Bahaya Merkuri Sirna di Balik Gurih Tambang Emas Ilegal
- vivanews/Satria Zulfikar
VIVA – Praktik tambang emas tanpa izin atau Peti, terus menjamur di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Imbasnya, ancaman merkuri semakin mengkhawatirkan.
Proses pemurnian hasil tambang sangat tidak ramah lingkungan dan berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Pemurnian menggunakan bahan kimia berupa merkuri dan sianida semakin marak di Taliwang, ibu kota Sumbawa Barat.
Satgas Pemberantasan Peti sudah terbentuk di NTB sejak Juli 2019 lalu, namun praktik Peti belum maksimal diatasi. Ditengarai, semakin menjamurnya pertambangan ilegal tersebut, lantaran minimnya lapangan pekerjaan yang berdampak pada ekonomi masyarakat.
Wanita paruh baya berusia 42 tahun, Sahnip, mengayunkan palu seberat lima kilogram dengan tangannya. Dia memecahkan batu-batu seukuran kepalan tangan orang dewasa, hingga pecah berkeping-keping. Itu semua untuk mencari biji-biji emas.
"Sudah kerja begini sejak 2014, mulai ada tambang emas ini. Upahnya sekarang Rp10 ribu setiap sekarung batu," kata Sahnip, saat ditemui di Dusun Lamunga Atas, Desa Kayu Putih, Kecamatan Taliwang, Sumbawa Barat.
Putra keduanya, Habibullah (10), ikut membantu. Tangan kecil itu ikut mengayunkan palu memecah bebatuan. Dalam sehari ibu dan anak ini bisa menyelesaikan 15 hingga 20 karung batu. Mereka menerima upah Rp150-200 ribu setiap hari.
"Yang bayar juragan, pemilik lubang (tambang)," katanya.
Seperti Sahnip, lebih dari 50 perempuan ibu rumah tangga di Dusun Lamunga Atas, mengandalkan pekerjaan memecah batu tambang sebagai mata pencaharian. Lahan pertanian yang hanya tadah hujan di Desa Kayu Putih, membuat praktis sektor ekonomi itu tak menjanjikan, terutama di musim kemarau panjang.
Upah memecah batu cukup menggiurkan. Itu lebih besar dari upah mereka sebagai buruh tani yang hanya berjumlah Rp65 ribu hingga Rp75 ribu per hari. Terlebih lagi, seharian bekerja di ladang yang panasnya menyengat.
"Lebih enak pecah batu, kita kerja juga sejuk. Kalau di ladang kan panas," ujar Misnah (34) pemecah batu lainnya.
Semua batu yang dipecah, merupakan hasil pertambangan ilegal di sebuah pegunungan Desa Kayu Putih. Batu yang sudah dihaluskan, nantinya akan dibawa ke mesin gelondongan untuk diproses menjadi emas. Dalam proses inilah penggunaan bahan merkuri digunakan.
Selain kelompok wanita pemecah batu, di Dusun Lamunga Atas juga tersedia beberapa lokasi mesin gelondongan. Mesin-mesin itu milik Hamdi, warga setempat yang juga juragan lubang tambang. Saat ini, Hamdi memiliki sekitar enam lubang tambang di pegunungan Lamunga.
Hamdi mengaku sudah menjalani bisnis ini sejak 2014 silam. "Awalnya, kita pakai teknisi dari Tasikmalaya dan Manado. Tapi sekarang, kerja sendiri dengan tenaga lokal Sumbawa ini," katanya.
Rumahnya yang berlantai dua hanya terletak puluhan meter dari lokasi pemecahan batu dan tempat mesin glondongan berada.
Sebagai pemilik lubang tambang, Hamdi harus memodali belasan pekerja atau teknisi penggali lubang sebesar Rp8 juta hingga Rp10 juta setiap Minggu, untuk dana logistik mereka selama menambang.
Selain itu, Hamdi juga menyediakan ongkos untuk para "ojek batu" yang bertugas mengangkat batu material hasil tambang ke jalan raya, sebelum akhirnya dibawa ke lokasi gelondongan.
Setiap mengangkat sekarung batu dalam karung berkapasitas 25 Kg, seorang ojek batu bisa mendapat upah antara Rp50 ribu hingga Rp150 ribu. Ini membuat semakin banyak warga yang tertarik menjadi ojek batu.
Hamdi juga harus mengeluarkan modal cukup besar untuk membeli merkuri. Sebuah bahan untuk memurnikan bebatuan emas.
