NU: Indonesia Jadi Kiblat Umat Islam saat Timur Tengah Berkonflik

Ketua Umum Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj dalam forum Simposium Nasional Islam Nusantara yang diselenggarakan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia di Jakarta, Sabtu, 8 Februari 2020.
Sumber :
  • IST

VIVA – Ketua Umum Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj berpendapat bahwa Islam Nusantara dapat menjadi solusi bagi umat Islam di dunia untuk membangun kebudayaan dan peradaban. Sebab, Islam Nusantara menghormati budaya selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Sementara di negara-negara Islam yang di Timur Tengah, kata Said, belum mampu menyelesaikan konflik di negaranya masing-masing dan belum dipastikan sampai kapan. "Indonesia akan menjadi kiblat umat Islam fis tsaqafah wal hadarah," ujarnya dalam forum Simposium Nasional Islam Nusantara yang diselenggarakan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia di Jakarta, Sabtu, 8 Februari 2020, sebagaimana siaran pers kepada VIVAnews.

Sejarawan Indonesia bidang kemaritiman Universitas Indonesia Susanto Zuhdi, yang hadir juga dalam forum itu, menyebut Islam Nusantara sebagai Islam yang selaras dengan sejarah bahari Nusantara. Karena itu, dia lebih tertarik menyebut Islam Nusantara sebagai Islam Bahari.

"Kenusantaraan itu bahari meskipun ada disruptif juga antara bahari dan maritim. Kenapa tidak menggunakan bahasa bahari yang ratusan tahun populer yang dibawa oleh Sultan Aliyudin Gowa," kata Susanto, mengusulkan.

Mendukung argumentasi Susanto, Guru Besar Sejarah Islam pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negeri maritim dengan luas laut melebihi luas daratannya. Hal itu bukanlah pemisah melainkan menjadi pemersatu antarpulau. Begitu pula umat Islam di Indonesia sesungguhnya adalah pemersatu.

Azra mencontohkan persebaran kitab karya Syekh Abdul Rouf Singkel yang begitu cepat. Kitab berjudul Mirat al-Thullab yang ditulis pada abad 17 di wilayah Sumatera itu, sudah menyebar ke Buton, Sulawesi hingga Mindanao, Filipina bagian selatan.

"Naskah yang ditulis abad 17 oleh Singkel yang menjadi dasar pembentukan dasar fikih Syafii dalam waktu tidak lama ditemukan di Buton atau di Mindanao," katanya.

Menurut Katib Aam NU Yahya Cholil Staquf, lahirnya bahasa Islam Nusantara merespons realitas saat banyak masyarakat baik dari kalangan bawah maupun dari kalangan elite umat Islam bergabung dengan kelompok teroris Islamic State for Irak and Syiria (ISIS).

Atas dasar itu dirasa diperlukan identitas serta pendalaman masalah, apa penyebab sebagian orang bergabung dengan ISIS. Sebab, jika masalahnya adalah kebodohan dan kemisinan, nyatanya di antara masyarakat yang gabung ISIS itu adalah orang-orang pandai bergelar profesor dan kalangan konglomerat.

“Misalnya, pada penembakan di Selandia Baru, yang kemudian dibalas aksi terorisme lagi di Srilanka yang dilakukan oleh satu keluarga, ternyata keluarga tersebut adalah pengusaha terkemuka, anak-anak kaya,” tuturnya.

Berdasarkan diskusi yang banyak dia lakukan bersama tokoh-tokoh dunia, Gus Yahya menyebut variabel radikalisme agama tidak ada yang konsisten. Maka, katanya, faktor penyebabnya tak tunggal, melainkan bermacam-macam, termasuk situasi geopolitik.