Dituduh Untung Besar Penanganan Corona, IDI Makassar: Itu Fitnah Keji
VIVA – Akhir-akhir di media sosial di Kota Makassar, marak postingan tuduhan terhadap tenaga medis yang dianggap memperoleh keuntungan besar dalam penanganan pasien virus corona.
Bahkan, sebuah media harian cetak lokal di Makassar menjadikannya headline di sampul depan.
Polemik itu muncul menyusul terjadinya beberapa kasus yang viral lewat video di medsos, seperti keluarga pasien asal Kabupaten Bulukumba, yang meronta karena tidak ingin anggota keluarga mereka dikuburkan dengan protokol Covid-19.
Malam kemarin, lagi-lagi keluarga pasien nyaris mengamuk di Rumah Sakit Labuang Baji, juga tak ingin anggota keluarganya dikebumikan secara Covid-19, dan mengambil paksa jenazah.
Humas Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Makassar, dr Wachyudi Muchsin, menganggap tudingan itu adalah fitnah keji.
"Mewakili dokter, pertama ingin mengucapkan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya kepada seluruh masyarakat yang keluarganya meninggal terpapar virus corona, baik itu dalam status PDP maupun positif Covid-19. Baik itu masyarakat biasa, maupun dokter serta tenaga medis yang gugur," ujarnya, Sabtu, 6 Juni 2020.
Yudi menyebut kelemahan di Indonesia adalah masih lambannya proses diagnostik pada kasus Covid-19. Kemampuan Laboratorium masih sangat terbatas, sehingga antrean sampel yang sangat banyak membutuhkan waktu kisaran 1-2 pekan hingga sampel atau diagnosanya bisa diketahui.
Menurutnya, hal inilah yang menjadi persoalan utama dan ini mesti segera ada solusinya dalam menghadapi kondisi yang penuh keterbatasan.
Yudi menjelaskan, untuk kasus yang masih berstatus PDP dan meninggal dunia, pemerintah melalui tim Gugus Covid mengambil pilihan yang dianggap lebih aman untuk pemakamannya, yakni secara prosedur Covid-19, dengan tujuan dapat menekan laju penyebaran penyakit yang sangat cepat.
Kendati demikian, kata dia, di sini terkadang timbul persoalan banyak, karena hasil tes swab belum keluar, namun jenazah sudah dikubur dengan prosedur Covid-19.
"Kejadian ini akan menjadi warning bagi pemerintah. Jika hal seperti ini terus berlanjut akan menjadi persoalan yang baru. Munculnya stigma bahwa rumah sakit dan tenaga medis menjadikan kasus-kasus seperti itu sebagai pemanfaatan anggaran, karena setiap yang dicap sebagai pasien Covid-19, maka rumah sakit akan mendapat keuntungan besar untuk setiap pasien Covid dari pemerintah pusat. Itu semua tidak benar dan fitnah. Pertanyaannya; negara dapat uang dari mana ratusan juta dikalikan semua pasien Covid-19 se-Indonesia?" terang Yudi.
Olehnya, Ia meminta masyarakat jangan mudah terprovokasi dengan fitnah, karena informasi hoax seperti itu akan berimbas ke dokter serta paramedis.
"Kita semua tentu tidak ada yang menghendaki di posisi itu. Selain duka yang dalam dirasakan, juga kesedihan akibat tak bisa memakamkan keluarga secara syariat agama. Serta beban stigma dari sebagian masyarakat yang masih latah memahami kejadian seperti ini adalah aib . Padahal ini bukanlah aib, melainkan musibah kita bersama," jelas Yudi.
Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar itu juga menegaskan bahwa proses pemakaman jenazah bukan dokter yang mengurus, namun proses pemakaman ditetapkan pemerintah melalui tim Gugus Percepatan Penanganan Covid -19.