"Kalau ditotal biaya yang harus dikeluarkan setiap lubang (tambang) itu bisa mencapai Rp100 juta sampai Rp200 juta. Tapi kalau sedang beruntung, dan 'lubang cair', modal bisa kembali sampai empat kali lipat," kata Hamdi.
Lubang cair adalah istilah Peti untuk hasil material tambang yang memiliki banyak kandungan emas. Menurut Hamdi, jika sedang beruntung dalam sekarung batu material yang digelondong, bisa menghasilkan hingga 50 gram emas. Sedikitnya, setiap karung bisa menghasilkan 1-5 gram emas.
Hamdi mengakui sadar benar bahaya merkuri dan sianida. "Kami tahu bahaya itu, sosialisasi juga sering kita dengar. Tapi kan, kita butuh untuk proses tambang," katanya.
Bahkan, katanya, bahaya merkuri yang tidak langsung terlihat itu membuat masyarakat acuh. "Ada juga masyarakat yang berani minum merkuri langsung, dan tidak berdampak, dia tetap sehat, masih hidup," katanya.
Hamdi mengatakan, saat ini, memang sulit mendapatkan merkuri. Selain itu, harganya pun naik tinggi. Jika sebelum ada penertiban harga 1 kg merkuri berkisar Rp500-700 ribu, kini meningkat menjadi Rp1,5 juta hingga Rp1,9 juta per kg.
‘Uang Emas’
Bisnis Praktik tambang emas tanpa izin atau Peti, merupakan bisnis yang menggiurkan bagi masyarakat di sana. Perputaran uang yang besar dan lapangan kerja menjadi alasan banyak warga terlibat bisnis ilegal itu.
Sebuah kawasan terdampak gempa Lombok 2018, terparah di Sumbawa Barat adalah Dusun Lamunga Atas. Sekitar 280 rumah hancur bahkan roboh total. Namun, dengan kemampuan ekonomi masyarakatnya, rumah mereka bisa dibangun lebih dulu secara swadaya, sebelum bantuan pemerintah sebesar Rp50 juta mereka terima.
Kondisi ini sangat kontras jika dibanding dengan Lombok Utara, di mana masih banyak rumah warga yang belum kembali terbangun, karena masih menunggu bantuan pemerintah.
"Kami di sini juga korban gempa. Hampir semua rumah roboh. Tapi sekarang bisa dilihat, semua sudah seperti sedia kala, yang lantai dua pun sudah berdiri kembali. Ini semua karena 'uang emas', dari tambang Lamunga ini," kata Muhammad Tador (38 tahun), warga setempat yang juga pemilik lubang tambang.
Di pegunungan Lamunga, lokasi Peti hanya satu dibandingkan daerah lain di Sumbawa Barat. Namun, praktik ini tetap menjadi sorotan.
Lembaga Pemerhati Lingkungan, Barisan Muda Membangun (Barma) Sumbawa Barat, mencatat bahwa saat ini, setidaknya ada enam lokasi Peti cukup besar tersebar di Kabupaten itu. Barma Sumbawa Barat mencatat, aktivitas Peti di Sumbawa Barat, sudah dimulai sejak 2014 silam. Kondisi ini makin masif awal 2019 lalu.
Ketua Barma Sumbawa Barat, Fauzan Azima mengakui, ada dampak ekonomi yang baik untuk masyarakat. Namun, dampak kerusakan lingkungan juga berjalan sebanding.
"Selain berpotensi merusak kawasan hutan, aktivitas Peti ini juga berbahaya, karena penggunaan merkuri dan sianida dalam prosesnya dalam mencemari lingkungan," katanya.
Fauzan mengatakan, saat ini, setidaknya tercatat ada 6.019 unit gelondongan yang tersebar di 25 Desa di beberapa Kecamatan di Sumbawa Barat. Jika untuk 12 unit gelondongan dibutuhkan 1 kg merkuri, per hari jumlah penggunaan merkuri bisa mencapai sekitar 502 kg di Kabupaten Sumbawa Barat.
Selain gelondongan, proses pemurnian emas juga dilakukan dengan alat tong. Tong ini digunakan untuk memproses lumpur hasil gelondongan, dengan bahan utama sianida dan karbon. Barma Sumbawa Barat mencatat saat ini, setidaknya ada 59 unit tong di Sumbawa Barat.
"Yang mengkhawatirkan, saat ini, operasi gelondongan dan tong ini sudah sangat terbuka dilakukan di dekat pemukiman penduduk, aliran sungai, dan juga irigasi persawahan," katanya.
Terpapar Merkuri
Juli 2019 lalu, Pemerintah Provinsi NTB dan Polda NTB membentuk Satgas Pemberantasan Peti. Sasarannya adalah menertibkan praktik tersebut di kawasan Sekotong, Lombok Barat, kawasan Gunung Prabu, Lombok Tengah, dan enam lokasi Peti di Sumbawa Barat. Sejak saat itu razia peredaran merkuri dan sianida gencar dilakukan.
Namun, menurut Ketua Barma Sumbawa Barat, Fauzan Azima, hal itu belum berjalan maksimal. Buktinya merkuri dan sianida masih ada, dan gelondongan, serta tong masih beroperasi.
"Memang sejak ada Satgas, pasokan dan peredaran merkuri dan sianida ini tidak secara terbuka lagi seperti dulu, bisa bertransaksi di pinggir jalan. Tapi sekarang, masih ada dilakukan sembunyi-sembunyi," katanya.
Sekretaris Barma, Zulkarnaen mengatakan, upaya membatasi pasokan merkuri dan sianida untuk Peti tidak akan berhasil selama masih ada oknum aparat pemerintah dan oknum Kepolisian yang diduga terlibat rangkaian Peti.
Dia mengatakan, Barma sudah pernah bersurat ke DPRD Sumbawa Barat dan Pemda Sumbawa Barat, agar menertibkan Peti ini dengan beberapa langkah penting dan strategis.
Pertama adalah menutup terlebih dahulu jalur distribusi merkuri dan sianida, kemudian menutup juga pasar emas hasil Peti.
"Dan, setelah Peti ditertibkan, harus juga ada solusi masalah ekonomi dan lapangan kerja. Karena memang, faktanya pelaku ini karena faktor kebutuhan ekonomi," ujarnya.
Ancaman bahaya merkuri di kawasan Peti Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Sumbawa Barat ditemukan dalam penelitian dan survey Nexus3 Foundation. Hasil survei menunjukkan limbah merkuri tambang emas ilegal sudah mencemari lingkungan dan berdampak pada kesehatan sejumlah masyarakat.
Nexus3 Foundation bekerja sama dengan Fakultas Kesehatan Universitas Mataram untuk pemantauan dan penanganan dampak lingkungan, kesehatan, sosial, dan ekonomi di kawasan-kawasan (Peti) di wilayah NTB. Kerja sama difokuskan pada penanganan dampak merkuri yang selama ini digunakan dalam praktik tambang emas liar yang ada di sejumlah wilayah di Lombok dan Sumbawa.
Wakil Ketua Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati Drwiega menjelaskan, dampak merkuri di kawasan PETI di sejumlah wilayah di NTB cukup mengkhawatirkan. Dari hasil sejumlah tes terhadap sampel beras, ikan, air, udara, dan rambut masyarakat, sudah ditemukan kandungan merkuri yang jauh di atas ambang normal.
"Saat in,i dampaknya juga sudah ditemukan banyak anak lahir cacat, kalau pun normal tumbuhnya tidak sehat," katanya.
Sementara itu, dari pemetaan Nexus3 Foundation, saat ini setidaknya ada sekitar 800 lebih lokasi tambang emas liar, Peti, yang tersebar di 93 Kabupaten dan 32 Provinsi se-Indonesia.
"Emas yang dihasilkan dari seluruh Peti ini bisa mencapai 60 Ton hingga 100 ton pertahun. Namun, dampak bahaya merkurinya sangat mengancam bukan hanya kesehatan lingkungan, tetapi juga kesehatan masyarakat di sekitar tambang," katanya.
Ia menekankan, tambang emas berskala kecil bisa dilakukan, namun harus prosedural dan memenuhi persyaratan dan perizinan termasuk izin dampak lingkungan. Sebab, dampak merkuri bisa bertahan sangat lama, meski pun praktik tambang liar sudah ditutup.
Kondisi di Sumbawa Barat, kaya Yuyun, saat ini hampir sama dengan Sekotong, Lombok Barat di tahun 2010 hingga 2012 silam. Cukup banyak praktik tambang emas ilegal ditemukan, dan proses pengolahan bebatuan hasil tambang yang menggunakan merkuri.
"Lokasi prosesnya kebanyakan dekat pemukiman, di Sumbawa Barat, setidaknya ada empat atau lima sentranya. Jadi, Sumbawa Barat, memang sedang booming seperti Lombok Barat di 2010 sampai 2012," katanya.
Ketua DPRD Sumbawa Barat, Kaharuddin mengakui, Peti mulai marak di daerah itu sejak 2014 silam. Pemda sudah berupaya menertibkan dan mensosialisasikan pada masyarakat. Apalagi, sebagian besar lokasi PETI adalah kawasan konsesi milik perusahaan tambang seperti Amman Mineral dan Sumbawa Barat Minning.
