Siswa Korban Bullying Trauma karena Merasa Cacat usai Jarinya Dipotong

Belasan warga Kota Malang berdoa bersama untuk MS, siswa SMPN 16 Kota Malang yang menjadi korban bullying, di halaman rumah sakit tempat siswa itu dirawat pada Selasa, 4 Februari 2020.
Sumber :
  • VIVAnews/Lucky Aditya

VIVA – MS, siswa SMP Negeri 16 Kota Malang, Jawa Timur, yang menjadi korban perundungan atau bullying oleh tujuh teman sekolahnya, trauma berat gara-gara penganiayaan itu. Dia bahkan tak henti menangis setelah menyadari bahwa dua jarinya diamputasi atau dipotong akibat luka yang tak dapat disembuhkan lagi.

Remaja itu menjalani operasi amputasi di Rumah Sakit Lavalette, Kota Malang, pada Selasa malam, 4 Februari 2020. Luka lebam itu ditemukan pada jari tengah tangan kanan, pergelangan tangan, punggung hingga kaki. Jari tengahnya harus diamputasi karena lukanya kian parah.

Segera setelah reaksi biusnya hilang dan siuman, MS menangis dan gelisah karena merasa sudah cacat. Keluarga yang menjaganya di rumah sakit terus mencoba menenangkan MS tetapi tak berhasil. MS baru berhenti menangis saat menjelang pagi.

"Dia trauma menangis terus, kami hanya bisa menenangkan dirinya. Dia baru berhenti menangis ketika sudah pagi. Dia menjalani operasi amputasi dipotong dua ruas jari tengah sebelah kanan," kata Taufik, paman MS, saat ditemui di RS Lavalette, Rabu, 5 Februari.

Kini, keluarga berjuang keras mengembalikan psikologi MS agar mentalnya kembali bangkit. Mau-tak-mau, katanya, MS harus menerima kenyataan bahwa dia sekarang kehilangan salah satu jarinya.

Keluarga menyerahkan sepenuhnya proses hukum Polresta Malang. MS memang tak menceritakan detail kejadian kepada keluarga, maka polisilah yang wajib mengungkap semuanya.

Taufik bersyukur atas simpati sejumlah warga Kota Malang kepada peristiwa yang dialami MS. Menurutnya, biaya medis yang dikeluarkan cukup besar. Namun, keluarga mendapat banyak bantuan dana dari berbagai pihak.

Aksi solidaritas

Masyarakat Kota Malang bersimpati atas peristiwa yang dialami MS dan mengekspresikannya dalam bentuk berdoa bersama. Mereka juga berharap biaya perawatan MS selama di rumah sakit ditanggung oleh Pemerintah Kota Malang.

"Kita lakukan doa bersama, karena ini kejadian tidak saat ini saja. Untuk itu sekolah di Kota Malang harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi siswa. Agar tidak ada lagi kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah," kata seorang warga, Sri Wahyuningsih.

Pemerintah, katanya, wajib memberikan pendampingan psikologis kepada MS. Meski ketujuh siswa menyebut tindakannya hanyalah senda gurau, aksi mereka telah berakibat fatal bagi fisik maupun kondisi mental MS sebagai korban.

Warga yang tergabung dalam aksi doa bersama mendukung Polresta Malang untuk memproses hukum sesuai ketentuan perundang-undangan. Bahkan warga juga mempertanyakan profesionalitas tenaga pengajar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang.

"Ini yang menjadikan kita itu gemes; masyarakat sudah pintar sekarang ini, pasti tidak mengikhlaskan jika kekerasan terjadi. Bagaimana profesionalisme dari orang-orang yang berkecimpung di bidang pendidikan itu dipertanyakan oleh masyarakat sendiri. Kalau lagi-lagi ada kasus, dan lagi-lagi ada kasus, semoga ini menjadi kasus yang terakhir," katanya.

Kepala Polres Kota Malang Komisaris Besar Polisi Leonardus Simarmata mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan, ketujuh siswa itu mengaku hanya iseng atau bercanda dengan MS. Namun, polisi menilai peristiwa ini mengarah pada kasus kekerasan.

Ketujuh siswa ini pun terancam pasal 80 ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang kekerasan yang dilakukan bersama-sama di muka umum. Namun, peradilan mereka harus di peradilan anak karena mereka belum terkategori dewasa.