Belajar dari Rumah: Masih Ada Kesenjangan Pendidikan di Indonesia?

Sumber :

Belajar dari rumah telah menjadi bagian dari "new normal" warga Indonesia dalam menjalani kehidupan di tengah pandemi virus corona. Namun kendala infrastruktur dan teknologi membuat adanya kesenjangan pendidikan antar daerah.

Sherly Lewerissa, warga di Ambon sudah hampir tiga bulan punya tanggung jawab tambahan di rumah.

Selain harus mengajar dengan metode online sebagai dosen di Universitas Pattimura, ia juga harus mendampingi kedua anaknya belajar dari rumah.

Putera sulungnya, Hillary de Queoljoe sekarang duduk di kelas 7 SMP Negeri 6, sementara adik Hillary, Marchella de Qoeljoe adalah murid kelas 1 Sekolah Citra Kasih, di Ambon, Maluku.

Sherly (kiri) merasakan perbedaan metode belajar di rumah yang dijalani anaknya, Marchella, dan Hillary. (Supplied: Sherly Lewerissa.)

Sherly mengaku ada perbedaan besar dalam aktivitas keduanya saat berlajar di rumah karena mereka berada di sekolah yang berbeda.

"Sekolah negeri tidak sama dengan sekolah swasta. Sekolah yang swasta lebih terorganisasi dan rapi," kata Sherly kepada Hellena Souisa dari ABC News.

"Adik setiap hari ada tugas, nanti hasilnya dikirim melalui Gmail. Tapi Kakak tugasnya [dari sekolah] tidak menentu, dalam satu minggu mungkin hanya ada 2 atau 3 tugas," tambahnya.

Sekitar 4.000 kilometer dari kota Ambon, Vincent, seorang murid kelas 5 Sekolah Dasar di Desa Semudun, Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat mengaku lebih suka belajar di sekolah.

"Saya lebih suka belajar [di sekolah] seperti biasa karena di rumah bosan tidak ada teman," ujarnya kepada Natasya Salim.

Sejak akhir Maret lalu, Vincent dan adiknya, Wilson, yang duduk di kelas 3, belajar di rumah dengan menyaksikan tayangan TVRI, sesuai instruksi dari sekolah mereka yaitu SD Negeri 19 Semudun.

Wilson, Siau Tan, dan Vincent di Kalimantan Barat. Siau Tan mengaku khawatir pendidikan anaknya akan tertinggal karena pandemi. (Supplied: Siau Tan).

Melalui program TVRI bertajuk "Belajar Dari Rumah", yang diluncurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), murid-murid seperti Vincent dan Wilson bisa mendengarkan penjelasan tentang suatu topik.

"Dari awal tidak ada [belajar online], soalnya guru anak saya yang besar, yang kelas 5 SD, tidak ada hape kayak kita," kata Siau Tan, ibu dari Vincent dan Wilson.

Bukti "ada kesenjangan pendidikan"

Itulah yang dialami sebagian anak-anak Indonesia, khususnya yang berada di luar Pulau Jawa, saat sedang sekolah dari rumah di tengah pandemi virus corona.

Di saat ada anak-anak lain, khususnya di kota-kota besar, yang tetap belajar lewat gawai canggih dan internet, banyak pula yang tak memilikinya.

Seperti yang diakui oleh Siti Maulia Rizki, seorang guru dari Madrasah Tsanawiah Negeri di Kabupaten Aceh Besar.

Siti Maulia Rizki, guru di madrasah negeri yang mengatakan tak semua muridnya memiliki ponsel untuk belajar. (Foto: Koleksi pribadi)

Sebagai seorang wali kelas, ia menceritakan jika hanya lebih dari separuh murid-muridnya yang memiliki ponsel, tapi masalahnya tidak hanya sampai di situ.

"Belum lagi rata-rata anak-anak berasal dari keluarga ekonomi ke bawah, jadi meski punya hape tapi tidak punya paket internet," kata Siti kepada Erwin Renaldi.

Madrasah tersebut saat ini hanya bisa mengandalkan platform WhatsApp karena dianggap paling sederhana dan tidak banyak membutuhkan data internet.

"Kadang-kadang hari ini kita memberikan tugas untuk anak-anak, baru dibalas besok atau bahkan minggu depan setelah punya paket internet," tambahnya.

"Ketika datang musibah seperti pandemi virus corona ini kita bisa mengetahui ada sedikit kesenjangan dalam pendidikan," ujar Siti.

Seperti juga yang dikatakan oleh Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, bahwa pendidikan yang dilakukan jarak jauh akibat pandemi COVID-19 telah membuka mata soal kondisi pendidikan di Indonesia.

Ia juga menganggap layanan pendidikan di Indonesia belum menjadi perhatian utama dalam situasi darurat seperti saat ini.

"Mengabaikan sektor pendidikan di kala bencana adalah kelalaian fatal yang mengundang bencana berikutnya yang lebih destruktif," kata Ubaid dalam keterangan pers Memperingati Hari Pendidikan Indonesia, awal Mei lalu.

Tantangan meski ada teknologi Menurut salah seorang guru di Ambon, Helga Mediya Soplantila, banyak tantangan dan ruang untuk perbaikan dalam proses mengajar saat pandemi. (Supplied: Helga Mediya Soplantila).

Seorang guru SD dan SMP di Yayasan Kalam Kudus, Ambon, Maluku, Helga Mediya Soplantila, sudah dua puluh tahun berprofesi sebagai guru.

Menurutnya, metode tatap muka membuat siswa lebih fokus dan mudah memahami pelajarannya.

