Memprihatinkan, Murid SD Bersekolah di Gedung Bobrok

Murid SD Negeri Kamulyaan, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat tengah belajar Bahasa Sunda, Selasa (04/02). - BBC Indonesia/Raja Eben
Sumber :
  • bbc

Mengapa ruang kelas sekolah dasar di Indonesia banyak yang rusak bahkan roboh padahal anggaran yang dikucurkan mencapai triliunan rupiah?

Setiap tahun hampir selalu ada bangunan sekolah dasar negeri (SDN) di Indonesia yang ambruk.

Di awal tahun 2020, atap ruang kelas sekolah SD di Semarang dan Cibinong roboh, belum lagi kondisi siswa SD yang belajar di ruang kelas yang rusak berat.

Selama tahun 2015 sampai 2019, empat siswa SD meninggal dunia, dan 73 siswa luka-luka.

Pada 2019, ada lebih dari 240 ribu ruang kelas SD yang rusak. Jumlah tersebut tidak berkurang dibanding tahun sebelumnya, tetapi justru bertambah.

Di sisi lain, pemerintah pusat dan daerah telah mengeluarkan triliunan rupiah untuk biaya perbaikan dan pembangunan ruang kelas.

Pemerintah daerah juga mengeluarkan puluhan hingga ratusan miliar lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Tetapi mengapa ruang kelas SD di Indonesia banyak yang rusak bahkan roboh padahal anggaran yang dikucurkan triliunan rupiah?

Hanya 25 km dari kediaman Jokowi

Saya mengunjungi dua sekolah dasar negeri di Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (04/02).

Jarak sekolah itu sekitar 50 kilometer dari Istana Negara, kediaman resmi Presiden Joko Widodo, ketika ia di Jakarta yang merupakan ibukota Indonesia.

Bahkan, sekolah tersebut berjarak sekitar 25 kilometer atau membutuhkan waktu sekitar satu jam dari Istana Kepresidenan Bogor.

Sekolah pertama adalah Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kamulyaan di Kelurahan Putat Nutug, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Dari belakang sekolah ini, bisa terlihat sekolah kedinasan milik pemerintah yang berdiri megah.

Sekolah ini memiliki dua bangunan yang masing-masing terdapat empat kelas dengan total 237 siswa.

Bangunan pertama digunakan untuk murid kelas IV, V, dan VI. Kondisi bangunan terlihat layak dan rapi. Tidak ada atap yang bolong, dan dinding yang retak.

Kontras dengan bangunan kedua yang digunakan untuk murid kelas I, II dan III. Kondisinya rusak berat.

Satu ruang belajar untuk Kelas III B yang terletak di pojok tidak lagi digunakan.

Saat pintu kelas III B dibuka, terlihat tumpukan kursi dan meja belajar yang sudah lapuk dan dipenuhi sarang laba-laba.

Sebagian lantai kelas tidak lagi berwarna putih. Reruntuhan plafon dan genteng dari atap yang bocor berukurang satu meter lebih menutupi lantai.

Beberapa sisi dinding kelas yang dilapisi cat warna hijau luntur, ada juga dinding yang retak, dan terkikis.

Dari dalam kelas, menengok ke atap kelas yang bocor itu, terlihat langit cerah.

"Ada empat ruang kelas yang rusak. Yang pojok tidak dipakai karena khawatir ambruk. Lalu dipaksakan dua ruangan dipakai belajar karena kebutuhan anak. Internit (plafon) sudah jatuh karena lapuk dan tertiup, jadi rusak," kata Kepala Sekolah SD Kamulyaan yang bernama Neja kepada BBC News Indonesia.

Kemudian, beranjak ke kelas sebelahnya, terdapat sekitar 20 murid Kelas II yang sedang belajar Bahasa Sunda.

Kondisi kelas hampir sama dengan kelas yang kosong. Dinding retak-retak, atap bocor namun masih ditutup genteng sehingga masih digunakan untuk kegiatan belajar.