Karena manfaat ekonomi bagi masyarakat cukup baik, Pemda Sumbawa Barat ingin mengusulkan kawasan Izin Pertambangan Rakyat (IPR), seperti di Pongkor, Jawa Barat.
"Nah, kalau usul IPR itu di lokasi Peti yang sekarang tentu tidak bisa, karena itu lahan konsesi milik perusahaan tambang. Sehingga, Pemda Sumbawa Barat atas persetujuan kami di DPRD mengusulkan lokasi lain. Tetapi, ini yang belum bisa diterima oleh masyarakat," katanya.
Kahar mengatakan, jika pengelolaan tambang rakyat bisa dilakukan dengan baik dengan meminimalisir dampak lingkungan, tentu akan lebih bemanfaat. Selain itu, Pemda juga bisa mendapatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari pertambangan masyarakat yang legal.
"Jadi, Pemda sudah tawarkan tujuh blok untuk tambang rakyat. Tapi kelompok mereka yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat Tambang menolak, bahkan demo, mereka bertahan ingin tetap di enam blok yang saat ini beroperasi," katanya.
Akhir November lalu, aparat gabungan TNI-Polri yang tergabung dalam Satgas Pemberantasan Penambangan Emas Tanpa Izin (Peti) melakukan penertiban Peti di kawasan pegunungan Puna Tongo Loka, Desa Tatar, Kecamatan Sekongkang, Sumbawa Barat, NTB.
Kawasan pegunungan Puna Tongo Loka, termasuk dalam lahan konsesi PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT), sebuah perusahaan tambang tembaga dan emas nasional di Sumbawa Barat.
Operasi penertiban melibatkan sekitar 80 personel gabungan dari Satuan Sabhara Polres Sumbawa Barat, Satuan Reskrim, Satuan Brimob Sumbawa Barat, dan anggota Koramil Sekongkang.
Kapolres Sumbawa Barat, AKBP Mustofa mengatakan, penertiban dilakukan setelah sebelumnya pihak kepolisian dan pemangku kebijakan, terkait melakukan sosialisasi kepada para penambang ilegal.
"Selain untuk mengantisipasi dampak bahan berbahaya seperti Merkuri dan Sianida, penertiban juga dilakukan, karena aktivitas tambang emas ilegal ini dilakukan di wilayah konsesi PT AMNT," katanya.
Upaya penertiban lokasi PetiI sempat dihadang puluhan massa di jalan utama Desa Tatar, jalur menuju lokasi Peti. Massa meminta, agar aparat dan Pemda Sumbawa Barat, menunda penertiban hingga ada solusi lapangan pekerjaan bagi mereka. Namun, karena sosialisasi dan imbauan sudah kerap kali dilaksanakan, maka penertiban tetap dilakukan.
"Sudah kita sosialisasi, agar masyarakat pelaku Peti menghentikan aktivitasnya beberapa waktu lalu. Dan saat ini, kita tertibkan," katanya.
Dalam penertiban tersebut sedikitnya sebanyak 15 tenda para penambang dirubuhkan, dan sedikitnya 16 buah lubang galian tambang ditutup. Tidak ada pelaku yang diamankan dalam penertiban, lantaran sebagian besar pelaku sudah turun dari lokasi. Tujuh pelaku yang masih berada di lokasi Peti kemudian diminta untuk meninggalkan lokasi.
Dia menjelaskan, penertiban Peti dilakukan menindaklanjuti tugas Satgas Pemberantasan Peti tingkat Provinsi NTB yang dibentuk Pemprov NTB bersama Polda NTB.
"Selain menertibkan PETI ini kita juga konsern dalam menindak pelaku perdagangan gelap bahan berbahaya Merkuri dan Sianida pendukung PETI ini," katanya.
Kapolda NTB, Irjen Pol Nana Sudjana menjelaskan, tugas Satgas ini dilakukan secara preentif dan persuasif, sebelum dilakukan tindakan penertiban. Sejak Agustus lalu, operasi penertiban juga sudah dilakukan di Sekotong Lombok Barat, dan Gunung Prabu di Lombok Tengah.
"Yang di Sekotong dan Gunung Prabu sudah kami tertibkan, dan sudah ditutup. Yang sekarang masih memang di Sumbawa Barat, karena ada di beberapa titik lokasi. Tetapi, akan terus ditertibkan," katanya dalam rilis akhir tahun Polda NTB beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, selain penertiban lokasi Peti, peredaran gelap bahan berbahaya merkuri dan sianida juga terus dipantau pihak Kepolisian. (asp)