YLBHI Sebut Ada 88 Kasus Konflik Agraria Sepanjang 2019

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) konpres konflik agraria 2019.
Sumber :
  • VIVAnews/ Syaefullah

VIVA – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat, ada 88 kasus dengan sedikitnya 5.3210.772 hektar areal konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia selama 2019.

Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnamasari mengatakan, konflik-konflik ini terjadi di berbagai sektor, seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, energi dan infrastruktur.

"Data kasus LBH-LBH menunjukkan konflik tanah dominan terjadi di sektor perumahan, perkebunan, kehutanan dan infrastruktur," kata Era di kantornya, Jalan Dipenegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 15 Januari 2020. 

Menurut dia, dari 88 kasus konflik agraria, terdapat korban 20.029 keluarga, 27.483 jiwa dan 25 dusun. Termasuk di dalamnya  2.979 keluarga, terutama di daerah Sumatera barat, Suku Sakai dan Talang Mamak di Riau, masyarakat adat di Kalimantan Tengah, di Sulawesi Selatan.

Menurut Era, kasus-kasus perubahan umumnya terjadi di perkotaan terutama Jakarta, Bandung. Masyarakat yang tinggal puluhan tahun bisa kapan saja digusur tanpa peringatan dan  tanpa kompensasi. Dalam beberapa kasus penggusuran klaim pemerintah juga tidak jelas.

Kasus-kasus perkebunan dan kehutanan masih yang menempati posisi atas. Hal ini, menurut dia, akibat masih diberikannya perizinan untuk perkebunan dan perusahaan kehutanan secara serampangan. Bahkan, tidak peduli lahan yang diberikan izinnya tersebut hasil rampasan, tumpang tindih dengan areal milik atau kelola masyarakat, atau melebihi luasan.

"Secara hukum tindakan ini bisa dipidana tetapi tidak ada korporasi yang dipidana sejauh ini karena menguasai lahan sampai keluar konsesinya," katanya.

Di Aceh, lanjut dia, LBH Aceh mendampingi masyarakat Aceh Singkil melaporkan perusahaan yang melakukan aktivitas illegal. Direktur perusahaan telah ditetakan sebagai Tersangka. Namun kasusnya sampai sekarang tidak kuncung diproses, justru ada usaha-usaha polisi untuk memediasi konflik perusahaan dengan masyarakat.

Begitupun dalam kawasan kawasan hutan, akar persoalan dari konflik agraria kehutanan adalah penetapan kawasan hutan yang sewenang-wenang, tidak partisipatif. Sekalipun putusan MK sudah mengatakan pengukuhan kawasan hutan haruslah melewati tahapan penunjukan, tata batas, pemetaan dan baru penetapan.
"Praktiknya hal ini belum dilakukan sungguh-sungguh sementara penggunaan UU P3H terus gencar dipraktikkan," katanya.

Di Pekanbaru, Suku Sakai kehilangan hak untuk tempat tinggal karena wilayah adat mereka diklaim sebagai kawasan dan di atasnya dibebani konsesi HTI yang berskala besar.

Kemudian, perhutanan sosial yang digadang-gadang sebagai program unggulan tidak menjadi solusi bagi persoalan kehutanan. Ada 5 skema di dalam perhutanan sosial, yaitu skema hutan desa, skema hutan kemasyarakatan, skema hutan tanaman rakyat, skema hutan adat.

Menurut dia, skema-skema nonhutan adat di wilayah-wilayah adat justru harus dibaca sebagai praktik legalisasi perampasan wilayah adat. Skema hutan adat juga tidak diletakkan sebagai yang utama, dalam beberapa kasus skema-skema kemitraan justru menjadi modus bagi perusahaan untuk memperluas wilayah konsesi, dengan tampilan seolah-olah masyarakat.