Penahanan Aktivis Pusaka Padang Dianggap Kriminalisasi
- VIVAnews / Andri Mardiansyah (Padang)
VIVA – Setara Institute menyatakan, penetapan tersangka dan penahanan Sudarto merupakan kriminalisasi oleh polisi.
Kriminalisasi, apalagi sampai melakukan penahanan tersebut menunjukkan arogansi polisi dalam menggunakan kewenangan polisionalnya untuk membungkam kritik dan pembelaan atas kelompok minoritas.
“Polisi mestinya lebih objektif melihat fakta restriksi terhadap hak-hak minoritas di Sumatera Barat seperti yang selama ini disuarakan oleh Sudarto,” kata Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos dalam keterangan tertulisnya pada Selasa, 7 Januari 2020.
Dalam pandangan Setara Institute, kriminalisasi atas Sudarto merupakan serangan secara terbuka terhadap pembela hak-hak konstitusional kelompok minoritas untuk beragama dan beribadah secara merdeka, sebagaimana dijamin oleh Pasal 29 Ayat (2) dan Pasal 28E Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Organisasi yang concern dengan isu HAM dan keberagaman tersebut menilai, bahwa advokasi dan pembelaan yang dilakukan oleh Sudarto selama ini merupakan tindakan yang semestinya mendapat dukungan dari aparatur pemerintah. Sebab pembelaan demikian merupakan bagian dari upaya masyarakat sipil untuk memajukan jaminan konstitusional KBB di tengah kondisi lemahnya kapasitas aparat untuk melayani dan melindungi minoritas.
Bonar mendesak Kepala Polri Jenderal Idham Aziz untuk mengambil langkah yang memadai agar melindungi pembela hak-hak konstitusional kelompok minoritas seperti Sudarto. “Pembebasan Sudarto merupakan langkah strategis untuk menunjukkan keberpihakan Kepolisian terhadap pemajuan toleransi dan kebebasan beragama dan beribadah sebagaimana dijamin oleh UUD NKRI 1945.”
Sebelumnya Kepolisian Daerah Sumatera Barat menetapkan Sudarto sebagai tersangka. Aktivis dari Pusat Studi Antar-Komunitas (Pusaka) Kota Padang ini bahkan ditahan usai menjalani pemeriksaan. Sudarto ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap pada Selasa siang, 7 Januari 2020, dengan sangkaan tindak pidana kejahatan dunia maya dengan sengaja dan tanpa hak, menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian.
Sangkaan yang dimaksud ialah isu larangan ibadah Natal umat Kristiani di dua kabupaten, yakni Dharmasraya dan Sijunjung. Jelang Natal lalu, Sudarto melalui Pusaka, mengeluarkan rilis tentang pelarangan Natal bagi umat Kristiani, terutama yang bermukim di Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya.