Kisah Nelayan Natuna Hadapi Brutalnya Nelayan Asing Mencuri Ikan

Para nelayan Tanjung Balai Karimun mengatakan mereka sering dikejar, diusir bahkan ada yang ditabrak oleh kapal ikan asing saat mencari ikan di Laut Natuna Utara. - BBC Indonesia/ Ivan Batara
Sumber :
  • bbc

Para nelayan di Kabupaten Natuna mengatakan pada akhir 2019, puluhan kapal asing memasuki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara untuk mencuri ikan.

Para nelayan Natuna mengatakan mereka dikejar, diusir, dan bahkan ada yang ditabrak kapal asing. Patroli keamanan yang jarang dituding menjadi penyebabnya.

Akan tetapi, aparat keamanan Indonesia menyatakan patroli dilakukan sepanjang tahun di perairan Natuna. Berikut kisah sejumlah nelayan yang mengatakan pernah berhadapan langsung dengan kapal-kapal nelayan asing.

Malam itu, 18 Desember 2019, sekitar pukul 10 malam, Muhammad Budiman dan tujuh awak buah kapalnya (ABK) ketakutan dan badan mereka gemetar.

Keringat mengalir deras dari kulit mereka walaupun udara dingin dan angin laut bertiup kencang.

Budiman yang bertanggung jawab sebagai nakhoda kapal ikan berteriak, "Matikan genset! Semua lampu juga matikan!"

Saat cahaya bulan redup karena tertutup awan, yang terdengar hanya suara mesin kapal yang melaju cepat dan deru ombak yang dihantam kapal.

Budiman, yang biasa disapa Budi, memacu kecepatan maksimal kapal ikan berkekuatan 29 gross tonnage (GT) yang berasal dari Tanjung Balai Karimun itu tanpa arah.

Dalam pikirannya, ia harus kabur secepat mungkin dan bersembunyi di balik gelapnya malam.

"Kita (laju) gas habis-habisan karena jarak kapal yang mengejar kita itu kurang dari 40 sampai 50 meter," kata Budi menceritakan kepada wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, di Pulau Tiga Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, 16 Januari lalu.

Ia pun menghubungi teman-teman nelayan lain lewat radio agar siap sedia membantu jika kejadian buruk terjadi.

Kapal yang dinakhodai Budi saat itu dikejar-kejar oleh dua pasang kapal nelayan asing di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau. Selain itu, kata Budi, masih terdapat banyak lampu jauh kapal asing lain yang sedang mencuri ikan di saat bersamaan.

"Saat itu takut sekali. Keringat semua badan, gemetar lagi. Intinya yang penting nyawa selamat," kata warga asli Pulau Tiga Barat itu.

"Haluan pun kita sudah tidak tahu lagi. Yang penting menengok ke belakang, dia putar haluan, kita putar haluan ke arah lainnya," katanya.

Dua jam berlalu, katanya, akhirnya cahaya lampu suar kapal asing itu menghilang. Namun, jantungnya masih berdetak kencang dan ia terus waspada melihat sekitar untuk memastikan kondisi telah aman.

"Awalnya, kita berlayar melewati mereka. Setelah mereka menarik pukat, lalu mengejar kita, entah mau menabrak atau menakut-nakuti kita, kita pun tidak tahu. Kita semua pun pada takut tidak sempat merekam dan apa," ujarnya.

Budi mengeluhkan saat itu tidak ada patroli aparat keamanan Indonesia. Ia dan teman-teman nelayan lain pun telah mengontak aparat keamanan untuk mengeluhkan banyaknya nelayan asing yang mencuri ikan di ZEE.

"Dua hari tidak ada tanggapan. Hari ketiga pas kita hubungi Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) baru ada keluar patroli KRI (kapal perang Republik Indonesia). Kita di laut juga sebagai benteng bagi pemerintah. Ibarat kita kasih tahu ya disikapi dengan cepat lah, biar tidak menunggu-nunggu" ujarnya.

Setelah kondisi aman dan tidak lagi dikejar, Budi dan para ABK melanjutkan memancing ikan menggunakan metode pancing ulur.

`Terusir dan terasing di laut sendiri`

Kejadian itu adalah satu dari banyak pengalaman yang dirasakan Budi dan nelayan Indonesia lain saat mengambil ikan di wilayah laut Indonesia, khususnya perairan Natuna.

Mereka menyebut merasa terusir dan terasing di laut sendiri.

"Banyak kejadian seperti ini yang terjadi, bahkan ada yang hampir tenggelam dan hancur. Saya merasa terasing di daerah sendiri," kata Budi.

