Heboh Foto Mahasiswi Diblur Mengundang Kontroversi
- bbc
Media sosial ramai dengan perbincangan mengenai foto-foto sejumlah mahasiswi pengurus organisasi kampus yang disensor. Hal itu setidaknya terjadi di organisasi mahasiswa di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Aktivis Islam moderat menyebut fenomena penyamaran foto wajah mahasiswi di kampus-kampus sebagai bentuk "konservatisme dan diskriminasi perempuan".
Di UNJ, informasi mengenai foto mahasiswi pengurus organisasi kampus yang disamarkan, pertama kali disebarkan oleh organisasi Study and Peace UNJ, yang kegiatannya berfokus pada kesetaraan gender.
Organisasi itu menyebarkan foto-foto kepengurusan beberapa organisasi kampus yang menyamarkan wajah perempuan, sementara yang laki-laki terpampang jelas.
Ada pula foto yang memperlihatkan gambar-gambar perempuan diubah menjadi animasi.
`Sudah rela di-blur`
Remy Hastian, ketua BEM UNJ, yang menaungi organisasi-organisasi di kampusnya, mengatakan hal itu adalah kesepakatan internal organisasi-organisasi terkait.
"Tidak ada niat yang disampaikan secara luas, jika laki-laki harus mendominasi dan terlihat. Sebagaimana dari pihak perempuan pun juga menerima kesepakatan ini," ujar Remy dalam keterangan tertulis.
Sementara itu, dosen agama islam UNJ, Andy Hadiyanto, mengatakan gambar-gambar itu ada yang berasal dari tahun 2017 dan ada yang baru muncul tahun ini.
Ia mengatakan pihak rektorat kampus telah meminta keterangan siswa terkait mengenai hal ini.
"Belum sampai pada kesimpulan, baru mendengar penjelasan mereka. Tapi yang jelas memang kata mereka, `perempuan sudah rela kok pak di- blur `. Itu perspektif mereka," ujar Andy.
Sementara alasan mereka melakukan itu, ujar Andy, belum terekspos.
"Dugaan-dugaan belum sempat terekspos dalam pembicaraan karena yang hadir (di pertemuan) kemarin hanya pihak Warek III. Dugaannya, ada beberapa mahasiswa yang belum paham kesetaraan gender. Yang mengaitkan dengan perspektif agama tertentu," ujar Andy.
Andy menambahkan hal itu mungkin terjadi karena pemahaman agama yang belum sempurna.
Sementara, seperti dilansir sejumlah pemberitaan, satu universitas lain di Yogyakarta yang melakukan hal serupa belum berkomentar mengenai praktik penyensoran wajah perempuan pengurus organisasi kampus.
`Konservatisme kampus`
Aktivis Gusdurian dan penulis buku berjudul Muslimah yang diperdebatkan , Kalis Mardiasih, menilai fenomena yang terjadi sebagai bentuk konservatisme di kampus.
Ia mengatakan sejumlah organisasi agama di kampus-kampus masih berpandangan konservatif, salah satunya dengan memandang perempuan sebagai aurat.
Kalis menambahkan dalam pandangan itu perempuan diimbau tidak menjadi sumber godaan atau fitnah dengan dilihat oleh laki-laki, atau dalam kasus tertentu, bahkan tidak berbicara langsung dengan laki-laki.
Di salah satu organisasi agama di sebuah kampus, ujar Kalis, perempuan bahkan diminta menuliskan pendapatnya di kertas dalam sebuah diskusi organisasi yang ada anggota laki-laki.
Hal seperti itu, menurut Kalis, akan merugikan perempuan.
"Sekarang kalau misalnya wajah sudah dihilangkan, suara sudah dihilangkan, lama-lama gagasannya dihilangkan, pikiran-pikirannya dihilangkan," ujar Kalis.
"Sehingga gagasan perempuan, tidak ada lagi. Akhirnya tidak ada narasi perempuan dalam kehidupan sehari-hari, dalam sejarah."
Di sisi lain, seorang mahasiswi UNJ, yang tidak mau disebutkan namanya, menganggap pilihan untuk disamarkannya wajahnya adalah hak dari masing-masing mahasiswi.
"Itu kembali lagi ke pengurusnya, kan ada beberapa orang yang nggak nyaman wajahnya diekspos secara publik. Kalau itu keyakinan mereka, mereka memilih nggak ditunjukin, ya nggak masalah kalau misalnya diganti sosok atau figur lain," ujarnya.
"Mungkin orang-orang lihat itu kayak penghapusan peran. Tapi kalau dilihat lagi, ini udah keyakinan mereka. Kalau kita lakuin apa yang nggak sesuai dengan yang mereka mau, bukannya itu pemaksaan ya?" ujarnya.
`Penyingkiran perempuan`
Namun, pengamat Islam moderat, Neng Dara Affiah, tak sependapat dengan pandangan itu. "Sekalipun perempuannya sudah sepakat, kesepakatan itu bermasalah," ujarnya.
Neng Dara mengatakan fenomena penyamaran wajah perempuan adalah bentuk penyingkiran perempuan dan diskriminasi.
Hal itu diskriminatif, ujar Neng Dara, dan tidak sesuai dengan peraturan mengenai pendidikan.
"Ini penyingkiran perempuan di ranah publik, buat apa?" ujarnya.
"Kalau laki-laki di- blur kenapa perempuan mesti di- blur ? Segala yang bentuknya diskriminatif harus ditentang."
Foto perempuan, kata Neng Dara, seharusnya ditampilkan untuk memperlihatkan eksistensinya berkegiatan di kampus.
Menyikapi hal itu, Dosen agama Islam UNJ, Andy Hadiyanto, mengatakan pihak kampusnya akan mendeteksi keberadaan spanduk atau selebaran yang menyamarkan foto-foto perempuan melalui instagram organisasi-organisasi mahasiswa di UNJ.