Soal Eks ISIS, Gayus Lumbuun Beda Pendapat dengan Mahfud MD
- tvOne
VIVA - Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun menanggapi pernyataan Menteri Koordinator, Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, soal WNI eks ISIS. Menurut Mahfud, pencabutan kewarganegaraan terhadap 689 warga negara Indonesia eks ISIS, tidak perlu melalui pengadilan, cukup oleh keputusan Menteri Hukum dan HAM.
Gayus mengatakan antara permohonan naturalisasi dengan tata cara memperoleh, kehilangan, penghapusan dan memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia karena adanya pelanggaran hukum adalah hal yang sangat berbeda.
Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2006, kewarganegaraan yang hilang akibat pelanggaran hukum harus diselesaikan melalui proses hukum di pengadilan. Tujuannya untuk dipertimbangkan berbagai perbuatan pelanggaran hukumnya seperti bergabung menjadi tentara asing tanpa izin presiden, menjadi anggota kelompok terorisme dan berbagai pelanggaran berat lainnya.
"Maka pertimbangan hukum dan sanksinya harus diputuskan oleh pengadilan," kata Gayus kepada VIVAnews, Selasa, 18 Februari 2020.
Gayus menegaskan pemerintah tidak boleh serta merta memutuskan persoalan tersebut dengan kewenangannya saja melalui suatu tindakan hukum tetapi harus melalui proses hukum, termasuk hukum administrasi di mana pemerintah berkedudukan sebagai bestuur handelingen (pihak yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan dalam menjalankan fungsi pemerintahan).
"Harus diproses pengadilan dengan mempertimbangan keadilan secara lengkap," tegas Gayus.
Gayus melanjutkan proses pengadilan dapat dilakukan olah Jaksa Agung sebagai pengacara negara dalam statusnysa sebagai dominus litis (jaksa penguasa perkara) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kemudian, pemerintah berkewajiban mempersiapkan data yang lengkap sebagaimana maksud pemerintah untuk mencabut (penghapusan atau menghilangkan) kewarganegaraan 600 lebih eks ISIS tersebut.
"Tentu untuk pencabutan kewarganegaraan juga perlu data orang (eks ISIS atau eks WNI itu) yang lengkap termasuk pelanggaran hukumnya," katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Gayus juga menjelaskan bahwa semua keputusan pemerintah adalah bentuk beschikking (keputusan tata usaha negara) kecuali Peraturan Pemerintah kalau diamanatkan oleh pasal di materi muatan UU, atau Peraturan Presiden kalau UU belum mengatur atau tidak cukup mengatur dan demi kelancaran tugas pemerintah baru boleh membuat Perpres vide (lihat) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di pasal 7 dan penjelasan UU tersebut.
Kemudian, PP adalah Peraturan Pemerintah, Perpres adalah Peraturan Presiden yang masing-masing ada syarat pembentukannya/penerbitannya menurut syarat-syarat yang ditentukan UU seperti UU No 12 Tahun 2011 di atas.
Sedangkan Keputusan Perpres maupun peraturan-peraturan lembaga-lembaga lainnya bisa dilakukan uji materi di MK ataupun MA kecuali putusan pengadilan yang tidak bisa diuji tetapi melalui upaya hukum lanjutan seperti ke pengadilan tinggi, kasasi dan PK.
Sebelumnya, Mahfud mengatakan proses hukum untuk mencabut kewarganegaraan pada 689 eks ISIS itu tidak perlu dimaknai melalui pengadilan. Bisa juga melalui proses di pemerintahan.
"Kan ada yang permohonan naturalisasi itu kan keppres (keputusan presiden), kalau pencabutan itu cukup Menkumham tetapi tidak pakai pengadilan. Proses hukum bukan pengadilan saja," kata Mahfud, usai rapat kabinet terbatas, di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa 18 Februari 2020.
Dalam Kepmen (Keputusan Menteri) Menkumham nantinya, akan dicantumkan bahwa mereka, 689 eks ISIS yang sebelumnya adalah WNI, dinyatakan sudah bukan warga negara yang diakui secara hukum oleh negara. Saat ini, semua proses tersebut masih dikerjakan oleh BNPT.
Mahfud menambahkan proses pencabutan kewarganegaraan cukup oleh Menkumham Yasonna H Laoly. "Kalau itu permohonan naturalisasi pakai Keppres tapi kalau pencabutan pakai Kepmen," katanya.