Pada hari yang sama setelah kejar-kejaran itu, ternyata ada nelayan Indonesia lain yang juga mengalami nasib miris akibat ulah kapal asing.

Nelayan bernama Asoy yang berasal dari Tanjung Balai Karimun mengeluhkan seluruh tali pancingnya habis ditabrak oleh kapal asing pada hari itu.

"Habis kita punya alat tangkap ditabrak. Kita tidak bisa buat apa-apa sama mereka. Mereka itu brutal. Kalau kita kode mereka (agar menjauh) malah kita ditakut-takutin," kata Asoy yang sudah menjadi nelayan lebih dari 13 tahun.

Selain itu, Asoy juga bercerita pernah ditabrak, dilempar dengan botol berisi kotoran, dan disemprot air kotoran busuk ikan oleh kapal asing.

Nelayan lain, Muhammad Daud dan Zaliwardi, juga mengeluhkan maraknya pencurian ikan oleh kapal asing di Laut Natuna Utara.

"Tengah bulan lalu (Desember 2019) banyak sekali (kapal asing), pokoknya puluhan kapal. Kita takut dekat kapal mereka, kapal kita (ukuran) tidak sama," kata Daud yang telah menjadi nelayan sejak 1993.

"Mereka itu merajalela, kita pakai tali, mereka pakai pukat. Disapu habis semua ikannya, mau makan apa kita?"

Lucunya, kata Zaliwardi, nelayan dari Rukun Lubuk Lumbang, nelayan Natuna seperti `warga ilegal` saat mengambil ikan di Laut Natuna Utara.

Menurutnya, nelayan Natuna seperti `sembunyi-sembunyi` saat mengambil ikan guna menghindari pertemuan dengan kapal asing karena takut diganggu.

Sedangkan kapal asing secara terbuka mengambil ikan tanpa takut, keluh Zaliwardi.

"Memang sedih, pencarian kita di situ malah kita diusir. Mau bentrok kita tidak mampu, kawan-kawan pun lari juga. Tidak ada yang mampu kalau diusir, dia lebih besar dari kita, 60 GT ke atas," kata Zaliwardi.

Keberadaan kapal asing itu, kata Zaliwardi, sangat merugikan hasil tangkapan ikan karena mereka menggunakan pukat yang merusak terumbu karang dan mengambil ikan secara masif.

Patroli keamanan Indonesia `minim`

Para nelayan tersebut mengungkapkan keterusiran dan keterasingan tersebut muncul akibat dari kurangnya perlindungan dari aparat keamanan laut Indonesia terhadap nelayan di Laut Natuna Utara.

"Kita tidak pernah jumpa patroli saat ada kapal asing (kejadian Desember lalu itu). Itu pun dia (aparat keamanan) minta berita sama kita. Ada kapal tidak di laut, baru mereka turun," kata Zaliwardi yang menggunakan kapal 5 GT melaut hingga 100 mil.

Bahkan, Daud cukup heran karena beberapa waktu lalu saat kapal keamanan Indonesia mau patroli, kapal asing telah mengetahui dan cepat kabur.

"Saya mengeluh, kapal kita ini tidak ada sering patroli. Kapal perang kita itu tidak ada sering patroli di situ," kata Budi.

Akhir tahun lalu, para nelayan tersebut malah mengatakan bertemu seminggu bahkan hanya sebulan sekali dengan patroli keamanan Indonesia.

Namun, setelah berita kapal nelayan China masuk ke ZEE Indonesia untuk mengambil ikan viral, pengerahan kekuatan keamanan menjadi besar.

Hasilnya, mereka bisa bertemu dengan kapal keamanan Indonesia setiap hari hingga saat ini dan kapal asing pencuri ikan pun telah menghilang.

Untuk itu, mereka berharap agar keamanan perairan Natuna Utara dapat terus dijaga setiap saat, dan terus ditingkatkan.

"Harapan kita, supaya laut aman, bukan untuk saya, bukan untuk generasi sekarang, tapi kedepannya, anak cucu kita karena ikan itu kan kita punya harta," kata Asoy.

Pengamat sosial ekonomi maritim dari Universitas Maritim Raja Ali Haji di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Khodijah Ismail, mengatakan pelanggaran tersebut karena rendahnya pengawasan dari aparat keamanan Indonesia.

"Akibatnya bukan hanya menimbulkan ancaman sosial ekonomi tapi juga ancaman nyawa. Ketika mereka melaut, armada mereka kecil, armada asing besar. Mereka takut," kata Khodijah yang melakukan riset terhadap kesejahteraan nelayan tradisional Natuna.