Murid tersebut terlihat bahagia mengikuti proses belajar mengajar. Beberapa murid berlarian maju ke depan papan tulis untuk melihat apa yang ditulis guru.

Foto Jokowi dan Jusuf Kalla terpasang

Papan tulis tidak lagi putih. Beberapa bagian papan tulis sudah mengelupas sehingga tidak bisa lagi digunakan.

Papan tulis ditempel di tembok yang sudah terkelupas sehingga rawan jatuh.

Di atas papan tulis itu terpajang foto Presiden Joko Widodo yang didampingi oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Padahal, wakil presiden saat ini adalah Ma`ruf Amin.

Saya menanyakan siapa wakil presiden Indonesia sekarang, seorang siswi pun berkata Jusuf Kalla.

Di ruang belajar sebelahnya, murid Kelas III sedang belajar matematika. Kondisi ruang kelas hampir sama.

Neja menceritakan bangunan tersebut dibangun sekitar tahun 2006. Sejak saat itu sampai sekarang, tidak pernah ada renovasi sehingga bangunan menjadi lapuk.

Kondisi semakin parah karena bangunan itu dihantam hujan deras disertai angin puting beliung pada tahun 2018 dan kembali dihajar pada 2019 lalu.

"Jelas (menganggu belajar) apalagi musim hujan ini. Jadi anak tidak bisa belajar. Guru akhirnya membawa anak kelas pagi, jadi masuk siang," kata Neja.

`Saya menyerah pada Tuhan`

Neja bercerita, ia selalu mengajukan proposal perbaikan sekolah tiap tahun. Namun, hasilnya nihil.

Pemerintah Kabupaten Bogor, kata Neja, selalu menjawab permohonan dengan "tunggu saja dengan sabar".

Padahal, menurut Neja, hari demi hari, murid harus berjuang belajar dengan kondisi yang memprihatinkan tersebut.

"Saya sampai pedih dan sedih memikirkan peserta didik terbengkalai, tidak bisa belajar kondusif. Akhirnya menyerah saja ke Tuhan Yang Maha Esa, mudah-mudahan apa yang diajukan ke pemerintah ada realisasinya, istilahnya bersabar lah," ungkap Neja dengan pasrah.

Neja bercerita tentang proses pengajuan perbaikan sekolah. Awalnya, sekolah membuat proposal kebutuhan renovasi.

Kemudian, proposal tersebut diusulkan ke Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) tingkat desa.

Jika disetujui, tahap selanjutnya adalah Musrenbang tingkat kecamatan. Kemudian, proposal dibawa ke pemerintah kabupaten untuk diputuskan.

"Saya tidak tahu rapat di kabupaten. Jadi sampai kecamatan saja (saya terlibat) karena dibarengi dengan kantor pendidikan," ujarnya.

Ia hanya bisa memantau dan menanyakan pihak kabupaten apakah proposalnya diterima atau tidak, tanpa mengetahui alasannya.

"Yang anggaran tahun 2020 lagi proses. Sebentar lagi akan ada musrenbang kecamatan, ketahuan mana yang diterima dan tidak. Kalau tidak ke data, ya menunggu 2021," ujarnya.

Modus penyelewengan swakelola: "Terima kunci"

Berjarak lima kilometer dari SDN Kamulyaan, saya mengunjungi sekolah dasar lain yang bernama SDN Cibentang 02.

Sekolah ini memiliki 12 rombongan belajar (rombel) yang dibagi dalam tujuh kelas.

Jadi, tiap kelas ditempati dua rombel yang masuk pagi dan siang hari dengan total 309 siswa.

Dari tujuh kelas, ada tiga ruang kelas yang berdiri di atas satu bangunan dikategorikan oleh sekolah sebagai rusak berat.

Berbeda dengan sekolah sebelumnya, dinding tiga kelas ini masih terlihat kokoh. Retakan hanya ada di sebagian kecil sudut kelas.

