Budaya Patriarki dan Beban Ganda Bayangi Pemimpin Perempuan
Sejak Republik Indonesia berdiri, tak banyak perempuan yang tercatat menjabat posisi tinggi di tiga cabang pemerintahan - eksekutif, legislatif dan yudikatif. Masalah struktur dan kultur masih mendominasi perdebatan tentang kepemimpinan perempuan.
Sebuah artikel media asal Amerika Serikat yang terbit baru-baru ini mengulas tujuh negara yang dianggap menunjukkan respons terbaik dalam penanganan pandemi Covid-19: Jerman, Taiwan, Selandia Baru, Denmark, Finlandia, Islandia dan Norwegia.
Kesamaan yang dimiliki ketujuh negara tersebut: dipimpin oleh perempuan.
Ketujuh negara tersebut melaporkan angka kematian karena virus corona, virus penyebab Covid-19, yang relatif rendah. Selandia Baru, misalnya, melaporkan 12 kematian dari sekitar 1.000 kasus positif Covid-19 per Minggu (19/4).
Artikel tersebut mencerminkan perdebatan yang masih berlangsung mengenai kepemimpinan perempuan dan kesetaraan gender dalam pemerintahan dan penyusunan kebijakan.
Pascareformasi, kesempatan lebih terbuka bagi perempuan untuk mengekspresikan pandangan politik dan menjalankan peran di ruang publik. Namun sejarah dan data menunjukkan, keterwakilan perempuan di posisi kunci di tiga cabang pemerintahan – eksekutif, legislatif, dan yudikatif – masih relatif rendah meski terus meningkat.
Proses demokratisasi yang ditandai dengan revisi maupun pembuatan undang-undang yang menjamin hak politik warga; pembentukan institusi-institusi yang bertujuan menjamin hak kelompok rentan, termasuk perempuan; hingga pemilihan umum langsung tidak lantas memuluskan jalan perempuan ke posisi atas.
Perlu modal besar
Di ranah eksekutif, Indonesia hanya pernah dipimpin oleh satu presiden perempuan; Megawati Sukarnoputri, putri presiden pertama RI Sukarno, yang otomatis menjadi presiden setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sepakat untuk melengserkan Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, pada 2001.
Sepanjang pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung sejak 2004, selain Megawati, pemilih belum pernah ditawari kandidat perempuan lain sebagai calon presiden maupun wakil presiden.
"[Ini masalah] struktur dan kultur. Kultur merujuk pada hal-hal yang sifatnya menjadi kesepakatan kolektif di masyarakat - meski bisa berubah-ubah dan berbeda di setiap daerah. Secara politik, ekonomi politik, masih sangat sulit [bagi perempuan] di Indonesia lewat mekanisme pemilihan langsung bisa terpilih," kata Anna Margret, dosen ilmu politik di Universitas Indonesia yang meneliti isu gender pada Sabtu (18/4).
Kurniawati Hastuti Dewi, peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berpendapat serupa.
Menurutnya, ongkos politik yang mahal membuat kesempatan untuk maju dalam pemilihan dan menang amat bergantung pada akses pada modal sosial dan finansial, yang masih dikuasai oleh elit politik dan ekonomi.
Hal itu membuat kebanyakan perempuan yang berhasil dalam kontestasi elektoral adalah mereka yang memiliki "ikatan kekerabatan" dengan lingkaran elit tersebut.
Kurniawati juga menyoroti aspek budaya dan agama dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim.
"Dokumen-dokumen Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menunjukkan bahwa mereka sudah menerima argumen tentang perempuan sebagai pemimpin - ini pandangan Islam mainstream. Konteks di atas kertas, tidak ada masalah. Tapi kalangan masyarakat umum baik Muslim maupun [yang lain] belum sepenuhnya menerima," katanya.
"Seperti ada gap perspektif religius formal dengan perilaku politik di kalangan pemilih. Poin berikutnya, ada kontestasi wacana antara Islam konservatif dan moderat."
Kurniawati juga menyoroti pola rekrutmen partai politik yang belum sepenuhnya sadar gender.
"Ketika pemilu, orang tidak peduli. Dalam pencalonan kepala daerah [misalnya], parpol tidak punya kebijakan afirmasi. Mereka hanya peduli apakah [bakal calon] punya modal individu, popularitas [..] hampir sama dengan presiden," katanya.
