Mengapa Tak Boleh Ada Aplikasi Alkitab Bahasa Minang di Indonesia?

Kitab Suci Injil Berbahasa Minang sejak Rabu (03/06) tidak ditemukan lagi di Playstore menyusul permintaan penghapusan Gubernur Sumatera Barat.
Sumber :
  • abc

Apilkasi Alkitab berbahasa Minang sejak pekan lalu hilang dari "Google Play Store" setelah Gubernur Sumatera Barat menyurati Menteri Komunikasi dan Informasi meminta aplikasi tersebut dihapus dengan alasan adat dan budaya Minangkabau.

Padahal, Lembaga Alkitab Indonesia sudah menerjemahkan Alkitab ke dalam setidaknya 70 bahasa daerah di Indonesia, termasuk bahasa Minang.

Menurut Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno, keberadaan aplikasi Alkitab berbahasa Minang telah meresahkan dan menjadi polemik masyarakat Minangkabau.

Irwan mengatakan adat Minangkabau memiliki falsafah "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah", yang artinya adat dan budaya itu melekat dengan ajaran Islam berdasarkan Al-Quran dan Hadist.

"Ini bukan persoalan intoleran, tapi masalah adat dan budaya Minangkabau," kata Irwan kepada Kompas.com di kantor Gubernur Sumbar pekan lalu.

Karena alasan inilah Gubernur kemudian mengirimkan surat pada 28 Mei 2020 yang ditujukan ke Menteri Kominfo Jhonny G Plate untuk menghapus aplikasi Alkitab dalam bahasa Minang.

Surat Gubernur Sumatera Barat yang meminta aplikasi Alkitab berbahasa Minang dihapus dari Playstore. (Supplied).

Sudah diterjemahkan sejak tahun 1996

Meskipun Gubernur Sumatera Barat menggunakan alasan ketidaksesuaian budaya dan adat istiadat, kenyataannya Alkitab berbahasa Minang secara lengkap sudah diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) sejak dua puluh empat tahun yang lalu.

Lembaga Alkitab Indonesia adalah lembaga independen yang diberi kewenangan untuk menerjemahkan, mencetak, dan menyalurkan Alkitab ke bahasa-bahasa daerah, sesuai SK Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor: DJ.III/KEP/HK.00.5/77/2011.

"Kitab Perjanjian Baru bahasa Minang selesai diterjemahkan pada tahun 1996, sementara Alkitab secara keseluruhan sudah selesai diterjemahkan tahun 2010," kata Kepala Departemen Penerjemahan LAI, Anwar Tjen kepada Hellena Souisa dari ABC News.

Kepala Departemen Penerjemahan Lembaga Alkitab Indonesia, Pdt. Anwar Tjen. (Supplied: Pdt. Anwar Tjen)

Namun, Anwar tidak bisa memastikan apakah Alkitab berbahasa Minang yang diminta dihapus dari "Google Play Store" sama dengan Alkitab berbahasa Minang yang diterjemahkan LAI.

Menurut Anwar, dari sekian banyak aplikasi Alkitab di "Google Play Store", hanya ada 16 aplikasi yang bekerja sama dengan LAI.

Saat LAI mencoba untuk memeriksa apakah terjemahan pada aplikasi tersebut sama dengan versi terjemahan LAI, Anwar sudah tidak menemukannya lagi di "Google Play Store".

Menanggapi permintaan Gubernur Sumatera Barat untuk menghapus aplikasi Alkitab berbahasa Minang, Anwar mengatakan secara umum bahasa bukanlah milik satu agama.

"Tidak ada satu bahasa apapun di dunia ini yang bisa diklaim sebagai milik eksklusif dari komunitas religius tertentu."

"Sebelum iman kita bisa dibahasakan, manusia sudah bisa berkomunikasi," ujar Anwar mengingatkan jika bahasa sudah ada lebih dulu sebelum agama.

Bahkan kata "Alkitab" yang adalah kitab suci bagi umat Kristen, dicontohkan Anwar, berakar dari bahasa Arab.

Sampai saat ini LAI sudah menerjemahkan Kitab Perjanjian Baru ke 108 bahasa daerah, dan Alkitab secara keseluruhan ke 34 bahasa daerah, termasuk bahasa Minang, dan akan terus bertambah.

Selain sedang memperbaharui beberapa terjemahan Alkitab berbahasa daerah seperti Batak Toba dan Batak Simalungun, LAI juga sedang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Pakpak, Maanyan, dan Manggarai.

Budaya Minang tak selalu sejalan dengan Islam

Direktur riset Setara Institute, Halili Hasan, menyesalkan penghapusan aplikasi karena menilai aplikasi Alkitab dengan bahasa Minang merupakan inisiatif yang baik untuk membangun literasi keagamaan lintas iman dalam kerangka keberagaman Indonesia.

Halili menambahkan aplikasi ini harus diapresiasi sebagai upaya membangun pemahaman lintas agama, sehingga psikologi kecurigaan, ketakutan, keterancaman akibat ketidaktahuan tentang identitas yang berbeda dapat dikikis.

"Keberadaan aplikasi Injil berbahasa Minangkabau tidak akan meruntuhkan kuatnya ke-Islaman di tengah-tengah masyarakat Minang," ujar Halili Jumat (05/06) lalu.