Permasalahan utama bangunan ini adalah renovasi yang "abal-abal", dari penggunaan bahan berkualitas rendah dan tidak sesuai spesifikasi, hingga pelaksanaan yang tidak sesuai prosedur.

Kondisi sekarang, bangunan ini tidak memiliki plafon dan menggunakan genteng bekas hasil patungan guru dan masyarakat.

Akibatnya, tiap kali hujan, air bocor menggenangi lantai kelas, bangku dan meja. Proses belajar mengajar pun terganggu.

"Jadi plafonnya abal-abal dan berjatuhan, jadi saya suruh buka semua, takut jatuh kena anak-anak, lebih bahaya lagi. Untung anak-anak tidak ada pas jatuh," kata Kepala Sekolah SDN Cibentang 02, Oboh Khaerul Misbah.

Ia menceritakan bangunan tersebut direnovasi pada tahun 2013 melalui metode swakelola.

"Tapi oleh oknum kepala sekolah sebelum saya, diborongkan lagi ke dua pihak lain, yaitu tembok (pengecatan) lain, kemudian kosen dan atap lain. Bahkan pas saya ke sini, ditinggal sama pemborongnya, belum selesai," ujarnya.

Swakelola adalah metode pembangunan yang pelaksanaan dan pengawasan diakukan oleh panitia pembangunan sekolah dan tidak boleh diserahkan pekerjaan kepada pihak ketiga.

Panitia tersebut terdiri dari kepala sekolah sebagai penanggung jawab, komite sekolah, unsur guru, dan unsur masyarakat.

Operator SD tersebut Nosan Setiawan mengatakan pihak sekolah dan masyarakat tidak dilibatkan saat renovasi tahun 2013.

"Renovasi cuma atap dan pengecetan saja. Lantai juga tidak semua direnovasi karena memang waktu itu anggarannya begitu, ya tidak tahu juga mas. Kita kan cuma terima kunci (terima beres)," kata Setiawan.

Solusinya, tahun kemarin, kata Oboh, sekolah membeli genteng bekas Rp9 juta melalui dana swadaya guru dan masyarakat, bukan bantuan pemerintah, untuk melindungi kelas dari hujan.

Seberapa banyak SD rusak di Indonesia?

YAPPIKA-actionaid mencatat dari tahun 2015 hingga 2019, Pemerintah Pusat telah mengelontorkan dana sebesar Rp 18,5 triliun melalui skema Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik kepada pemda untuk memperbaiki dan membangun ruang kelas SD.

Anggaran DAK 2019 meningkat dua kali lipat menjadi Rp6,5 triliun dari 2018 sebesar Rp3 triliun.

Untuk 2020, Kemendikbud mengalokasikan DAK fisik untuk SD sekitar Rp6,5 triliun dari total anggaran untuk pendidikan mencapai Rp508,1 triliun.

Nilai tersebut belum termasuk alokasi anggaran yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing daerah.

Namun, jumlah ruang kelas rusak (sedang dan berat) tidak berkurang, justru bertambah, mencapai lebih dari 240 ribu dari total sekitar satu juta ruang kelas SD di Indonesia.

Selama tahun 2015-2019, berdasarkan pemantauan YAPPIKA-ActionAid, ada empat siswa SD yang meninggal dan 73 siswa SD yang menjadi korban luka karena bangunan sekolah yang roboh.

"Saat ini diperkirakan satu dari lima siswa SD negeri terancam bahaya karena masih belajar di ruang kelas yang rusak sedang dan berat," kata peneliti YAPPIKA Muhammad Alfisyahrin.

Dalam laporan Badan Pusat Statistika yang berjudul "Potret Pendidikan Indonesia Statistik Pendidikan 2019", BPS mencatat masih lebih dari 70 persen ruang kelas SD dalam kondisi rusak.

"Diperlukan tata kelola anggaran pendidikan yang lebih bijak dan berpihak pada penyelesaian hal mendasar dalam peningkatan kualitas pendidikan, termasuk juga penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana Pendidikan," tulis dalam laporan itu.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mencatat terdapat 131.423 SD negeri di Indonesia dengan jumlah murid lebih dari 24,7 juta peserta didik.

