Kronologi Polemik Kebaktian Ibadah Natal di Dharmasraya
- VIVAnews/ Andri Mardiansyah.
VIVA - Meski seluruh umat Kristiani di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, bisa melaksanakan kebaktian Natal, namun isu tentang adanya larangan untuk merayakan dan melaksanakan kebaktian Natal masih mencuat. Sebagian kalangan masih ada yang berpendapat kalau pemerintah setempat bersikap intoleran dan mengekang kebebasan beragama bagi kaum minoritas.
Ditemui Selasa, 24 Desember 2019, Ketua Pemuda Nagari Sikabau, Arif Permana, yang didapuk sebagai Ninik Mamak (pemuka masyarakat) dan Pemerintah Nagari atau kampung memberikan penjelasan, kalau selama ini tidak ada ada gesekan antar umat beragama di Kabupaten Dharmasraya. Begitu juga dengan isu larangan ibadah Natal juga tidak ada. Yang ada hanya larangan bagi jemaah Kristiani yang datang dari Jorong atau dusun Kampung Baru.
Alasannya, di tahun 2017 sudah ada kesepakatan atau pernyataan bersama antara Pemerintah Nagari Sikabau, Ninik Mamak, tokoh masyarakat dan pemuda Nagari Sikabau. Kesepakatan yang dibuat pada 21 Desember 2017 itu, hingga kini belum dicabut dan masih berlaku. Isinya, berupa keberatan jika rumah Tri Sila Lubis, seorang anggota perkumpulan Anastasia yang berada di bawah naungan Gereja Santa Barbara Kota Sawahlunto dijadikan tempat ibadah.
Dengan berbagai pertimbangan, dalam surat pernyataan bersama itu meminta kepada umat Kristiani di Jorong Kampung Baru yang berjumlah enam kepala keluarga untuk tidak melaksanakan kegiatan perayaan hari Natal dan perayaan agama Kristiani lainnya di Jorong kampung Baru, untuk tidak melaksanakan kegiatan perayaan agama Kristiani yang sifatnya mengundang seseorang atau jemaah yang banyak.
Dan, jika umat Kristiani Jorong Kampung Baru ingin melaksanakan dan mengikuti kegiatan perayaan Natal, tahun baru maupun perayaan hari besar umat Kristiani yang sifatnya terbuka dan atau berskala jemaah yang banyak agar melaksanakan dan merayakannya di luar wilayah hukum Pemerintah Nagari dan wilayah adat istiadat Sikabau. Jika ingin melaksanakan kegiatan ibadah, agar dilaksanakan secara individu di rumah masing-masing. Dan apabila, surat tersebut tidak dipatuhi, maka akan ada tindakan tegas.
Menurut Arif Permana, surat kesepakatan bersama itu tak serta merta lahir begitu saja. Ada sejarah yang tercatat kenapa kemudian surat itu terbit. Sebelum tahun 2017, kata Arif, umat Kristiani di Jorong Kampung Baru diberi kebebasan menjalankan ibadah. Tidak ada larangan atau penolakan dari warga lain.
Hingga akhirnya, memasuki perayaan Natal tahun 2017, umat Kristiani di Jorong Kampung Baru mengajukan surat pemberitahuan tentang akan dilaksanakannya ibadah Natal dan perayaan tahun baru di rumah Tri Sila Lubis, seorang anggota perkumpulan Anastasia yang berada di bawah naungan Gereja Santa Barbara Kota Sawahlunto. Namun, surat pemberitahuan itu terdapat cap stempel gereja Anastasia di bawah naungan gereja Santa Barbara.
Adanya cap stempel itu, kemudian menimbulkan tanda tanya dan polemik di kalangan masyarakat. Karena banyak yang bertanya sejak kapan di kampung itu berdiri sebuah gereja. Maka kemudian untuk menghindari terjadinya gesekan yang dapat berujung kepada tindakan yang tidak diinginkan seperti yang terjadi pada tahun 1999 (pembakaran tempat ibadah), maka diadakanlah musyawarah di tingkat Nagari yang kemudian melahirkan surat pernyataan bersama itu.
"Yang terjadi di Jorong Kampung Baru aman saja, terkendali dan sosial masyarakat kami dengan Nasrani pun bagus. Kami, dengan Ninik Mamak dan Nagari tidak pernah melarang saudara Nasrani beribadah. Silakan beribadah pada tempatnya yang sudah ditentukan yang punya izin. Kalau mereka ingin beribadah di Jorong Kampung Baru, lalui proses yang sudah ada di Kementrian. Tentu ada dalam UU harus minta izin dari sekeliling lingkungan," kata Arif.