Mohammad Iqbal Ahnaf dari Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Supplied: Mohammad Iqbal Ahnaf.

Mohammad Iqbal Ahnaf dari "Center for Religious and Cross-cultural Studies" di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menambahkan beberapa tahun belakangan lembaga adat Minang mengalami pergeseran dengan masuknya aktor-aktor politik yang mendefinisikan "Keminangkabauan" dalam perspektif kepentingan politik yang berasal dari kelompok "Islam garis kanan."

"Identifikasi Islam yang eksklusif dari kelompok ini sebenarnya mengesampingkan diskursus keislaman di Minang yang sudah ada sejak lama dan berbeda dengan wajahnya saat ini," kata Iqbal.

Iqbal juga mempertanyakan soal adat budaya Minang yang selama ini diterima sebagai budaya yang identik dengan Islam, padahal ada beberapa hal yang juga tidak sejalan.

"Misalnya soal warisan dan hak waris. Sekarang tokoh-tokoh Islam di sana menyerang budaya Minang tersebut."

"Jadi kalau begitu, [adat dan budaya] Minangkabau itu belum tentu Islam atau bagaimana?" tanya Iqbal.

"Tidak ada pelanggaran hukum"

Selain mempertanyakan dasar permintaan Gubernur Sumbar yang merujuk pada adat dan budaya Minangkabau, Iqbal juga mengingatkan keberadaan Alkitab berbahasa Minang tersebut sama sekali tidak melanggar hukum.

Dasar hukum ini juga disoroti akademisi dari Universitas Kristen Duta Wacana dengan fokus studi "Inter-religious Studies, Religion Online", Leonard Chrysostomos Efapras.

"Kemenkominfo kok responsif banget, langsung men-take down tanpa prosedur hukum?"

Leonard menambahkan pemerintah bisa menggunakan perangkat hukum seperti Undang-undang ITE dan KUHP, meskipun kedua hukum tersebut cukup bermasalah.

"Tapi Undang-undang itu pun dilewatin. Undang-undang yang bermasalah itu aja dilewatin, enggak dipake. Jadi ini preseden yang buruk," tutur Leonard.

Akademisi Universitas Kristen Duta Wacana, Leonard Chrysostomos Efapras. (Supplied: Leonard Chrysostomos Efapras).

Lebih lanjut Leonard menilai Gubernur Sumatera Barat yang sebelumnya hanya menggunakan ruang politik, kini menggunakan media digital sebagai ruang tarung baru simbolik.

"Playstore itu kan digital marketplace. Itu adalah ruang sosial yang berbeda dengan ruang sosial yang diklaim sebagai bertolak belakang dengan adat dan budaya masyarakat Minangkabau," ujar Leonard.

"Adat Basandi Syarak itu berada bukan di ruang digital itu, intinya di ruang sosial yang sesungguhnya, melalui perjumpaan dengan mahluk sosial."

Selain itu, Leonard mengatakan dasar yang dipakai Gubernur Sumbar untuk menghapus aplikasi Alkitab berbahasa Minang adalah reduksi dari kearifan lokal.

Kepada ABC Indonesia, Leonard menjelaskan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah "local wisdom", sebuah nilai dan proses agregasi praktik sosial dan budaya yang dilakukan berabad-abad lamanya.

"Tapi itu kemudian disederhanakan menjadi politik identitas. Jadi, Adat Basandi Syarak ini yang mestinya gerbang menuju kekayaan masyarakat Minangkabau, sekarang cuma jadi pagar."

Berdampak buruk bagi toleransi umat beragama

Hilangnya aplikasi Alkitab berbahasa Minang di Playstore disesalkan oleh Halili.

"Mestinya Menkominfo menolak permintaan Gubernur Irwan agar Dirjen Aplikasi Informatika menghapus aplikasi tersebut," kata Halili.

Leonard juga menyayangkan tidak adanya ruang dialog sebelum Gubernur Sumbar menyurati Menkominfo.

"Sebetulnya pihak pertama yang bisa ditanya dan diajak dialog adalah Litbang Kemenag yang punya akses ke lembaga agama manapun."

"Tapi ini kan tidak. Hanya ngomong sendiri, beredar di media sosial, dan kemudian menimbulkan reaksi yang besar," tutur Leonard.

Meskipun Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mengatakan permohonan penghapusan tersebut bukanlah karena intoleransi, dalam pandangan Setara Institute, permintaan yang diikuti oleh penghapusan ini bisa menjadi preseden buruk.

Halili khawatir kasus ini bisa dipakai oleh kelompok yang tidak menghargai keberagaman untuk menolak identitas agama yang berbeda.

Meskipun Iqbal masih optimistis masyarakat Indonesia sudah semakin kritis dalam menyikapi kasus-kasus seperti ini, ia juga berbagi kehawatiran yang sama karena menurutnya kasus-kasus ini akan terus muncul.

"Kita berharap pada negara yang benar-benar berpatokan pada hukum yang melindungi kebebasan beragama, dan PR jangka panjangnya adalah untuk pemerintah agar memberi afirmasi atau penguatan terhadap basis-basis tafsir atas budaya yang inklusif," pungkas Iqbal.