Bintang Emon Diteror Buzzer, Demokrasi Ambyar
- bbc
Serangan dan teror siber terhadap komika Bintang Emon disebut sebagai `fitnah` dan `mengekang kebebasan berpendapat. Namun, pemerintah memastikan menjamin kebebasan berpendapat sesuai konstitusi.
Komika Bintang Emon mendapat serangan dan teror secara virtual dari buzzer kepadanya dan anggota keluarganya setelah merespons proses peradilan kasus penyerangan air keras yang diterima penyidik senior KPK Novel Baswedan.
Oleh warganet, apa yang dilakukan para buzzer terhadap Bintang Emon merupakan `fitnah` dan `mengekang kebebasan berpendapat`.
Komika Sakdiyah Ma`ruf mengaku khawatir apa yang terjadi pada Bintang Emon akan mengancam kebebasan berekspresi dalam berkarya.
Alasannya, peran buzzer yang kian "kentara" dan "sistematis" dalam setiap percakapan di media sosial menciptakan diskusi yang tidak sehat dan justru membungkam suara-suara yang kritis, katanya.
"Apapun persoalannya kemudian ada upaya yang menurut saya sistematis untuk pembungkaman sehingga diskusi di media sosial tidak lagi menjadi diskusi publik yang sehat dan kritis, tetapi suara-suara kritis kemudian dilawan dengan buzzer," ujar Sakdiyah kepada BBC News Indonesia, Senin (15/06).
- Kontroversi komika Joshua Suherman dan Ge Pamungkas: Antara `satire` dan `menista agama`
- Apakah ada program mata-mata di dalam telepon pintar Anda?
- Mengapa ada `perburuan` medsos terkait Rizieq Shihab?
"Ini adalah momentum kita bersama-sama sekali lagi, setelah berulang-ulang, berbicara bagaimana kita memperjuangkan kebebasan berekspresi demi tegaknya demokrasi di negara ini," lanjutnya.
Sementara pihak Istana membantah ada upaya membungkam kritik terhadap pemerintah dan menegaskan bahwa pemerintah menjamin kebebasan berpendapat sesuai dengan konstitusi.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian mengimbau kepada pihak yang dirugikan oleh buzzer untuk menempuh jalur hukum.
"Pemerintah menjamin kebebasan berpendapat itu bisa dilakukan oleh semua warga negara tanpa terkecuali. Bilamana ada oknum, baik itu pemerintah maupun nonpemerintah yang membelenggu, merepresi, mengekang kebebasan berpendapat, pemerintah mendorong agar menempuh jalur hukum," ujar Donny.
Serangan dan teror di dunia maya
Seperti diberitakan, komika Bintang Emon menjadi perbincangan di dunia maya setelah mengunggah video merespons tuntutan jaksa dalam kasus Novel Baswedan di akun Instagram dan Twitternya, akhir pekan lalu.
Melalui video berdurasi satu menit 42 detik itu, Bintang mengkritik tuntutan hukuman satu tahun penjara bagi penyerang Novel Baswedan.
Dalam video itu, Bintang juga mengolok-olok tuntutan jaksa penuntut bahwa terdakwa dalam kasus ini - Ronny Bugis dan Rahmat Kadir - `secara tidak sengaja` melemparkan asam sulfat ke wajah Novel Baswedan pada April 2017.
https://www.instagram.com/tv/CBVLwMhl6Gg/?utm_source=ig_web_copy_link
Hingga Senin (15/06) sore, ada lebih dari 254.000 cuitan yang membahas Bintang Emon. Sebagian besar dari mereka mengomentari serangan dari buzzer yang ditujukan kepada Bintang Emon.
Berbagai akun anonim menggunggah cuitan di platform media itu, sebagian besar dengan kalimat yang sama persis, menuding Bintang Emon sebagai pengguna narkotika jenis sabu.