`Dorong keterwakilan substantif`
Tren keterwakilan perempuan di kabinet menunjukkan ekspansi yang signifikan. Secara statistik, jumlah perempuan di kabinet meningkat.
Selain itu, posisi yang diduduki menteri perempuan juga berkembang dari pos-pos tradisional seperti menteri pemberdayaan perempuan atau menteri sosial, merambah ke pos-pos yang lebih strategis dan yang tadinya didominasi oleh pria, termasuk kementerian-kementerian urusan ekonomi dan luar negeri.
Direktur pelaksana Bank Dunia Mari Elka Pangestu pernah menjabat sebagai menteri perdagangan dan menteri pariwisata dan ekonomi kreatif di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sri Mulyani, yang pernah mendapat penghargaan Menteri Keuangan Terbaik di dunia, menjabat di bawah kepemimpinan SBY dan Joko Widodo.
Dipilihnya Retno Marsudi juga menandai didobraknya "atap kaca" di kementerian luar negeri dengan menjadi menteri luar negeri perempuan pertama di Indonesia. Susi Pudjiastuti ditunjuk sebagai menteri kelautan dan perikanan di periode pertama pemerintahan Jokowi, memimpin kementerian yang dianggap "maskulin".
Namun, peningkatan jumlah perempuan di kabinet tidak menjamin proses pembuatan kebijakan atau penyusunan anggaran yang berpihak terhadap perempuan, kata pengamat.
"Perkembangannya bagus: kepemimpinan perempuan di kabinet sudah berjalan di luar stereotipe perempuan yang `hanya` bisa bekerja di bidang feminin. Keterwakilan deskriptif sudah ada. Meski kita harus lihat keterwakilan substantif. Apakah menteri [perempuan] paham soal gender budgeting, women insecurity?" kata Kurniawati dari LIPI.
Anna dari UI juga menekankan bahwa urusan perempuan yang harus dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan tak melulu isu-isu yang secara tradisional menjadi ranah perempuan, seperti kesehatan reproduksi.
"Kepentingan perempuan tidak selalu bersubyek perempuan. Air bersih, pendidikan dan kesehatan berkualitas itu dekat dengan perempuan karena dekat dengan [proses] perawatan yang dibebankan secara eksklusif kepada perempuan oleh masyarakat," katanya.
`Dialog budaya`
Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif juga secara stabil meningkat dari pemilu satu ke pemilu berikutnya.
Ketentuan undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pemilu mewajibkan partai politik untuk mengajukan setidaknya 30 persen calon legislatif (caleg) perempuan dalam daftar nominasi.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mencatat Pemilu 2019 sebagai kontes elektoral yang "paling banyak menghantarkan perempuan menjadi anggota DPR RI."
Dalam periode 2019-2024, ada 120 caleg perempuan berhasil masuk ke Senayan dari total 575 kursi - setara dengan 20 persen dari total kursi, naik dari 17 persen pada Pemilu 2014.
Namun, peningkatan dalam keterwakilan perempuan tersebut tidak semerta-merta memperkuat keterwakilan substantif dalam proses pembahasan rancangan undang-undang (RUU).
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), yang telah diusulkan sejak 2016, masih dibahas di tingkat panitia kerja.
Tak semua perempuan anggota dewan mendukung RUU tersebut dengan berbagai alasan.
"Banyak yang menolak RUU PKS itu perempuan. Bukan hanya dari partai [berbasis Islam], ada juga [perempuan anggota dewan] dari [partai nasionalis] yang menolak. [Pemikiran bahwa perempuan pasti memperjuangkan isu perempuan itu] reduksionis," kata Anna.
Meski demikian, Diah Pitaloka, anggota Komisi VIII DPR yang membidangi agama dan sosial, tetap optimis bahwa keberadaan perempuan di legislatif akan memberi kontribusi positif dalam proses legislasi.
"Banyak perempuan yang lebih merespon isu kekerasan terhadap perempuan - ada sisterhood. Pasal pelecehan susah sekali ditangkap secara substansi oleh teman-teman laki-laki. Ini bukan masalah salah atau benar - sudah terbangun oleh budaya. Tapi ketika ada kesadaran [misalnya] menggoda [seseorang] itu berkorelasi dengan martabatnya, maka terjadi dialog budaya," kata Diah.
