke luar negeri, banyak anak yang diadopsi secara tak resmi.
Pada kasus-kasus tertentu, ditemukan bahwa nama ibu yang tertera dalam surat adopsi juga tertera di surat adopsi atas nama anak lain.
"Namanya ada di dokumen lain, kami mendapati bahwa informasi itu tak benar," ujar Ana yang sudah lima tahun terakhir tinggal di Surabaya ini.
"Kami juga mendapati kasus di mana informasi yang tertera sudah benar, namun ketika dilakukan DNA tes, tidak cocok. Kami menduga bahwa bayi itu ditukar atau informasi yang diberikan tidak benar," imbuhnya kemudian.
Kepada BBC News Indonesia, Ana yang mengaku sejak usia 2,5 tahun diadopsi oleh pasangan Belanda, mengungkapkan bahwa dia berasal dari panti asuhan yang sama dengan Widya.
Namun nasibnya sedikit mujur karena identitas orang tuanya tertera dengan jelas di surat adopsinya, sehingga memudahkannya mencari sang ibu.
"Saya berhasil menemukannya ketika saya berusia 18 tahun," katanya.
Menurut Yayasan Mijn Root, pada rentang waktu antara 1978-1983 ada sekitar 3.000 anak Indonesia diadopsi ke luar negeri, banyak anak yang diadopsi secara tak resmi.
Pemerintah Indonesia telah menghentikan adopsi anak Indonesia ke luar negeri sejak 1983.
Sementara, pada 2019, pemerintah Belanda melancarkan pengusutan keterlibatan pejabat pemerintah dalam sejumlah adopsi anak secara ilegal selama tiga dekade dari berbagai negara, termasuk Indonesia.