Tak lama sebelum mengunci akun Twitternya, Bintang juga mencuit bahwa teror juga dikirim melalui surat elektronik, tak hanya kepadanya, namun juga akun kakak dan managernya.
Warganet mengecam tindakan buzzer yang dianggap menyampaikan berita bohong dan menyebut apa yang dialami oleh Bintang Emon sebagai `fitnah`, seperti diungkapkan oleh rekan komika Bintang, Pandji Pragiwaksono dan pengamat digital marketing Abah Raditya.
https://twitter.com/pandji/status/1272323324182478851?s=20
https://twitter.com/Abaaah/status/1272390367325777920?s=20
Tak sedikit warganet yang menyebut serangan yang dilakukan para buzzer `merampas` kebebasan berpendapat siapapun yang melakukan kritik terhadap pemerintah.
https://twitter.com/megajwr/status/1272340021836562432?s=20
https://twitter.com/FiersaBesari/status/1272329716335165441?s=20
Komika Sakdiyah Ma`ruf turut berkomentar tentang apa yang terjadi pada Bintang, dengan menyebut, "Komedi adalah alat perlawanan yang efektif karena dapat mengungkap kebobrokan kekuasaan. Dan apabila karenanya ia dicekal, disensor, dibungkam, maka makin benderanglah kebobrokan kekuasaan itu".
https://twitter.com/sakdiyahmaruf/status/1272354155835781121?s=20
Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Sakdiyah lebih lanjut mengungkapkan "pada dasarnya kondisi masyarakat yang sedang memperjuangan demokrasi adalah lahan subur untuk komedi".
Dia mencontohkan, grup lawak legendaris Warkop DKI sering berbicara tentang `tertawalah sebelum tertawa itu dilarang` sebagai upaya mereka untuk menyuarakan pesan-pesan politis mereka pada saat itu.
"Warkop DKI membuat film dengan komedi yang slapstick dan kadang menampilkan perempuan berbikini itu agar mereka lulus sensor sehingga mereka bisa mempertahankan kalimat yang menurut saya paling subversif di zamannya," jelasnya.
"Bagi saya itu adalah kalimat perlawanan yang kuat pada zamannya dan terbukti lagi pada zaman ini," imbuh Sakdiyah kemudian.
Meski mengaku belum pernah mengalami serangan yang sistematis dari para buzzer, Sakdiyah mengaku was-was apa yang terjadi pada Bintang Emon akan terjadi juga pada dirinya dan komika-komika lain yang sering menggunakan komedi atau satir ketika mengkritik pemerintah.
"Kita memang takut ada banyak hal yang lebih penting dari ketakutan itu sendiri. Bagi saya, ketika saya berkarya apa yang sampaikan ke publik yang pertama dan utama adalah sesuatu yang bisa dipertanggungjawabkan dan tidak mengada-ada," tegasnya.
Dia kemudian menjelaskan apa yang dialami Bintang Emon adalah salah satu dari sekian banyak serangan dan teror yang terjadi sebelumnya kepada pihak yang bersuara kritis.
Dia mencontohkan, peneliti sekaligus pegiat keterbukaan informasi ,Ravio Patra juga mengalami serangan sistematis, yang menurutnya dilakukan oleh pihak yang merepresentasi `kekuasaan`.
"Saya tidak ingin berkomentar apakah yang melakukan fitnah ini pihak A, B, atau C. Yang jelas, dari pihak manapun dia, dia adalah representasi power, bisa pemerintah, bisa nonpemerintah. Banyak komika yang ditekan oleh ormas, yang itu merepresentasi power," jelas Sakdiyah.
Pakar teknologi informasi dari Digital Forensic Indonesia, Ruby Alamsyah mengatakan perlu analisa lebih lanjut siapa dibalik serangan dan teror terhadap Bintang Emon, sebab bisa saja teror itu dilakukan oleh suatu kelompok yang terorganisir, atau hanya oleh beberapa individu saja.
Dia mengatakan kehadiran buzzer sudah tak asing lagi di dunia maya, dan kehadiran mereka disebutnya semakin terlihat pada masa pemilihan presiden tahun lalu.