Merujuk pada Kabupaten Bogor, terdapat 1.545 sekolah dasar. Dari jumlah tersebut, berdasarkan data Dewan Pendidikan Kabupaten Bogor, 8.620 ruang kelas SD rusak, atau sekitar 80 persen.

Pemkab Bogor pun menganggarkan sekitar Rp300 miliar, meningkat dari tahun lalu Rp226 miliar, untuk pembangunan sarana dan prasarana (sarpras) SD dari total APBD sebesar Rp7,1 triliun pada 2020.

Mengapa ruang kelas SD roboh dan rusak berat?

Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia menyebut setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan permasalahkan sekolah roboh, dan ruang kelas rusak tidak terselesaikan.

Menurut anggota Kopel Indonesia Syamsuddin Alimsyah persoalan pertama disebabkan oleh data ruang kelas rusak dalam data pokok pendidikan atau dapodik yang tidak akurat.

Padahal menurut Syamsuddin, dapodik adalah basis data informasi tentang sekolah yang dijadikan dasar untuk penganggaran, baik berasal dari APBD dan DAK.

"Tahun 2018 kami survey 318 sekolah (di Bogor), ternyata dapodiknya sampah. Di dapodik tertulis sekolah bagus, faktanya sekolah ada yang rusak dan hampir ambruk," kata Syamsuddin kepada BBC News Indonesia di Bogor.

Akibatnya, kata Syamsuddin, penyaluran dana menjadi tidak tepat sasaran.

"Data yang tidak valid menyebabkan potensi korupsi, bisnis, contohnya di Bogor, seperti Rumpin dan Ciomas. Satu sekolah terus diperbaiki padahal sudah baik, sekolah di sebelahnya tidak pernah diperbaiki padahal sudah mau roboh," kata Syamsuddin.

Syamsuddin menuding `dapodik sampah` muncul karena tidak pernah ada verifikasi oleh dinas pendidikan daerah dan kementerian, atau adanya unsur pembiaran atau kesengajaan untuk menciptakan data yang tidak valid.

"Kalau tidak punya data bisa korupsi. Tidak bisa dipukul rata, satu ruang kelas Rp100 juta di Parung sama dengan di Sirna Asih, karena ada perbaikan atap, tembok, lantai, itu beda-beda dananya," katanya.

"Jika data tidak akurat, maka tidak bisa selesai sampai kapanpun sekolah rusak."

Kedua, adalah metode proposal. Menurut Syamsuddin, sekolah rusak, contohnya di Bogor, harus mengajukan proposal kepada pemda untuk perbaikan. Padahal, sekolah adalah aset pemda.

"Karena bentuknya proposal maka siapa yang dekat itu yang dapat. Terbukti saat itu, sekolah belum terlalu rusak diperbaiki, ada sekolah rusak parah tidak diperbaiki padahal aktif mengajukan proposal," kata Syamsuddin.

Sistem proposal, kata Syamsuddin, juga menyebabkan proses perbaikan menjadi lama dan penuh dengan ketidakpastiaan.

"Roboh hari ini, terus pakai sistem proposal, dibawa ke musrenbang desa, musrenbang kecamatan, ke pemda dan dibahas, dimasukkan anggaran tahun depan. Butuh satu tahun, dan jika disetujui, kalau tidak? Murid SD nasib nya bagaimana?" katanya.

"Harusnya melalui dapodik, lalu diverifikasi di lapangan, bukan malah proposal yang tidak objektif dan tidak tepat sasaran," kata Syamsuddin.

Ketiga, dana perbaikan ruang kelas yang menggunakan anggaran pemda boros. Padahal kata Syamsuddin, dengan biaya yang sama, masyarakat bisa membangun lebih.