Lebih lanjut, Arif Permana, selain disebabkan oleh faktor adanya cap stempel gereja pada surat pemberitahuan itu, juga ada keinginan dari umat Kristiani Jorong Kampung Baru untuk mengundang jemaah dari luar wilayah. Tentu, jika itu terjadi maka yang akan datang cukup ramai. Jadi, untuk mengantisipasi jangan terjadi gejolak maka ada larangan beribadah di rumah Tri Sila Lubis.
"Di Jorong Kampung Baru ini, hanya ada Enam Kepala Keluarga. Kalau secara keseluruhan di Nagari Sikabau hanya Sepuluh Kepala Keluarga. Kalau hanya diperuntukkan untuk warga Jorong Kampung Baru silahkan, tidak kami larang. Kalau ingin mengundang jemaah lain atau mendirikan rumah ibadah, silakan lalui proses izin. Posisi rumahnya ibu Tri Sila Lubis, depan mesjid. Selama ini aman saja. Sekaranglah viralnya karena digoreng oleh salah satu LSM. Sementara kami di sini aman saja. Arus bawah aman saja, hanya media sosial yang cukup ribut. Dan itu, di kalangan atas saja, kami di arus bawah aman. Masyarakat juga menyediakan fasilitas untuk kebutuhan mereka beribadah di tempat yang sudah ada izin," ujar Arif.
Berdasarkan catatan di Kenagarian Sikabau kata Arif, dari total Sebelas Jorong atau dusun yang ada, terdapat 24 kepala keluarga yang beragama Kristen dengan sebaran, enam kepala keluarga untuk umat Kristen Katolik, delapan kepala keluarga Protestan, dan tiga kepala keluarga Kristen Pentakosta di Jorong Kampung Baru.
Dan, tiga kepala keluarga Kristen Katolik, tiga kepala keluarga Kristen Pentakosta yang tinggal di jorong Sungai Songsang. Serta di wilayah Jorong Parik Tarajak ada Satu kepala Keluarga dari Kristen Katolik.
Ketua STASI Minta Maaf
Terpisah, ketua STASI (istilah kewilayaan dalam Gereja Katolik), Mardu Lubis, menegaskan selama menjalankan ibadah di Jorong Kampung baru, sama sekali tidak ada gangguan. Bahkan, dia pun sama sekali tidak kepikiran kalau persoalan ini menjadi viral. Mereka, tetap melaksanakan ibadah dengan cara berpindah-pindah dari rumah ke rumah yang jaraknya pun tidak terlalu jauh dan masih dalam kawasan Jorong kampung Baru.
Terkait cap stempel gereja yang menjadi pemicu adanya penolakan dan cikal bakal terbitnya surat pernyataan bersama pada tahun 2017 lalu, Mardu Lubis menyampaikan permohonan maaf. Khususnya kepada Ninik Mamak Sikabau yang mungkin salah mengartikan arti dari stempel tersebut. Menurutnya, stempel itu memang digunakan hanya untuk interen mereka saja. Kegunaannya, untuk proses administrasi kalau ada umat yang ingin menikah.
"Mengenai stempel itu, memang saya terlebih dahulu minta maaf soal stempel. Stempel itu berguna bagi kami adalah apabila salah satu umat kami mau nikah. Tentu, kalau dia mau nikah ke Medan, dia akan minta persetujuan dari sini, apakah benar dia umat dari situ, tandanya itu. Maka itu, saya minta maaf khususnya kepada Ninik Mamak Sikabau yang mungkin salah mengartikan arti dari stempel itu. Itu kegunaan stempel itu cuma itu. Artinya, surat pengantar antar umat kita ini ke Padang, Medan, ke Jakarta. Itu saja sebenarnya," kata Mardu.
Dijelaskan Mardu Lubis, permasalahan ini dimulai sejak tahun 2017. Terutama keluar surat pelarangan. Namun, dia merasa di jajaran Pemerintah Kabupaten Dharmasraya, tidak ada yang namanya pelarangan. Hanya saja, mungkin datang dari kelompok tertentu atau di sini disebut suku Ninik Mamak. Namun kata Mardu, dengan alasan yang disampaikan, kadang bisa dipercaya. Kalau dulu, mereka sudah mengadakan perjanjian. Kalau wilayah trans ini tidak diperjual belikan selain kepada orang Jawa.