Buzzer adalah sebuah frasa yang berarti lebah yang mendengung. Kehadiran mereka di dunia maya adalah untuk mengamplifikasi dan menyebarkan konten dan narasi tergantung pesanan pihak yang menggunakan jasanya.
`Pemerintah tak ada sangkut paut`
BBC News Indonesia telah mencoba menghubungi Bintang Emon, namun belum mendapat tanggapan.
Sementara, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Donny Gahral Adian memastikan pemerintah tidak ada sangkut paut dengan buzzer yang menyerang akun Bintang Emon, seraya menambahkan apa yang disampaikan oleh Bintang Emon adalah kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi.
"Artinya pemerintah menghormati kebebasan berpendapat, menghormati hak berpendapat, tidak mengekang atau mengurangi, bahkan membelenggu," kata dia.
Donny melanjutkan buzzer tersebut bekerja secara independen dan bergerak sendiri tanpa ada komando dan instruksi. Sehingga, menurutnya, tidak bisa lantas pemerintah disangkutpautkan.
"Apabila ada yang dirasa berupa fitnah, pencemaran nama baik, ya silakan diadukan ke polisi dengan prosedur hukum yang ada," kata dia.
Akan tetapi, hingga kini belum ada regulasi yang mengatur tentang buzzer.
Donny mengatakan saat ini pemerintah sedang melakukan kajian, namun mengaku belum bisa memberi penjelasan lebih lanjut karena menurutnya "masih terlalu dini".
"Karena pekerjaan pemerintah saat ini banyak ya terkait dengan Covid-19 dan sebagainya, tapi yang jelas masih dalam taraf perbincangan, belum sampai suatu yang lebih final," ujarnya.
Ruby Alamsyah dari Digital Forensic Indonesia mengakui meski belum ada aturan yang spesifik mengatur tentang buzzer, namun konten yang mereka unggah di dunia maya bisa dikenai UU ITE.
"Kita akan merujuk ke konten, apakah konten mereka mengandung beberapa hal, teror kah, fitnah kah, SARA kah. Ketika hal tadi ada di UU ITE. Jadi biasanya undang-undang itulah yang digunakan oleh penegak hukum dan pelapor," kata Ruby.
Dia mencontohkan, penerapan UU ITE ini cukup manjur membongkar sindikat Saracen yang diduga aktif menyebarkan berita bohong bernuansa SARA di media sosial.
Bagaimana dengan buzzer yang menggunakan akun anonim?
Anonimitas para buzzer tersebut, kata Ruby, juga tak menjadi soal. Sebab jika pihak berwenang benar-benar serius membasmi buzzer yang melanggar hukum ini, mereka bisa berkoordinasi dengan platform media sosial seperti Twitter, Facebook dan Google, terkait untuk mengungkap siapa dibalik akun anonim itu.
"Anonimus kan hanya tampilan secara logical, tapi tampilan secara riilnya, mereka terkoneksi menggunakan internet, terkoneksi pakai IP address. Walaupun bisa tersembunyi dengan proxyn dan lain-lain, nggak sedikit kasus terungkap walaupun berlindung dibalik proxy ataupun VPN," terang Ruby.
"Kalau memang mau diungkap, mereka sudah punya akses. Itu sudah ada perjanjian dengan OTT seperti Twitter, Google dan penegak hukum Indonesia atau pemerintah Indonesia akan diberikan akses bilamana diminta secara proper dan hukum yang sesuai," jelasnya kemudian.
Lebih jauh, Ruby mengatakan ketimbang membuat aturan yang spesifik mengatur tentang buzzer, dia menyarankan "penegakkan hukum yang optimal" sehingga menimbulkan efek jera.
"Ini kan terkesan nggak banyak kasus yang terungkap atau terselesaikan sehingga pelaku buzzer ini terus kerap berulang melakukan kegiatannya," cetus Ruby