"Studi kami, yang dibiayai pemda rata-rata Rp150 juta sampai Rp200 juta. Masyarakat yang kerjakan cukup Rp80 juta dan lebih dari Rp100 juta bisa buat satu ruang kelas. Anggarannya pemda terhadap perbaikan terlalu mahal dan boros," katanya.

Hal itu menyebabkan, kata Syamsuddin, penggunaan anggaran menjadi tidak efektif dan maksimal karena jumlah ruang kelas yang diperbaiki terbatas.

Terakhir, adalah penyalahgunaan system swakelola yang tidak dikerjakan oleh masyarakat, melainkan oleh pihak ketiga atau pemborong yang ditunjuk langsung.

Pola tersebut, kata Syamsuddin, memunculkan istilah "terima kunci", artinya pihak sekolah tidak terlibat proses perbaikan, melainkan terima jadi atau dikenal dengan terima kunci.

"Masih ada pemborong yang didrop . Kita temukan tahun kemarin. Namanya swakelola, tapi pemborong dari luar yang mengerjakan," kata Syamsuddin.

"Tidak mungkin ada masuk pemborong tanpa ada action yang mengakomodir pemborong itu masuk, apalagi pemborong itu datang dari luar lingkungan itu (masyarakat)."

Akibatnya biaya yang dikeluarkan menjadi besar, dan kualitas bangunan menjadi rendah.

"Umur teknis bangunan sebenarnya 14 tahun, tapi ternyata ada bangunan diperbaiki dengan dana DAK tidak lama, tidak lebih lima tahun roboh, bahkan ada cuma dua tahun platfon jatuh, karena kualitas, tembok pecah," katanya.

Apa langkah Pemda dan Pempus mengatasi sekolah rusak?

Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor mengakui terdapat kekurangan dalam akurasi data sekolah dasar yang rusak.

"Jadi butuh pendataan yang sekarang kita mengupayakan tim (Disdik) ke lapangan, tidak hanya mendengar dari camat, konsultan, dan segala macam," kata Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor Entis Sutisna saat dihubungi BBC News Indonesia.

Entis melanjutkan, Kabupaten Bogor memiliki target bahwa tahun 2022 tidak ada lagi sekolah rusak.

"Data riil, tidak asal-asalan, butuh data akurat, setelah akurasi data, kita petakan dan anggarkan," katanya.

Tahun 2020, kata Entis, terdapat 382 paket rehabilitas sekolah di Kabupaten Bogor dengan anggaran sekitar Rp267 miliar.

Entis juga mengakui tahun lalu terdapat beberapa pembangunan yang kurang dikontrol sehingga hasilnya tidak maksimal.

"(Tahun) kemarin sekitar 200 paket itu, hanya satu dua kejadian yang kurang pengontrolan. Ini kita evaluasi agar tidak ada sekolah yang hasilnya kurang maksimal," kata Entis.

Ia mengatakan akan mulai memperketat pengawasan dari pelaksanaan hingga pelaksanaan perbaikan dan pembangunan sekolah rusak.

BBC News Indonesia menghubungi pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbud, Harris Iskandar, untuk meminta tanggapannya terkait masalah ruang kelas rusak.

Namun, Harris tidak bisa dihubungi sampai tulisan ini terbit.

Mendikbud Nadiem Makarim akhir tahun lalu menyinggung soal kelemahan akan data sekolah rusak.

"Salah satu hal yang bikin saya takut sekarang ini, belum mengetahui sekolah yang rentan roboh," kata Nadiem.

Untuk itu, kata Nadiem, Kemendikbud pada tahun 2020 akan lebih fokus terhadap pemeriksaan daripada pembangunan gedung-gedung sekolah.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan adanya praktik korupsi dan penyelewengan dana pendidikan dari pusat ke daerah. Ia mencontohkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang disunat oleh oknum pemda.

Dua kepala sekolah SD negeri di Bogor mengatakan masa pendidikan di SD adalah fase penting tumbuh kembang, serta pengembangan minat dan bakat para generasi muda.

Namun, proses penting ini masih dihantui masalah infrastruktur yang dapat mengancam keselamatan siswa.