Terkait dengan siapa Sudarto, Program Manager Pusat Studi Antarkomunitas (Pusaka) Padang, sebuah lembaga yang mengadvokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Sumatra Barat yang juga mengangkat isu ini, Mardu Lubis mengaku tidak kenal dan tidak pernah menjalin komunikasi.
"Nah, mengenai mas Darto, mungkin karena kami punya atasan tadi seperti Pastor, nah Pastor inilah yang memberikan mungkin ke Padang ini. Perasaan saya dari Padang itu, mungkin terjadilah seperti ini. Mungkin saya dibilang kenal dengan mas Darto, saya rasa mungkin juga tidak. Tapi nampaknya dari mas Darto ini, agak apalah namanya ya, saya dak bisa menjamin. Artinya, gimana namanya. Sepihak, memang mau membantu di sini supaya lebih clear begitu, sepihak seperti dikatakan kawan, bahwa ini ada pilkada. Memang kalau pilkada saya enggak tahu," ujar Mardu.
Mardu mengaku, sejak kasus ini mencuat ke publik, dia sama sekali belum pernah bertemu atau menjalin komunikasi dengan Darto. Dan, sepengetahuannya, Darto juga belum pernah berkunjung ke Jorong Kampung Baru.
"Belum melakukan kunjungan ke sini. Jujur, saya belum pernah kenal dan bertemu. Komunikasi belum, kalau langsung saya yang bicara langsung belum. Tapi, kalau umpamanya dari wartawan, dari Jakarta mungkin pernah. Sepengetahuan saya, Darto belum ke sini. Jujur sepengetahuan saya, belum pernah. kalau kesini pasti ketemu dengan saya," kata Mardu.
Terlepas dari polemik yang terjadi, Mardu Lubis berharap untuk ke depan, mudah-mudahan Ninik Mamak Nagari Sikabau bisa menerima keberadaannya dan umat se-agama di Jorong Kampung Baru. Karena, selama ini mereka juga menganggap Jorong Kampung Baru adalah kampung mereka sendiri.
"Harapan kita, sebenarnya mudah-mudahan Ninik Mamak Nagari Sikabau bisa menerima kami di sini. Karena kami pernah beranggapan bahwa kampung baru ini adalah kampung kami. Artinya, bisa kami beribadah dari rumah-ke rumah, itu lebih dari cukup. Selama ini ibadah tetap kami laksanakan. Tidak ada gangguan selama beribadah. Viral ini pun, saya enggak sampai ke situ pikiran saya," tutur Mardu.
Natal Menggema
Sekitar Lima ratus umat Kristiani yang datang dari berbagai tempat di Kabupaten Dharmasraya, Selasa malam, 24 Desember 2019, merayakan Natal umum dengan damai dan aman. Sejak sore tadi, mereka mulai memadati ruangan gedung Perlapelapean di Jorong Koto Ranah Baru, Nagari Kurnia Selatan, Kecamatan Sungai Rumbai, Kabupaten Dharmasraya yang memang disiapkan sebagai tempat perayaan dan ibadah Natal.
Banyaknya jemaah yang datang, sekaligus mematahkan isu kalau di Kabupaten yang dikenal dengan julukan Ranah Cati Nan Tigo itu, ada larangan perayaan dan ibadah Natal. Pantauan di lapangan, meski ada pengamanan dari kepolisian, namun sama sekali tidak ada tanda-tanda riak penolakan atau larangan baik dari masyarakat maupun pemerintah setempat.
"Pada saat ini, perayaan Natal kita aman, tentram dam kondusif. Meski ada isu tentang larangan perayaan dan ibadah Natal, namun sampai saat ini tidak berpengaruh. Kita tetap kondusif," kata Pendeta Roy Hutapea kepada VIVAnews.
Roy Hutapea pun mengapresiasi upaya yang dilakukan baik oleh pemerintah Kabupaten Dharmasraya maupun kepolisian serta tokoh masyarakat yang hingga kini ikut memberikan pelayanan bagi umat Kristiani agar dapat melaksanakan perayaan dam ibadah Natal dengan aman dan lancar.
"Meski ada isu tentang larangan perayaan dan ibadah Natal yang ada di media, namun sama sekali tidak berpengaruh. Kita tetap kondusif. Dan juga, dipantau selalu oleh pemerintah setempat termasuk polisi, Nagari, Jorong, semua ikut memberikan pelayanan bagi umat kita. Tiap tahun selalu kita laksanakan di sini," kata Roy.