Sumbangsih bagi keberagaman perspektif juga ditunjukkan oleh hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2018 yang juga menjadi hakim konstitusi perempuan pertama di Indonesia, Maria Farida Indrati. Maria, yang kala itu menjadi satu-satunya perempuan di antara sembilan orang di panel hakim, beberapa kali memberikan opini berbeda (dissenting opinion), termasuk dalam pembahasan gugatan terhadap pasal-pasal pornografi dan penistaan agama.
Hingga kini, lembaga yudikatif tertinggi di Indonesia—MK, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial—belum pernah dipimpin oleh hakim perempuan.
`Tak hanya soal identitas ketubuhan`
Meski kesadaran untuk mendorong perempuan mengambil peran aktif di ruang publik semakin meningkat, para pemikir isu gender memberi catatan.
"Secara angka kita mau perjuangkan kesetaraan. Kita mau meningkatkan angka bukan dengan buta siapa saja bisa masuk. Saya akan sangat hati-hati untuk tidak menyejajarkan angka dan kualitas [..] ini [juga] soal apakah struktur politiknya berhasil berubah.
"Ini bukan sesuatu yang selesai ketika identitas ketubuhannya perempuan. Cek perempuan itu berasal dari struktur seperti apa dan ia masuk ke struktur seperti apa. Perempuan dengan latar akar rumput pasti akan berbeda meski ia masuk DPR," kata Anna.
Kurniawati meyakini latar belakang seorang perempuan akan menentukan komitmennya terhadap isu-isu yang menjadi permasalahan perempuan.
"Perempuan yang tidak punya kepedulian dan keterlibatan [dalam isu gender] hampir tidak mungkin tiba-tiba menjadi peduli. Kita harus mendorong parpol untuk melibatkan kelompok sipil sejak penjaringan [kandidat] untuk memunculkan semakin banyak kandidat perempuan yang siap berkontestasi," katanya.
Meski kenaikan angka tidak menjamin keterwakilan perspektif, Anna tetap meyakini pentingnya kebijakan afirmasi.
"Studi menunjukkan, jika ada 10 orang dalam suatu forum dan ada kelompok minoritas di dalamnya, kelompok ini hanya berani bersuara jika setidaknya punya tiga orang anggota," kata Anna.
Tantangan dan beban ganda
Meski gerakan mendorong kesetaraan gender di Indonesia semakin meluas, perkembangan ini tidak semata-mata meringankan beban perempuan yang ingin berperan aktif di ruang publik.
Peran domestik yang masih dibebankan pada perempuan dan masih kurangnya dukungan yang terstruktur dan sistematis kerap dianggap sebagai penghalang jalan perempuan ke posisi teratas.
"Peranan para pejabat perempuan dalam memberi inspirasi sangatlah penting. Menjadi pejabat perempuan pasti menimbulkan banyak keraguan dari lingkungan sekitar. Jika [seorang perempuan] mampu menempati posisi yang secara tradisional milik laki-laki, maka ia akan menginspirasi perempuan-perempuan [lainnya]," kata Sri Mulyani.
Perbedaan ekspektasi terhadap pejabat perempuan dan laki-laki juga disebut Anna sebagai tantangan yang tak jarang membuat seorang perempuan yang berpotensi memilih mundur teratur.
"Perempuan tanpa latar kekerabatan itu memiliki krisis kepercayaan diri yang serius. Mereka umumnya tidak percaya diri. Tapi berbeda ketika didukung oleh keluarga dan atasannya - dan hal seperti ini tidak bisa masuk ke UU.
"[Ketika menjabat] perempuan juga akan dievaluasi secara `keji` makanya banyak yang enggan. [Standar yang sama] tidak berlaku bagi [pejabat] laki-laki," kata Anna.
Penyadaran publik akan pentingnya distribusi beban domestik yang adil dianggap dapat menjadi kunci mendorong perempuan untuk menduduki kursi strategis dan memperjuangkan kepentingannya.
"Banyak pihak lupa menyoroti gap antara keinginan dan kepercayaan diri di antara perempuan dan laki-laki. Proses perawatan selama ini dibebankan secara eksklusif pada perempuan. Apakah laki-laki bersedia berbagi?" kata Anna.