Keraton Agung Sejagat, Mengapa Perkumpulan Ini Ada Pengikutnya?
- dw
VIVA – Publik tengah dihebohkan oleh munculnya sebuah perkumpulan yang dinamakan kerajaan Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah. Perkumpulan ini didirikan oleh Toto Santoso (42), yang mendeklarasikan dirinya sebagai raja dan Fanni Aminadia (41) sebagai ratunya.
Kelompok ini dianggap meresahkan masyarakat, hingga akhirnya polisi menahan Toto dan Fanni dan menetapkan keduanya sebagai tersangka. Mereka disangkakan pasal 14 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong yang mengakibatkan keonaran, serta pasal 378 KUHP tentang penipuan. Polisi menyita sejumlah barang bukti, seperti dokumen yang diduga dipalsukan pelaku.
Di Indonesia, kemunculan kerajaan mirip sekte ini bukan hal baru. Sebelumnya ada kerajaan ubur-ubur di Serang, dan sekte pelunas utang. Unsur-unsur di dalam perkumpulan semacam ini hampir mirip, yakni adanya cara-cara tipu daya untu menarik orang menjadi pengikut dan menarik biaya.
Lantas, mengapa orang masih percaya dengan hal semacam ini?
Tergiur janji dan mudah tersugesti
Menurut psikolog Universitas Indonesia Ivan Sujana, yang seringkali terjadi adalah perkumpulan semacam ini menjanjikan pengikutnya untuk melipatgandakan uang atau mampu memberikan keuntungan finansial dalam jumlah yang menggiurkan dalam waktu yang singkat, denga usaha yang ringan dan tanpa risiko.
Padahal para pengikut perkumpulan semacam ini biasanya akan diminta menyetor sejumlah uang, baik sebagai modal untuk melipatgandakan uang tersebut atau sebagai pembayaran atas biaya “jasa”.
“Banyak orang percaya dan menjadi pengikut karena tergiur dengan janji tadi. Siapa sih yang tidak mau memperoleh uang lebih banyak dalam waktu sekejap tanpa usaha dan tanpa risiko?,” ujar Ivan.
Menurutnya, orang-orang yang mudah tergiur biasanya memiliki beberapa karakteristik kepribadian, seperti mudah dipengaruhi atau mudah tersugesti, lugu atau naif, dan kurang berpikir kritis. Karakteristik semacam ini yang membuat orang mudah percaya mengikuti arahan pemimpin kelompok tersebut.
“Selain itu, banyak orang di zaman yang serba instan ini juga menjadi lebih impulsif, ingin cepat mendapatkan hasil tanpa mau bersusah-payah menjalani proses,” ungkapnya.
Dalam cukup banyak kasus, orang-orang yang rentan untuk tertipu ini berasal dari kelompok yang kurang beruntung.
''Seperti kelompok marjinal, keluarga dengan status sosial-ekonomi rendah, orang-orang yang kurang beruntung secara pendidikan atau yang tidak mengenyam pendidikan cukup tinggi dan berkualitas baik,'' ujarnya.
Gangguan jiwa atau motif keuntungan
Lalu mengapa pula ada orang yang mendirikan perkumpulan semacam ini?
Menurut Ivan, kemungkinannya bisa jadi dua hal, yakni gangguan mental atau murni ingin mendulang keuntungan.
“Pertama, hal itu dilakukan di luar kesadaran dan akal sehat yang bersangkutan. Kemungkinan, hal tersebut didorong oleh gangguan mental tertentu yang dialami oleh orang tersebut,” ujarnya.
Kedua, hal itu dilakukan secara sadar dan didasari akal, meski tidak dapat dikatakan sehat. Kemungkinan, hal tersebut memang sengaja dibuat secara sistematis untuk memperoleh keuntungan pribadi.
“Salah satu keuntungan pribadi yang seringkali dikejar oleh orang yang secara sadar membuat hal-hal yang tidak masuk akal itu tentunya adalah keuntungan secara ekonomi,” jelasnya.
“Berpikir kritis dan cintai proses”
Kemunculan perkumpulan seperti kerajaan Keraton Agung Sejagat seringkali meresahkan masyarakat sekitar. Agar tidak menjadi korban, Ivan menyarankan masyarakat harus membiasakan diri berpikir kritis sehingga tidak mudah terjerat tipu daya kelompok-kelompok semacam ini.
“Berpikir kritis dan cintai proses. Tidak mungkin kita bisa mendapatkan uang tanpa usaha yang wajar,” tegasnya.
“Jadilah rajin. Semakin keras dan konsisten usaha kita, semakin besar juga uang yang dapat kita peroleh. Sabar dan tawakal. Proses butuh waktu untuk mencapai hasil, kecuali kita hidup di dunianya Harry Potter.”
Ivan menambahkan jika orang sudah membiasakan diri berpikir kritis, mencintai proses dan konsisten bekerja keras maka akan mulai membiasakan diri untuk bersyukur dengan apa yang sudah dimiliki. Maka, manusia akan berhenti membanding-bandingkan diri dengan orang lain. (pkp/vlz)