Karenanya, proses belajar-mengajar yang dijalankannya selama tiga bulan belakangan tidak maksimal karena hanya bisa memberikan dua mata pelajaran per hari.

Meski pelajaran disampaikan dengan bantuan teknologi, kadang ada masalah teknis seperti gangguan sinyal, atau gangguan lain seperti situasi rumah yang tidak ideal untuk mencerna pelajaran.

Namun ia merasa tantangan terbesarnya saat ini adalah bagaimana menjaga semangat murid-muridnya dalam kondisi yang tidak ideal ini.

"Materinya memang sudah dipersiapkan sesuai dengan Perangkat Pembelajaran untuk satu semester, tapi bagaimana cara menyampaikannya dalam tiap virtual class itu semua tergantung kreativitas guru."

Ruang memperbaiki kompetensi guru Sejumlah pengamat pendidikan menilai perbedaan kegiatan belajar mengajar di tengah pandemi bukan sekedar masalah sekolah negeri dan swasta. (Flickr, CC, Fadla)

Sejumlah pengamat dan guru mengakui jika persoalan pendidikan di tengah pandemi COVID-19 bukan pada kemampuan guru yang tidak menguasai materi pelajaran, namun cara menyampaikannya secara daring.

"Guru-guru kita kompetensinya rendah terutama dalam penguasaan teknologi," ujar Indra Charismiadji, pengamat dan praktisi pendidikan dari "Center for Education Regulations and Development Analysis" (CERDAS) kepada JPNN, awal Mei lalu.(01/05).

"Hanya 2,5 persen yang tidak gagap teknologi. Selebihnya gaptek alias gagap teknologi," tambah Indra.

Begitu pula kondisi di Aceh, seperti yang diceritakan oleh Siti, tidak semua guru memiliki kemampuan sama dalam beradaptasi dengan penggunaan teknologi.

Sementara di Ambon, Helga menyarankan perlu adanya pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi informasi sehingga kemampuan guru menjadi lebih merata.

Ubaid dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia berharap pandemi virus corona saat ini dapat mendorong pemerintah untuk meningkatkan kompetensi guru.

"Menjadi momentum untuk meng-upgrade kompetensi para guru untuk dapat melakukan proses-proses pembelajaran secara fleksibel, kreatif dan inovatif," kata Ubaid.

Tantangan bagi orangtua Guru-guru Hillary menggunakan media Lembar Kerja Siswa dalam proses belajar di rumah selama pandemi. (Supplied: Sherly Lewerissa).

Saat mendampingi kedua anaknya, Sherly menemukan perbedaan antara penggunaan teknologi internet di sekolah swasta dan negeri.

Hillary yang sekolah di SMP negeri tidak pernah mengalami proses belajar mengajar lewat daring, hanya menggunakan buku pelajaran dan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang diinstruksikan guru melalui aplikasi WhatsApp.

Sementara bagi adiknya, Marchella, setidaknya ada tiga pertemuan dalam sepekan lewat aplikasi Zoom, selain seratus persen materinya tersedia online.

Salah satu tugas yang diterima Marchella untuk pelajaran pendidikan kesehatan adalah senam mengikuti gerakan sesuai link yang disediakan.

Aktivitas ini kemudian direkam dan videonya dikirimkan kepada guru sebagai bukti tugas tersebut telah dikerjakan.

Meski mengaku tugas-tugas dari sekolah swasta lebih interaktif dan menarik, sebagai orangtua, Sherly justru merasa lebih mengalami kesulitan dalam aplikasinya.

"Semua aktivitas tersebut harus didampingi, belum lagi saya juga harus menguasai teknologi, dan bahasa pengantar di sekolahnya adalah Bahasa Inggris," tutur Sherly.

Karena masih harus bekerja sebagai dosen yang mengajar dari rumah, Sherly mengaku perlu berupaya mengatur waktu agar tanggung jawabnya dan tugas anak-anaknya terselesaikan dengan baik.

"Saya hanya takut anak-anak lama-lama bisa mulai bosan, karena memang [belajar di rumah] berbeda dengan belajar di sekolah," katanya.

"Tak menuntut murid"

Di Kalimantan Barat, Vincent dan Wilson yang duduk di sekolah dasar belajar dari rumah lewat tayangan program TVRI, yang juga menampilkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa mereka jawab.

Tapi menurut ibu mereka, jawaban tidak dikumpulkan kepada guru. Belum lagi jika mereka tidak mau menonton, sehingga kegiatan belajar di rumah tidak berlangsung lama.

"Rata-rata anaknya tidak mau. Namanya nonton TV, anak-anak maunya nonton film. Bukan pelajaran."

Meski memahami keterbatasan aktivitas akibat pandemi COVID-19, sebagai orangtua, Siau Tan merasa khawatir anak-anaknya akan tertinggal jauh dari siswa di sekolah swasta.

Namun banyak guru yang sudah menyadari belajar dari rumah sebagai sebuah "new normal" yang harus dilakukan, setidaknya selama beberapa bulan ke depan.

"Kita tidak terlalu menuntut siswa, tugas yang diberikan lebih sederhana, karena kita tahu keadaan mereka," ujar Siti, guru madrasah di Aceh yang sudah mengajar dari rumah sejak pertengahan Maret.

Menurutnya ada hal lain yang masih bisa dipelajari saat ini oleh anak-anak di rumah, jika materi pembelajaran tidak dapat efektif dilakukan.

"Salah satunya adalah informasi seputar virus corona dan yang paling penting adalah penguatan karakter," tambahnya.