Patroli keamanan di Natuna: Akan tidak terbatas dan sepanjang tahun

Kasus pencurian ikan ilegal oleh kapal asing mencuat ke publik saat Dedek Ardiansyah, nelayan dari Pulau Tiga Barat mengunggah video kapal-kapal asing ke sosial media pada Desember tahun lalu.

Kasus pencurian ikan menjadi viral ketika kapal-kapal ikan China yang dikawal kapal penjaga pantai China terdeteksi melakukan penangkapan ikan dalam jarak 130 mil laut dari Ranai.

Bahkan, mereka menolak untuk diusir dari wilayah ZEE Indonesia. Presiden Joko Widodo pun turun tangan dengan melakukan kunjungan ke Natuna.

Ia menegaskan tidak ada tawar-menawar dalam kedaulatan Indonesia. Jokowi kemudian memerintahkan peningkatan patroli di wilayah Natuna. Dampaknya, terjadi peningkatan kekuatan militer di Natuna.

TNI AU mengerahkan empat jet F-16 untuk patroli di Natuna. Kemudian, TNI AL mengerahkan beberapa kapal perang, diantaranya yaitu KRI Karel Satsuit Tubun, KRI Usman Harun, KRI Jhon Lie, KRI Semarang, KRI Tjiptadi, KRI Teuku Umar, KRI Sutendi Senoputra, dan KRI Ahmad Yani.

Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I (Pangkogabwilhan I), Laksamana Madya TNI Yudo Margono, menegaskan patroli di Laut Natuna Utara akan tetap dilakukan sepanjang tahun, walaupun kapal nelayan dan kapal penjaga pantai China sudah tidak ada lagi di wilayah ZEE Indonesia.

"Patroli tetap. Tidak terbatas. Operasi sepanjang tahun. Sudah (tidak ada kapal China). Sudah 400 mil di luar garis batas ZEE. Sudah sampai di sana. Sudah tak terpantau lagi di AIS," kata Yudo kepada wartawan di Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Selat Lampa, Kamis (16/01).

Di Natuna, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menegaskan pemerintah akan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk masyarakat dan wilayah Natuna.

"Rapat di atas KRI Semarang, memastikan pemerintah akan berusaha mengawal, dan menjamin keselamatan para nelayan disini. Sudah ada instruksi agar aparat seperti TNI AL, Bakamla, Polair, KKP bekerja sungguh-sungguh mengawal laut ini," kata Mahfud.

Senin 30 Desember tahun lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap tiga kapal ikan asing berbendera Vietnam di Laut Natuna dan menahan 36 orang berkewarganegaraan Vietnam.

Dari 2015 hingga 2019, KKP telah menangkat ratusan kapal asing yang mencuri ikan secara ilegal di perairan Indonesia.

KKP juga menangkap kapal nelayan Indonesia yang mengambil ikan dengan cara terlarang.

Kapal asing terbanyak yang ditangkap selama lima tahun terakhir berasal dari Vietnam, sebesar 234 kapal. Sementara itu, kapal nelayan asing China yang ditangkap hanya satu.

Strategi nelayan: pagar laut Nusantara

Tokoh nelayan Pulau Tiga Barat, Hanafi Jamaluddin, mengatakan pengamanan perairan Natuna tidak hanya bisa disandarkan kepada aparat keamanan Indonesia semata.

Perlu ada, kata Hanafi, kerja sama bersinergi antara aparat dengan para nelayan Natuna.

"Kami selaku nelayan semut, selaku nelayan kecil, siap menjadi pagar laut Nusantara. Natuna adalah pintu jalur laut negara lain yang masuk ke Indonesia," katanya.

Artinya, kata Hanafi, kapal `semut` nelayan tradisional Natuna berperan sebagai pagar laut di wilayah 20-30 mil.

Lalu kapal nelayan berukuran lebih besar berada di jarak 30 sampai 100 mil. Kemudian kapal lebih 50 GT berada di wilayah 100 sampai 200 mil.

"Jadi berlapis-lapis. Tidak ada celah untuk masuk. Saya rasa kalau ini kita buat, mereka berfikir 1000 kali juga. Betul-betul kita menguasai laut kita, itu harapan kami kedepan. Kapal-kapal kita, Bakalma, TNI AL, KKP, dan lainnya berpatroli untuk menjaga dan mengawasi wilayah dan nelayan,"katanya.

Fasilitas yang memadai kepada nelayan Natuna, kata Hanafi, bukan hanya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat namun juga berperan sebagai benteng pertahanan laut Indonesia.

