Memulangkan WNI eks-ISIS: Seberapa Besar Risikonya?
- bbc
Pemerintah Indonesia menyebut ada sekitar 660 WNI yang diduga sebagai petempur teroris lintas batas atau foreign terrorist fighters (FTF) di beberapa negara, sebagian besar dari mereka perempuan dan anak-anak.
Namun, belum ada kejelasan sikap pemerintah terkait nasib mereka.
Persoalan pelik terkait perlakuan terhadap warga negara yang telah bergabung dengan kelompok yang menyebut diri Negara Islam atau ISIS tidak hanya dihadapi oleh Indonesia, banyak negara lain menghadapi dilema serupa.
Namun, menurut Direktur Eksekutif Institute For Policy Analysisi of Conflict (IPAC) Sydney Jones, kurangnya kemauan politik pemerintah Indonesia membuat nasib para WNI, terkatung-katung.
"Saya kira yang tidak ada saat ini justru itu, political will (keinginan politik)," ujar Sydney Jones kepada BBC News Indonesia, Selasa (21/01).
Dia mengatakan, semakin lama mereka dibiarkan berada di kamp, semakin buruk situasi yang mereka alami dan memulangkan mereka akan semakin sulit.
"Seharusnya ada semacam keputusan bahwa sekarang ini risiko meninggalkan mereka di kamp-kamp itu lebih besar daripada memulangkan. Apalagi kalau bicara tentang anak-anak," tegasnya.
Walaupun dia mengakui ada risiko bahwa anak-anak tersebut bisa melakukan kekerasan ketika akhirnya dipulangkan, namun menurutnya, "lebih baik mereka dipulangkan sekarang".
"Daripada ditinggalkan di sana sampai anak lebih tua dan bisa menjadi radikal dan menjadi satu ancaman untuk masa depan Indonesia," ungkap Sydney.
Kendati begitu tudingan tidak adanya kemauan politik pemerintah ditampik oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah yang menyebut pada saat ini pemerintah Indonesia masih berfokus untuk memverifikasi status kewarganegaraan mereka.
"Sebenarnya pokok permasalahannya adalah status, memastikan asal-usul status kewarganegaraan mereka. Jadi kita tidak berbicara mengenai political will , tapi berbicara mengenai memastikan status mereka terlebih dahulu," ujar Faizasyah.
ISIS, kelompok militan yang merupakan sempalan dari Al Qaida berhasil ditumpas oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) Maret silam.
Imbasnya, puluhan ribu anggota ISIS menyerahkan diri, sebagian besar pria ditahan di penjara SDF, sementara perempuan dan anak-anak ditampung di berbagai kamp pengungsian seperti Al Hol di Suriah Timur, Al Roj di perbatasan Suriah dengan Irak dan Ein Issa yang berbatasan dengan Turki.
Prioritaskan "kelompok rentan"
IPAC dalam laporannya yang bertajuk Indonesia: Urgensi Kebijakan Pemulangan WNI Pro-ISIS Dari Suriah yang dirilis Agustus silam menyebut pemerintah Indonesia harus menyepakati definisi "kelompok rentan" di kamp Suriah dan segera memulai proses repatriasi.
Proses repatriasi bisa dimulai dengan sekelompok kecil keluarga atau sekelompok anak sebagai percobaan, kemudian menyempurnakan proses sambil berjalan.
Namun sayangnya, menurut Direktur Eksekutif IPAC, Sydney Jones, hingga saat ini masih ada perbedaan pendapat di kalangaan pemerintah Indonesia menyangkut mereka yang dianggap "kelompok rentan".
"Ada perbedaan pendapat antara pejabat di pemerintah Jokowi, ada yang bersedia dan ingin menolong anak-anak dan perempuan pulang ke Tanah Air, ada juga yang masih melihat kalau perempuan dewasa sudah ada risiko," ujar Sydney.
Apalagi beberapa serangan teroris yang terjadi di Indonesia belakangan menjadikan perempuan sebagai kombatan.
Di sisi lain, lanjut Sydney, masih banyak penolakan dari masyarakat Indonesia jika WNI eks-ISIS ini direpatriasi.
"Tapi kalau pemerintah betul-betul ingin memulangkan orang-orang yang vulnerable , seperti anak-anak yang orang tuanya sudah tewas atau orang-orang dibawah umur, sebetulnya seharusnya difasilitasi," jelas Sydney.
Sementara itu, permasalahan yang lebih pelik dapat diatasi di kemudian hari, yaitu keputusan terkait tahanan berisiko tinggi yang ingin kembali, serta pria dan perempuan dewasa yang sudah terpapar radikalisme.
Namun, Menteri Koordinasi bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengakui merepatriasi mereka bukanlah perkara yang mudah.
Dia mengatakan, saat ini ada sekitar 660 WNI yang teridentifikasi sebagai FTF yang tersebar di berbagai negara, seperti di Suriah, Afghanistan, Turki dan berbagai negara lainnya.
"Memang tidak mudah karena berdasar prinsip konstitusi, semua warga negara berhak untuk mendapat kewarganegaraan dan tidak boleh berstatus stateless ."
"Tetapi problemnya, kalau mereka dipulangkan karena hak itu, ada yang khawatir itu akan jadi virus teroris baru," ujar Mahfud.
Kendati begitu, Mahfud menegaskan "dalam waktu yang tidak lama akan segera diputuskan" sikap pemerintah terhadap mereka.
"Akan disampaikan ke presiden dalam waktu yang tidak lama, mungkin dalam paruh pertama tahun ini, kita sudah punya sikap, barangkali," kata Mahfud.
Keluarga WNI yang pernah bergabung dengan ISIS di Suriah akhirnya dipulangkan pada 2017 lalu. - AFP
Jika sikap tersebut adalah memulangkan WNI eks ISIS, maka yang perlu diadakan kata mantan pembuat bom kelompok Jemaah Islamiyah, yang kini menjadi mitra Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam program deradikalisasi, Ali Fauzi, adalah program deradikalisasi khusus.
"Harus ada program khusus untuk ayah, program khusus untuk ibu dan program khusus untuk anak," ujarnya.
"Bagi saya ini cukup berat, maka dalam hal ini BNPT tidak boleh sendiri, harus menggandeng banyak kementerian untuk melakukan upaya-upaya deradikalisasi ini," imbuhnya.
Adapun BNPT mengatakan instansinya telah memiliki alat untuk melakukan program deradikalisasi yang khusus ditujukan kepada WNI eks-ISIS, seandainya mereka dikembalikan ke Indonesia.