Bupati Natuna usulkan `provinsi khusus`

Bupati Natuna, Abdul Hamid Rizal, menjelaskan penangkapan ikan illegal oleh kapal asing di Laut Natuna Utara merupakan peringatan kepada pemerintah pusat untuk memperhatikan Natuna dengan khusus.

Ia meminta pemerintah pusat untuk meningkatkan kekuatan pertahanan laut dan udara di Natuna agar siap setiap saat dalam menghadapi segala bentuk pelanggaran pertahanan dan keamanan.

"Saya pernah mengatakan bahwa Natuna ini tidak bisa dilihat sekedip mata, bukan sebelah mata, sekedip mata," kata Hamid kepada BBC News Indonesia.

"Natuna ini harus dipelototin terus. Kenapa? Kita punya sumber daya alam besar, punya gas, punya minyak. Dan punya sumber daya kelautan yang besar (ikan), Maka Natuna ini harus terus diawasi dan dijaga jadi tidak hanya tertentu-tertentu saja," katanya.

Hamid juga meminta agar kewenangan Kabupaten Natuna diperbesar dengan cara membentuk provinsi khusus Natuna dan Anambas.

"Saya kira daya dukung dari pemda perlu diperbesar, perlu ditingkatkan. Kalau hanya dengan kabupaten saya kira mungkin tidak begitu signifikan. Jadi tidak ada pilihan, daerah ini Natuna dan Anambas ini harus diperhatikan secara khusus yaitu Provinsi Khusus Kepulauan Natuna dan Anambas," kata Hamid.

Menurut Hamid, Natuna memiliki wilayah 99% laut dan hanya satu persen daratan. Sementara, lanjuntya, kewenangan kelautan, kehutanan dan pertambangan dipegang oleh provinsi.

Artinya, kata Hamid, Pemerintah Kabupaten Natuna memiliki kewenangan terbatas.

"Kalau bicara anggaran kami sudah punya dana bagi hasil (DBH) Rp1,4 triliun sampai Rp1,7 triliun dan itu untuk sementara ini bisa mampu untuk mendukung kalua dibentuk provinsi khusus Kepulauan Natuna dan Anambas."

Lanjut Hamid, Natuna juga berencana untuk dimekarkan menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Natuna, Natuna Barat dan Natuna Selatan.

"Yang dua ini sudah disetujui presiden sudah ada amanat presidennya kemarin. Cuma hanya tertunda gara-gara ada protes dari Papua. Itu saja. Jadi mudah-mudahan Papua disetujui, sehingga dalam rangka menjaga NKRI harga mati dapat terwujud."

Komisi I DPR desak penguatan fungsi Bakamla

Komisi I DPR bidang pertahanan melakukan kunjungan ke Natuna. Pelanggaran keamanan di Laut Natuna Utara, kata anggota Komisi I DPR dari Partai Golkar Dave Laksono, salah satunya disebabkan oleh lemahnya kekuatan Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Untuk itu, Komisi I sepakat untuk memperkuat peran dan fungsi Bakamla dalam undang-undang.

"Sudah masuk prolegnas (RUU Bakamla), dan akan dibahas masa sidang ini atau yang mendatang," katanya.

Bakamla memiliki peran dalam melaksanakan patroli keamanan, penegakkan hukum dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia.

Saat ini dasar hukum Bakamla diatur di tingkat Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut.

Dave mengatakan, UU Bakamla dibutuhkan agar anggaran, proses pengadaan dan perawatan kapal, serta pengawasan dan pengamanan keamanan laut Indonesia yang dilakukan oleh Bakamla menjadi maksimal.

"Sekarang Bakamla pinjam senjata dari TNI AL berupa senjata ringan. Ke depan butuh meriam misil atau air, lampu tembak, sound wave, dan peralatan canggih lainnya sendiri untuk mengusir kapal asing yang melakukan tindakan ilegal," katanya.

Senada dengan itu, pengamat keamanan Universitas Padjajaran, Muradi, berharap agar Bakamla dapat menjadi organisasi mandiri dan tidak lagi bergantung kepada TNI AL dalam menjaga keamanan laut.

"Bakamla ditingkatkan, TNI AL ditingkatkan sehingga mereka dapat berperan secara maksimal dan bergilir di level masing-masing, yaitu urusan keamanan dan kedaulatan," kata Muradi.

Muradi berharap pelanggaran keamanan di perairan Natuna oleh kapal nelayan asing mendorong pemerintah Indonesia untuk memperkuat keamanan, pertahanan, dan juga perekonomian wilayah perbatasan Indonesia.